Rengekan Chilla

1037 Words
"Mama Geo." Aku menoleh ketika Mama Putri mencolek lenganku. Saat ini kami sedang ada di pertunjukkan gajah. "Itu suamimu ya? Cakep banget. Saya nggak tau kalau Mama Geo sudah punya dua anak. Hihi." Sudah aku duga sebelumnya kehadiran Ari dan Chilla pasti mengundang perhatian ibu-ibu yang kepo, termasuk Mama Putri ini. Aku bingung sekarang mesti menjawab apa. Tidak mungkin aku membenarkan dugaan mama putri, tapi aku juga tidak mau menjawab kalau Ari itu teman. Bisa gempar nanti. "Bukan. Dia Omnya Geo." Mama Putri mengangguk paham. "Oh Om-nya. Kakak kamu ya?" Aku hanya tersenyum tidak menolak dan tidak membenarkan. Lalu aku kembali memusatkan perhatian ke depan. Melihat atraksi gajah-gajah lucu bersama anak-anak dan Ari. "Aku ingin naik bus sama Kak Geo!" rengek Chilla saat sudah waktunya kami harus pulang. Ini yang merepotkan. Anak itu mengamuk minta naik ke bus kami. "Chilla sama Papi aja ya. Kan Kak Geo mau sama teman-temannya." Ari mencoba membujuk gadis itu lagi. Namun yang ada Chilla makin merajuk. "Nggak mau! Aku mau bareng sama Kak Geo. Aku kan belum pernah naik bus, Pi." "Tapi bus Kak Geo udah penuh. Kamu mau duduk di mana?" Chilla manyun. Kedua tangannya melipat di d**a. Dia kekeh tidak mau pulang dengan mobil. Aku menepuk pundak Ari pelan. Memintanya untuk sabar. Lalu aku dan Geo mendekati bocah itu yang masih saja bertampang masam. "Chilla, Sayang. Gimana kalau kita rencanakan naik bus bareng lain waktu? Kalau sekarang kan bus Kak Geo udah penuh. Perjalanan kita jauh loh, masa Chilla mau berdiri terus? Kan capek, nanti kakinya pegal. Memang Chilla mau kakinya nanti kayak gajah?" Geo dan Chilla sontak tertawa mendengarku bicara. Aku ikut tersenyum karena bisa mencairkan suasana. "Jadi, mau kan Chilla sekarang pulang sama papi dulu?" tanyaku lembut. "Tapi aku pengin naik bus," ujar Chilla masih merengek, namun kali ini tampak lebih tenang. "Iya. Kita akan merencanakan setelah pulang nanti." "Tapi Tante nggak bohong kan?" Aku mengangguk dan memberi jari kelingking. "Sama soto kuning juga masak di rumah aku ya?" Anak kecil ini pandai sekali memanfaatkan situasi. Aku yang ingin semuanya cepat beres terpaksa mengangguk. "Deal!" Chilla lalu mengaitkan kelingking mungilnya ke kelingkingku. Ya Tuhan, berurusan dengan gadis cilik manja seperti Chilla agak merepotkan. Akhirnya dia mau pulang dengan Ari. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi ibu-ibu seandainya Chilla naik bus kami. Dan akan gawat juga kalau di sekolah nanti Bayu bertemu dengan Chilla yang otomatis akan bertemu bapaknya juga. Oh, tidak. Hari sudah gelap ketika kami sampai kembali di kota tempat rumahku berada. Perjalanan dari Bogor lumayan lama. Belum lagi ketika melewati tol Cikampek. Ada pengerjaan jalan yang membuat bus kami macet. Geo tampak kelelahan. Dia sampai jatuh tertidur sehingga aku harus menggendongnya saat turun dari bus. Bayu sudah menunggu kami di dekat sekolah Geo. Aku langsung menempatkan Geo duduk di belakang Bayu. Lalu kami segera pergi meninggalkan sekolah setelah berpamitan dengan guru-guru TK Geo. "Gimana? Pikniknya seru?" tanya Bayu begitu kami sampai rumah. "Seru, tapi anakmu kelelahan sampai ketiduran begitu." Bayu menggendongnya masuk dan merebahkan anak itu ke tempat tidurnya. "Ini pertama kalinya Geo melakukan perjalanan jauh. Sudah pasti dia kecapean. Kamu gimana?" "Aku juga cepek, Mas. Badan lengket. Aku mau mandi dulu." "Mau pake air anget? Aku udah masak air satu panci besar." Aku menoleh ke dapur dan menatap takjub panci besar yang masih berada di atas kompor. "Kamu serius?" tanyaku tak percaya. Bayu cengengesan lalu bergerak ke dapur. "Serius dong. Aku siapkan airnya dulu ya." Lalu aku melihat dia mengangkat panci itu dan membawanya ke kamar mandi yang ternyata di dalamnya sudah tersedia bak bulat yang biasa aku gunakan untuk mencuci pakaian. "Nah, kamu tinggal tambahin air dingin lagi kalau masih panas." Aku tersenyum dan menatapnya haru. "Makasih ya, Mas." Dan Bayu membalasnya dengan satu kedipan mata. "Nggak gratis loh. Kamu bayar tengah malam nanti ya." Aku hanya tertawa sebelum masuk ke kamar mandi. PAGINYA Minggu pagi aku tidak terlalu sibuk. Karena Bayu membantu mengerjakan pekerjaan rumah. Hari Minggu dia libur dan biasanya dia akan ikut terjun untuk mengurus rumah. Apa lagi hari ini aku masih harus masuk kerja. "Sarapan dulu, Va. Aku udah bikin nasi goreng," ujar Bayu sembari meletakkan tiga piring nasi goreng ke atas meja makan. "Ini yang nggak pedes punya Geo." "Duh, suami siapa sih pagi-pagi udah rajin banget," godaku seraya menarik kursi. Bayu yang masih menggunakan apron terkekeh. "Suami Ibu Rivana. Kenapa? Naksir ya, Mbak? Jangan ah, nanti Bu Rivana marah." "Memang kalau naksir aja nggak boleh?" timpalku menyambut candaannya. "Boleh sih, tapi aku izin dulu sama Bu Rivana. Dia kan pencemburu." Aku tertawa. "Mana ada aku pencemburu," bantahku mencebikkan bibir. "Eh, Mbak Bu Rivana ya?" Aku kembali tertawa, candaan Bayu di pagi hari benar-benar garing. "Kenapa Mama tertawa?" suara si kecil Geo menginterupsi. Dia tampak baru bangun. Tidurnya semalam sangat pulas, dia benar-benar kelelahan. "Eh, anak Papa udah bangun. Mandi dulu ya, baru sarapan," sahut Bayu. Anak itu menurut lalu segera masuk ke kamar mandi. "Tawa kamu membangunkan dia, Va," ujar Bayu kembali menoleh padaku. "Kan ini juga udah pagi. Memang mau tidur sampai kapan Geo?" Aku menghidu aroma nasi goreng telor ceplok di piringku. "Wangi banget." "Iya dong. Nggak kalah kan sama bikinan kamu?" Aku tersenyum dan mengangguk lalu menyuap satu sendok. Rasanya beneran enak. Dalam hal membuat nasi dan mengolah ikan Bayu memang pandai. "Hari ini berangkat sendiri atau mau dianterin?" tanya Bayu. "Mumpung aku libur." "Dianterin malah lebih repot. Aku kan harus bolak-balik ke dua kedai." "Oh iya, lupa. Ya udah aku di rumah aja jadi bapak rumah tangga," tandas Bayu lantas terkekeh. Aku sudah selesai sarapan pagi saat Geo kembali ke meja makan dengan penampilan yang sudah rapi dan bersih. "Mama mau kerja? Kok hari Minggu nggak libur?" tanya anak itu dengan nadanya yang polos. "Kalau di kedai itu hari Minggu malah rame jadi Mama nggak mungkin libur," sahutku mengecek isi tas yang aku bawa. "Oh, jadi beda ya sama Papa." Aku tersenyum dan mengangguk lantas mengulurkan tangan untuk mengusap kepala anak itu. "Mama berangkat dulu ya, nanti telat." Aku bergegas pamit kepada Bayu dan keluar dari rumah. Tanpa pikir panjang aku langsung melajukan si hijau meninggalkan pelataran rumahku yang sempit. Ada harapan dan doa saat aku berangkat. Harapan yang paling tinggi adalah aku bisa segera melunasi cicilan rumah mungil ini sebelum jatuh tempo.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD