Setelah berperang batin Senja memutuskan pergi ke sebuah tempat wisata untuk menenangkan pikiran sekaligus menghindari pertanyaan dari sang kakak yang mengetahui hubungannya dengan Dani. Bukan hanya membahas tentang kepergiannya menemui Dani, Langit – sang kakak - pasti dapat dengan mudah membaca ekspresi wajahnya yang menyedihkan. Dan itu akan membuatnya dan Dani dalam masalah jika hubungan mereka sampai terbongkar di depan orang tuanya.
Mobil terpaksa Senja tinggalkan di penitipan sebelum terbang. Sampai di vila Senja langsung menceburkan diri ke kolam renang. Berharap dinginnya air kolam mampu mendinginkan kepala yang terasa hampir meledak. Berpikir dalamnya air kolam sanggup menghanyutkan kalutnya isi otak yang siap dimuntahkan.
Satu jam berlalu Senja bangkit. Tubuhnya tak sanggup bertahan lebih lama dalam air. Gadis itu menghampiri ponsel yang baru penuh setelah diisi daya kemudian menyalakannya. Barisan panggilan tak terjawab dan pesan dari Langit juga sang mama menyapa indera penglihatannya.
Alih-alih membalas pesan mereka, Senja lebih memilih menghubungi seseorang.
“Ya, Sen.” Rindu di seberang menyapa.
“Halo, Kakak ipar,” balasnya membuat sang penerima panggilan bersungut.
“Geli banget, sumpah.”
“Hahaha.” Senja tergelak. Menggoda sang sahabat sekaligus kakak ipar adalah hobby terbarunya. Apa lagi Rindu selalu kesal jika mendapat godaan seperti itu membuat Senja tak ingin berhenti.
Jodoh memang unik. Siapa sangka gadis yang menjadi sahabat Senja sejak duduk di bangku kuliah justru berakhir menjadi istri dari kakaknya.
“Lagi sama Kak Langit, nggak?”
“Iya, tapi dia tidur, nih.”
“Tumben banget jam segini tidur.” Jarum jam baru menyentuh angka sembilan. Tidak biasanya sang kakak tidur di jam-jam seperti ini.
“Kecapekan kayaknya. Dia abis ngeburu Anyelir sama mamanya.”
Senja tidak tahu kenapa setiap hubungan selalu ada rintangan. Seperti hubungan sang kakak dengan sahabatnya ini. Mereka harus berurusan dengan wanita gila tak tahu malu yang gemar sekali membuat kekacauan. Perjalanan cinta keduanya dilalui dengan penuh drama.
“Gimana? Ketemu?” tanyanya setelah beberapa detik diam.
“Ketemu cuma aku belum tahu kabar terbarunya, mereka udah ditangkap apa belum.”
Senja manggut-manggut.
“Masih di Magelang?” tanya Rindu.
“Kok tahu?”
“Kemarin denger mama ngomong pas kakak kamu nanya. Emang ngapain si ke sana?”
“Aku malah udah cabut ini.” Sebenarnya Senja ingin bercerita pada Rindu tapi rasanya kurang tepat waktu. Apalagi sang sahabat tidak pernah mengetahui hubungan rahasianya dengan Dani.
“Loh, kok?”
“Iya, makanya aku mau minta tolong sampein ke mama, nggak usah khawatir. Aku baik-baik aja. Bilang juga sama kakak, soalnya dari siang dia nelepon terus.”
“Jadi sekarang di mana? Sama siapa?”
“Sendiri aja, Kakak ipar. Please deh, aku bukan anak kecil lagi.”
“Bisa nggak, nggak usah pake panggilan gitu? Geli, tauk!”
Senja kembali tergelak namun sepersekian detik berikutnya justru terdiam. Menahan diri untuk tidak mengungkapkan alasannya pergi.
“Halo ... “ Rindu melihat layar ponsel memastikan sambungan mereka tidak terputus. “Senja, kamu masih di sana, ‘kan?”
“I-iya, aku di sini, kok.”
“Ada apa sebenernya? Kamu lagi ada masalah?”
“Enggak, aku nggak pa pa. Lagi pingin healing aja,” balas Senja dengan helaan nafas panjang dan itu tak luput dari perhatian Rindu.
Bertahun-tahun mereka bersahabat, tentu Rindu peka jika terdapat hal tak biasa pada sikap sahabatnya itu. Hanya saja memaksa bercerita bukan hal yang tepat. Karena ia sendiri pun tidak akan melakukan hal yang sama jika tidak sedang ingin berbagi cerita.
“Ya udah, baik-baik, ya. Jangan lupa pulang. Bikin khawatir orang rumah mulu, heran.” Rindu pura-pura menggerutu mengundang kekeh Senja.
“Lusa aku balik, kok.”
“Bagus, nggak baik anak perawan kelayapan sendirian.”
Mendengar kata perawan membuat Senja merasa tertampar. Perawan? Kata itu bahkan sudah tak tersemat sejak lama. Mau tak mau hal itu mengingatkannya kembali pada Dani. Senja menggeleng, tak ingin mengingat apapun. Rasanya masih sakit sekali mendapati senyum bahagia terpancar dari keluarga kecil itu.
“Senja, kamu ngelamun ya?”
“Eh, enggak, kok. Ya udah aku tutup, ya. Pingin rebahan, nih.”
Senja menghempaskan tubuh ke sofa begitu panggilan tertutup. Menatap nanar warna putih langit-langit kamar. Warna serupa yang dilihatnya di hotel tempatnya membuang kehormatan. Miris memang. Dia yang meminta pertama kali karena pengaruh obat. Apakah pantas jika dirinya menyalahkan Dani atas peristiwa itu?
Namun yang terjadi bukan hanya saat itu. Masalahnya mereka sudah menjalin hubungan terlalu jauh. Dan status keduanya juga bukan sekedar nona dan pengawal pribadi. Mereka memiliki hubungan layaknya dua insan yang saling mencintai meski harus ditutup-tutupi. Bukankah pantas jika Senja kecewa atas kebohongan yang diberikan Dani?
“A ... a ..., “ seru wanita cantik meminta sang anak membuka mulut untuk menerima suapannya. “Pinternya anak mama.”
“Pinter, dong siapa dulu papanya.” Dani menyahut sembari membawa berkeliling halaman bocah kecil yang terlihat sangat gembira dalam gendongnya.
“Ya Tuhan ... “ Senja meratap mengalirkan bulir bening pada wajah putihnya. Mengingat interaksi hangat keluarga kecil sang kekasih menimbulkan percik perih perlahan namun tajam menusuk relung hati.
Kehilangan pria yang belum sah menjadi imam adalah hal biasa. Namun bukan hal biasa lagi jika sudah kehilangan harta paling berharga. Akan seperti apa penjelasan yang ia berikan pada calon suaminya kelak?
Kehilangan kehormatan secara tidak sadar akibat pengaruh obat mungkin bisa dimaklumi bagi sebagian orang. Namun jika hal itu terjadi berulang dalam kesadaran apakah masih pantas dirinya disebut sebagai wanita yang sanggup menjaga kehormatan?
“Maafin aku, Ma, Pa. Aku nggak bisa jadi anak kebanggaan kalian. Aku terlalu bodoh,” isaknya penuh penyesalan.
Beberapa menit berlalu, Senja bangkit. Kedatangannya ke tempat ini untuk membuang jauh-jauh kenangan buruk tentang Dani. Bukan untuk meratapi kepergian pria itu.
Di depan sana, suasana pantai yang indah menanti untuk dinikmati. Senja menyeret langkah menuju bibir pantai. Berdiri membiarkan kaki telanjangnya disapa gelombang permukaan laut. Memejamkan mata menikmati hembusan lembut angin laut yang menerpa wajah, menghirupnya dalam-dalam.
Senja membuka mata saat sebuah suara menginterupsi, “Nggak baik wanita cantik jalan sendirian di pantai malem-malem gini.”
“Kamu?” serunya menoleh pada sang penyapa.