Ke Rumah Ari

1074 Words
Aku langsung sibuk begitu sampai kedai. Pagi-pagi sekali sayur dan buah-buahan segar sudah diantarkan oleh supplier. Bubuk kopi beraneka jenis juga sudah mulai ditata ke tempatnya. Pegawai di otista lebih banyak dari yang di kedai 2 dan mereka semua begitu terampil. Pekerjaanku jadi lebih mudah. "Liburan kemarin gimana, Mbak. Lancar?" tanya Nirwan manajer operasional kedai otista. Aku tersenyum dan mengangguk. "Maaf ya jadi merepotkan kamu." "Santai aja, Mbak. Pekerjaan aman kok. By the way Pak Ari nggak ke sini ya?" tanya Nirwan lagi, seolah-olah aku ini tahu tentang jadwal atasannya itu. "Aku juga enggak tau. Entar malam mungkin." Aku mengangkat bahu dan kembali fokus kepada kertas yang aku pegang. "Hari ini kayaknya stok aman ya, Wan?" "Amanlah, Mbak. Oh ya, nanti malam ada pertunjukan band lokal. Mbak datang aja sekalian mingguan." "Duh, itu mah cocoknya buat anak muda kayak kamu, Wan," sahutku terkekeh. Jaman masih sekolah, aku penikmat band-band indie yang biasanya digawangi anak-anak sekolahan. Kalau sekarang rasanya malas untuk melihat pertunjukan musik live seperti itu. Kumpul bersama keluarga sambil makan pisang rebus lebih enak. "Eh, Mbak Riva masih muda juga loh. Mamah muda, kece badai. Banyak kok yang seumuran Mbak nongkrong di sini juga." Sebagian keluarga ada yang memilih hang out di saat malam akhir pekan. Tapi, tentu saja itu tidak berlaku buat keluargaku. Bisa makan tiap hari dan jajanin Geo saja sudah bersyukur. "Saya mah mingguannya di rumah aja ngopi sambil makan pisang rebus sama keluarga." "Wuidih! Itu juga mantep sih, Mbak. Kalau hangout mah ngabis-ngabisin duit ya, Mbak," ujarnya terkikik. "Nah, itu tau." Aku menggeleng lantas lanjut bekerja kembali setelah mendapat beberapa invoice dari karyawan bagian dapur. Saat aku balik ke kedai dua, Ari sudah ada di sana. Dia bahkan sudah menghandle kerjaanku sehingga pas aku datang semua sudah kelar. "Aku kan jadi ongkang-ongkang kaki kalau begini," ujarku setengah meledek. "Biar nggak ongkang-ongkang kaki aku kasih kerjaan baru gimana?" Punggungku seketika menegak dan menoleh padanya. "Kerjaan baru apa?" "Ikut aku ke rumah. Dan bikin soto buat Chilla. Dia dari semalam ngomong mulu. Kalau enggak dikabulin pasti bakal merengek terus." Aku refleks mengusap wajah. Ternyata ini tujuan dibalik dia membantu pekerjaanku. "Ya, Va? Please, kali ini bantu aku," ucap Ari memohon bahkan kedua tangannya menangkup di depan d**a. Aku ingin menolak, tapi tidak kuasa. "Terima kasih ya, kamu mau ikut denganku," ucap Ari begitu aku duduk di dalam mobilnya. Dia mulai melajukan mobil keluar dari lahan parkir kedai dan merambat ke jalan raya. "Kenapa Geo nggak ikut?" tanya Ari begitu mobilnya bergabung dengan para pengguna jalan lain. "Ada Papanya di rumah. Jadi, dia memilih tinggal. Lebih baik begitu kan? Jadi, kerjaanku nggak ribet." "Jadi suami kamu sekarang libur? Sori ya udah bikin waktu kamu berkumpul malah digunain buat bekerja." "Aku udah tau konsekuensinya dari awal. Kenapa kamu minta maaf sih?" Ari mengangkat bahu. "Ya kan waktu kamu berkumpul sama keluarga berkurang." "Nggak masalah. Itu resiko." Mobil Ari memasuki salah satu kawasan perumahan elit di kota ini. Dari gerbang masuknya saja sudah terlihat bahwa rumah-rumah di dalamnya pasti tak kalah mewah. Tidak seperti gerbang perumahanku yang ala kadarnya. Ari membunyikan klakson saat dia melewati dua security yang berjaga di pintu masuk dekat dengan pos. Mobil Ari terus berjalan melewati sebuah taman dengan fasilitas bermain lengkap. Ada beberapa keluarga yang bermain di sana. Di perumahanku tidak ada taman seperti ini. Hanya ada satu lapangan voli di dekat masjid. Ari terus melajukan mobilnya memasuki blok perumahan yang memiliki jalan lebar seperti jalan raya. Sangat kontras sekali dengan jalan di perumahanku yang dilalui satu mobil saja masih terasa sempit. Rumah-rumah di sini juga tidak berhimpitan. Ada jarak yang memisahkan rumah satu dengan lainnya. Meskipun ada juga beberapa rumah yang dibangun saling mendempel. Tapi tetap saja dibangun dengan konsep mewah. Dan tidak kutemukan rumah berlantai satu di sini. Hampir semua rumah yang aku lihat memiliki dua lantai. Aku sudah mendengar dari beberapa teman tentang kawasan perumahan ini. Satu unit rumahnya dibandrol dengan harga yang tidak main-main. Ah, betapa kehidupan lelaki di sebelahku ini sangat jauh berbeda dengan kehidupanku. Aku minder? Jelas. Waktu bisa mengubah kehidupan Ari menjadi lebih baik setelah aku tinggalkan. Sementara aku? Masih tertatih untuk menuju hidup layak. Dan, pada akhirnya aku di sini. Di sebuah rumah berlantai dua dengan gaya tropis minimalis. Sebuah gaya rumah yang pernah menjadi angan-anganku dengannya dulu. Dan angan-angan itu terwujud, tapi sayangnya aku sudah tidak ada di sana. Memilih pergi dengan angan-angan lain. Aku turun dari mobil Ari dengan perasaan yang... Entah. Aku tidak bisa mengartikan apa ini. Antara senang dan kecewa bergelut jadi satu di dalam dadaku. "Ayo, Va. Kita masuk. Chilla pasti sudah menunggu kita," ajak Ari, membuatku agak kaget karena sejak tadi perasaanku mendadak entah. Aku mengangguk canggung dan mengikuti langkahnya. Ada tangga landai untuk menuju pintu utama. Di situ teras rumah berada. Dan di depan teras tersebut ada taman mini yang sangat cantik lengkap dengan kolam ikan emas koi. Ari membuka pintunya dan mempersilakan aku masuk. Sepatuku langsung menapaki lantainya yang mengkilap. Bukan lantai keramik seperti di rumahku. Sepertinya ini lantai marmer berwarna kecokelatan dengan motifnya yang ciri khas. Aku menemukan ruang tamu dengan sofa berbentuk L. Ada akuarium besar di sana yang hanya berisi satu ikan yang sangat cantik. "Chilla sayang... Lihat nih, Papi bawa siapa!" seru Ari masuk lebih dalam, aku hanya mengekorinya saja. Sambil diam-diam memperhatikan interior rumah mewah ini. Di belakang ruang tamu ternyata ruang kosong, tapi ada sebuah TV LED besar yang menempel di dinding bagian kirinya. Ada juga sebuah tangga yang aku pastikan itu jalan menuju lantai dua. Di belakang tangga tersebut tampak sebuah dapur yang terlihat 'wah' lengkap dengan mini bar. "Kayaknya dia lagi main di lantai dua sama suster. Kita langsung naik ke atas aja yuk," ajak Ari, lalu menapaki tangga menuju ruang kedua. Aku menurut saja dan berjalan di belakangnya. Ternyata memang Chilla ada di lantai dua bersama susternya. Macam-macam mainan anak perempuan berserakan di lantai. "Asyik banget mainnya. Sampe papi datang enggak dengar. Lihat nih siapa yang datang." Anak itu menoleh mendengar suara Ari. Lalu mata bulatnya berbinar ketika melihatku. "Tante Riva!" serunya langsung berlari ke arahku dan menghambur ke pelukanku. "Chilla lagi main apa, Sayang?" "Aku lagi main rumah Barbie sama suster. Tante, Kak Geo mana?" tanya anak itu mencari sesuatu di belakangku. "Kak Geo ada di rumah. Kemarin dia kecapean. Makanya sekarang istirahat," sahutku mencari alasan yang masuk akal. "Yaah sayang sekali, padahal mau aku ajak main Barbie." Anak itu mencebikkan bibir mungilnya. Tampak lucu dan menggemaskan. Pelan aku mengusap kepalanya dan menciumnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD