Menyusul

1056 Words
Aku menarik napas panjang dan menghembuskannya. Mau bagaimana lagi? Aku juga tidak bisa melarang mereka datang. Tidak mungkin juga aku meminta Geo untuk tidak terlalu dekat dengan Chilla. Semua sudah terlanjur. Aku sendiri yang menyebabkan mereka dekat. Dekat dengan Ari tentu sepaket juga sama anaknya. "Kamu enggak marah kan, Va?" tanya Ari setelah menjelaskan bagaimana mereka bisa sampai di sini. "Enggak." Aku menggeleng. "Kenapa aku marah sih?" "Acara liburan Geo sama teman-temannya jadi terganggu." Bahkan dia tahu akan hal itu, tapi tetap saja datang ke sini. "Harusnya aku membikin acara sendiri buat kita. Tapi pasti kamu enggak akan mau," lanjutnya. Dan karena itu dia menyusul tiba-tiba ke sini? Orang yang berduit mah bebas. Tidak tahu kah Ari kalau aku sekarang sedang menjadi pusat perhatian para ibu dari teman-teman Geo? Itu tidak bisa dihindari lagi kan? Apa lagi dengan lantangnya Chilla memanggil Geo kakak. Mereka pasti berasumsi bahwa kami satu keluarga. "Kedai gimana?" tanyaku mengubah topik pembicaraan. Mengingat aku adalah pengganti Ari di sana. Jika kami berada di tempat yang sama lalu siapa yang menangani kerjaan kami? "Di otista aku menyerahkan tugas kamu ke Nirwan. Kalau di ayani aku titip ke Meri. Nggak perlu kamu pusingkan," sahutnya bersandar pada beton yang berada di belakang kami. "Aku beneran nggak enak lho, Mas. Baru kerja tapi udah minta cuti." "Untung kerjanya sama aku. Coba kalau sama orang lain?" Aku menunduk karena tiba-tiba Ari melirikku seraya tersenyum. Aku tidak suka digoda seperti itu. Dulu dia memang sering melakukannya, tapi kalau sekarang harus sama seperti dulu rasanya aneh, dan tidak pas pada tempatnya juga. "Kalian sudah makan siang?" tanya Ari. Aku menggeleng. "Belum. Tapi, kami membawa bekal dari rumah." Aku menepuk ransel yang kubawa. "Serius? Kamu bawa apa?" tanya Ari dengan mata berbinar seolah-olah bekal yang aku bawa itu untuk dirinya. "Tumis buncis dan wortel juga ayam goreng buat Geo," ujarku membuat mata Ari makin berbinar. "Kalau Chilla dengar pasti mau juga." "Chilla bisa makan punyaku, Mas." "Ah enggak. Biar kami nanti makan di restoran dekat sini saja. Kayaknya tadi di sebelah sana ada food court. Apa kita makan di sana bareng aja?" tanya Ari memberi usul. "Aduh gimana ya, Mas?" Aku celingukan. Mencoba mencari rombongan lainnya. Tidak enak kan kalau harus pisah? Tapi sepertinya mereka pun sibuk sendiri-sendiri. Tidak mungkin juga para guru mengabsen mereka satu-satu di situasi seperti ini. "Atau kita makan di restoran panda. Anak-anak pasti suka." Geo dan Chilla tampak berlarian menghampiri kami. Keduanya kompak memanggil kami secara bersamaan. "Papi, aku lapar," lapor Chilla mengusap perutnya. "Aku juga, Ma. Kita makan sekarang aja yuk." "Geo, kamu mau enggak ikut Om sama Chilla makan di dekat istana panda?" tanya Ari yang sudah sangat aku tahu jawabannya. "Mau!" sambut Geo antusias. Namun, sejurus kemudian dia mengubah ekspresi wajahnya. "Tapi Mama udah bawain bekal, Om. Kalau aku ikut Om nanti bekal Mama siapa yang makan?" tanya dia dengan raut sedih dan bingung. Ari tersenyum lebar. "Gimana kalau bekal Geo buat Om aja?" Wajah Geo kembali ceria. "Emang Om mau?" "Mau dong. Om kan pengin rasain masakan mama kamu juga." Geo menoleh padaku. "Ma, boleh ya bekalku buat Om Ari?" Apa aku bisa menolak? Dan pada akhirnya kami di sini. Duduk di salah satu meja restoran yang masih berada di kawasan istana panda. Aku dan Ari sepakat tidak memesan menu makan siang di restoran itu. Kami hanya memesan untuk dua bocah itu. Dan seperti yang Ari mau, bekal makan Geo akhirnya dia yang makan. "Kamu mau sambal?" tanyaku, mengingat bekal makan Geo sengaja aku buat tidak pedas. Aku sendiri membawa sambal dari rumah dengan wadah terpisah. "Mau, mau. Kamu bawa sambal juga ternyata." Aku membuka wadah mini berisi sambal terasi. "Tapi, ini sambal terasi. Kamu suka juga?" "Suka suka aja sih, apa lagi yang bikin kamu," sahutnya tersenyum. Gombalannya receh banget. Aku mengabaikan dan memilih menekuri kotak bekalku. "Geo, masakan Mama kamu the Best banget," puji Ari berlebihan. Namun, siapa sangka langsung disambut tak kalah lebay oleh Geo. "Masakan mama memang nggak ada duanya, Om. Apa lagi tumis kangkung balacannya. Pasti kalau Om Ari coba jadi mau lagi, mau lagi." Lihat, anak itu seperti sedang mempromosikan masakan ibunya yang kadang keasinan. "Oh ya? Wah, Om jadi penasaran," sahut Ari, tatapannya lantas beralih padaku. "Boleh dong, Va. Kapan-kapan masak buat aku." "Apa deh, Mas." Aku meruntuki diri sendiri yang mendadak salah tingkah. "Enak banget ya punya mama. Bisa tiap hari dimasakin," celetuk Chilla tiba-tiba dan membuat kami serempak menghentikan kegiatan makan sesaat. Lalu kompak menatap anak itu. "Chilla, aku nggak setiap hari dimasakin kok, kadang Mama beli di warung kalau capek," ucap Geo cepat. Anak itu seakan paham apa yang sedang sahabatnya itu rasakan. "Tetap saja, kalau kak Geo pengin makan masakan mama, Tante langsung buatin. Kalau aku siapa? Cuma ada suster yang masak." Gadis tiga tahun itu menunduk, memainkan makanan dalam piringnya. Sejenak aku dan Ari saling lempar pandang. Kalau Chilla lagi mode begini aku paling tidak tega melihatnya. Kasihan melihat anak seumuran dia sudah kehilangan kasih sayang dari ibunya. "Memang Chilla mau dimasakin apa?" tanyaku mencoba menghiburnya. Chilla mengangkat wajah. "Chilla mau dimasakin soto. Tante bisa enggak?" "Soto ya?" Aku meringis dan berpikir apakah aku bisa memasaknya. "Iya, yang kuahnya kuning. Terus ada mihun dan cekernya. Bisa kan Tante?" Aku mengangguk ragu sembari melirik Ari. "Sepertinya bisa sih. Nanti Tante coba." "Jadi, Tante mau masakin Chilla?" tanya gadis berkucir itu semangat. Aku tersenyum dan mengangguk. "Nanti kalau Tante masak soto, Tante akan beritahu Papi kamu biar bawa pulang buat kamu." "Kenapa enggak masak di rumah aku aja, Tante? Dapur di rumahku lengkap kok isinya." Waduh, dikasih hati minta jantung. Aku tersenyum bingung. Melirik Ari mencoba meminta pertolongannya dia malah mengangkat bahu. Menyebalkan sekali. "Tante juga punya dapur kok di rumah. Tante masak di rumah tante aja enggak apa-apa ya." Aku berbicara sehati-hati mungkin agar Chilla bisa memahami ucapanku. "Gitu ya. Kalau gitu Chilla aja yang main ke rumah Tante sama Kak Geo. Gimana?" Sekarang aku tahu arti makan buah simalakama. Mungkin begini rasanya, membingungkan, nyaris dilema. Aku merasa masuk terlalu jauh di kehidupan Ari. Belum sempat aku menjawab, dering panggilan masuk dari ponselku terdengar. Aku sudah tahu yang menghubungiku Bayu. Nada dering panggilannya memang sengaja aku bedakan. "Sebentar ya, Chilla. Tante angkat telepon dulu," pamitku pada gadis kecil yang masih menatapku itu. Aku beranjak meninggalkan meja sebentar. Entahlah, aku merasa tidak nyaman jika harus menerima telepon Bayu di depan Ari.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD