Bab 7. Farhan Saja yang Bertanggung Jawab

1015 Words
Kendra yang sudah semakin terpojok oleh situasi, tiba-tiba mengeluarkan pernyataan yang mengejutkan semua orang di ruangan itu. "Gugurkan saja kandunganmu itu, Alea. Itu yang terbaik untuk kita semua." Sejenak, ruangan itu terdiam, seperti waktu berhenti sesaat setelah ucapan kejam itu keluar dari mulut Kendra. Namun, dalam hitungan detik, Farhan yang sudah tidak bisa menahan amarahnya langsung melayangkan bogem mentah ke pipi adik iparnya itu. Suara pukulan yang keras bergema di dalam kamar. Kendra terhuyung ke belakang dengan perasaan sakit, sekaligus terkejut oleh kekuatan pukulan Farhan yang penuh kemarahan. "Kamu benar-benar sudah kelewatan, Kendra!" teriak Farhan, wajahnya memerah karena marah. "Bagaimana mungkin kamu bisa mengatakan hal sekejam itu?! Apa kamu tidak punya hati nurani sedikit pun?!" Kendra, yang masih memegangi pipinya yang memerah, tetap bersikukuh dengan pendiriannya. "Aku tidak akan menikahi Alea, Kak," katanya dengan suara dingin. "Dia hanya gadis miskin, tidak pantas untukku." Kemarahan Farhan semakin membara mendengar kata-kata itu. "Jadi itu alasanmu? Hanya karena dia miskin? Kamu benar-benar b******n, Kendra! Kamu menghancurkan hidup seorang wanita hanya untuk kesenanganmu, lalu melupakannya begitu saja! Apa kamu pikir uang dan statusmu bisa membenarkan semua ini?" Kasandra, yang berdiri di samping Farhan, juga tidak bisa menahan emosinya lagi. "Kendra, apakah kamu tidak sadar betapa egois dan pengecutnya dirimu? Alea tidak pernah meminta hal ini terjadi, dan sekarang kamu mencoba menghindari tanggung jawabmu hanya karena dia tidak berada di 'levelmu'? Ini sangat memalukan!" Alea, yang sedari tadi hanya bisa mendengar dan merasakan amarah yang bergemuruh di dalam dirinya, akhirnya menatap Kendra dengan dingin. Tangannya terkepal kuat, menahan perasaan sakit dan marah yang seakan ingin meledak. "Aku tidak peduli apa pun yang Kakak katakan," sahut Kendra dengan suara keras. "Aku tetap pada pendirianku. Aku tidak akan menikahi Alea, dan tidak ada yang bisa mengubah pikiranku." Mendengar kata-kata Kendra yang penuh dengan keangkuhan, Alea akhirnya tidak bisa menahan emosinya lagi. Ia berdiri, matanya memancarkan kemarahan yang tak terlukiskan. "Berhenti! Kalian semua, berhenti memperdebatkan hal ini!" Semua orang menoleh padanya, terkejut oleh ledakan emosi Alea yang tak terduga. "Aku tidak butuh kalian untuk memutuskan apa yang harus aku lakukan dengan hidupku. Aku bisa menjalani semua ini sendirian!" teriak Alea, air mata mengalir di pipinya, tapi matanya tetap menatap Kendra dengan penuh kebencian. Kasandra tidak menyerah, mencoba membujuk Kendra lagi. "Kendra, ini bukan hanya tentang Alea, ini juga tentang anakmu. Kau tidak bisa lari dari tanggung jawab ini." Namun, Alea dengan cepat memotong, menolak ide pernikahan dengan tegas. "Tidak, Bu Kasandra. Bahkan jika Tuan Kendra memberiku seluruh hartanya, dia tidak akan pernah bisa membuatku lega. Menjalani pernikahan dengan orang seperti dia hanya akan membawa lebih banyak penderitaan." Kasandra tampak bingung dan terluka oleh penolakan Alea. "Tapi bagaimana dengan anak itu, Alea? Anak itu butuh seorang ayah," katanya, mencoba mencari solusi yang terbaik untuk semuanya. Alea menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. "Aku akan merawat anak ini sendirian. Aku tidak butuh Tuan Kendra, aku tidak butuh bantuannya. Aku bisa melakukan ini sendiri," jawab Alea, suaranya penuh dengan tekad. Ruangan itu kembali sunyi setelah pernyataan Alea. Farhan mengembuskan napas pelan, lalu berkata, "Kita bicarakan ini lain kali saat kita sudah sama-sama dingin." Kasandra menganggukkan kepala. "Ya, kita juga harus memberi tahu ayah tentang anak sialannya ini, Mas," jawab Kasandra. "Lebih baik saya pulang!" ujar Alea kemudian. Ia berdiri dan pergi begitu saja tanpa menunggu jawaban orang lain. *** Sesampainya di kontrakan, Alea merasa seluruh kekuatan dan tekad yang ia tunjukkan di hadapan Farhan, Kasandra, dan Kendra seketika lenyap. Dengan tubuh yang lemas, ia menjatuhkan dirinya di atas ranjang. Air mata yang sejak tadi ia tahan kini mengalir deras, membasahi bantal di bawah kepalanya. Ia menarik selimut dan menutupi dirinya, meratap pada kenyataan pahit yang terus menghantui pikirannya. Alea tak bisa menahan rasa sakit yang meluap-luap di dalam hatinya. Dengan penuh emosi, ia memukul perutnya sendiri, mencoba menolak kenyataan bahwa ada kehidupan baru yang tumbuh di dalam dirinya. "Kenapa harus aku? Kenapa semua ini terjadi padaku?" gumamnya di antara isak tangis yang semakin keras. Ia merasa hidupnya hancur, semua impian dan harapannya seakan pupus begitu saja. "Hidupku sudah berakhir... Semua ini gara-gara b******n itu! Aku akan membencimu seumur hidupku, Kendra!" teriak Alea dalam hati, penuh dengan rasa benci yang mendalam. Pikiran Alea melayang kepada kedua orang tuanya yang sudah tiada. "Ayah, Ibu, kenapa kalian meninggalkan aku sendirian di dunia yang kejam ini? Kenapa kalian pergi begitu cepat, meninggalkan aku tanpa siapa pun untuk bersandar?" Suaranya semakin pelan, dipenuhi dengan rasa kerinduan yang mendalam. "Aku ingin ikut kalian saja, Ayah, Ibu. Dunia ini terlalu kejam untuk aku hadapi sendirian. Aku tidak kuat lagi," bisiknya, penuh dengan kesedihan yang tak tertahankan. Air mata Alea semakin deras mengalir, tubuhnya terguncang hebat oleh isak tangis yang seakan tak ada habisnya. Kesendirian, rasa kehilangan, dan kepedihan yang mendalam menghimpitnya dari segala arah. Alea menangis hingga tubuhnya terasa lelah. Kepalanya terasa berat, dan matanya yang sembab perlahan mulai terpejam. Rasa sakit yang tak tertahankan perlahan berubah menjadi kelelahan yang mendera tubuhnya. Tanpa ia sadari, Alea akhirnya terlelap dalam tidurnya, meskipun mimpi buruk terus menghantui alam bawah sadarnya. Di dalam tidurnya, air mata masih mengalir, membasahi wajahnya yang penuh dengan kesedihan. Sementara di sisi lain, Kendra yang tak kalah frustasi, menghabiskan malam dengan menenggak minuman beralkohol. Kesadarannya bahkan nyaris menghilang, terduduk dengan kepala yang bersandar di meja. Kasandra dan Farhan yang melihat itu merasa sangat miris dengan adik mereka. Sementara itu, Tuan Benjamin masih melanjutkan keberlangsungan pesta ulang tahunnya, tanpa menyadari huru-hara apa yang telah diciptakan oleh putra kesayangannya. Farhan menoleh ke arah istrinya. "Aku semakin merasa bersalah pada Alea." Kasandra menganggukkan kepalanya, paham dengan kegelisahan yang saat ini dirasa oleh suaminya itu. "Besok, kita bicarakan ini dengan kepala dingin, Mas." "Kendra bukan orang yang akan menyerah pada pendiriannya. Apa yang harus kita lakukan untuk membujuknya supaya bertanggung jawab? Bagaimana juga, anak di dalam kandungan Alea adalah pewaris pertama keluarga Wiratama." "Kamu benar, Mas!" balas Kasandra dengan lesuh. "Kita yang menikah sepuluh tahun, masih belum dapat kesempatan untuk menimang buah hati. Sementara pewaris lain, akan disingkirkan. Aku... merasa tidak rela!" Keduanya kemudian saling diam, memikirkan jalan keluar terbaik untuk masalah ini. Hingga tiba-tiba, Kasandra menoleh dan berkata, "Bagaimana kalau kamu nikahi saja Alea?!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD