"Ra, lo gak pa-pa? Diem aja dari tadi," ujar Rahma menatap heran kearah Naura. Karena Rahma dapat merasakan perbedaan sifat Naura saat ini.
Naura masih diam, membuat Rahma semakin pemasaran. Bukan hanya Rahma, Airin pun juga sama. Keduanya bahkan saling memandang, menerka-nerka ada apa dengan Naura.
"Bokap lo, lagi?" tebak Airin.
Naura menggelengkan kepalanya.
"Kalau bukan bokap lo. Pasti Pak Arga, iya kan?" ucap Rahma. Naura diam, kini keduanya sudah tahu apa yang ada di dalam pikiran Naura.
"Pak Arga kenapa? Dia beneran sakit? Atau jangan-jangan dia sekarat?" ucap Rahma. Membuat Naura menatap Rahma tidak suka. Airin membekap mulut Rahma.
"Mulut lo, Ma! Ucapan adalah doa!" ucap Airin.
"Ya... ya maaf, lagian Naura gak mau cerita sama kita. Kan gue juga capek harus nebak-nebak terus," ucap Rahma mengutarakan isi hatinya.
"Gue ke toilet dulu, ya," ucap Naura akhirnya buka suara.
"Njir, sekalinya ngomong pamit ke toilet, " sindir Rahma. Airin sedikit tertawa mendengarnya.
"Ra, mau gue temenin?" ucap Airin menawarkan diri.
"Gak usah. Gue ke toilet dulu ya. By, " ucap Naura. Langsung bangkit dari tempat duduknya dan pergi menuju toilet.
Airin dan Rahma hanya menatap Naura. Hingga punggung kecil gadis itu sudah tidak terlihat.
"Gue tebak ada sesuatu yang terjadi sama Pak Arga deh," ujar Rahma sok tahu.
"Katanya capek nebak terus," cibir Airin.
"Habisnya gue penasaran njir!" ucap Rahma.
"Atau jangan-jangan.... "
"Sttt... diem! Lo bukan cenayang, Ma. Nebak-nebak juga percuma. Tebakan lo gak pernah bener," ucap Airin.
Rahma menggerutu sebal. Ia memajukan bibirnya. "Ya udah gue diem!"
***
Naura membuka pintu toilet. Lalu menatap wajahnya di cermin. Air matanya meleleh. Ia sudah tidak sanggup untuk menahannya. Dadanya terasa begitu sakit. Bayangan kejadian tadi kembali muncul.
"Sialan! Anjing, babi! Binatang.... "
Prang....
Terdengar suara pecahan kaca. Naura meninju kaca di depannya. Lalu ia menangis. Dan terduduk di lantai toilet. Rasa sakit di tangannya sama sekali tidak berarti. Lebih sakit lagi di hatinya. Arga seperti memberi harapan, namun menghempaskan begitu saja.
"Eh lo ngapain?" ucap salah seorang mahasiswi yang memergoki Naura.
Naura diam. Ia berdiri, menghapus sisa air matanya. Dan langsung keluar dari toilet kampus. Sama sekali tidak memperdulikan darah yang masih nenetes di tangannya.
Naura berjalan di koridor. Dan kini ia menjadi pusat perhatian. Naura tidak perduli. Ia merasa tidak ada orang di sini. Kecuali dirinya sendiri.
"Ra.... Naura... "
Naura kenal dengan suara itu. Itu suara Airin dan Rahma. Namun tetap, Naura tidak menghiraukannya.
"Ra... tangan lo... " ucap Airin. "Kita ke ruangan kesehatan!"
"Gak usah! Ngapain sih," bantah Naura.
"Ngapain? Lo gak liat ini? Lo gila ya!" ucap Airin yang mulai terpancing emosinya.
Airin menarik Naura. Di bantu dengan Rahma tentunya. Mereka berjalan menuju ruang kesehatan. Padahal hari ini Naura sangat benci dengan ruangan ini. Tapi mau bagaimana lagi? Bukan kah Naura sendiri yang mencari gara-gara.
"Dok, tolong teman saya, " ucap Airin. Airin begitu khawatir dengan kondisi Naura.
"Loh ini kena apa?" tanya Dokter.
Naura diam, ia melirik Arga da Felly yang ternyata masih di UKS.
"Ra, kamu kenapa? Kok bisa... "
"Gue gak pa-pa," ucap Naura memotong ucapan Felly.
Rahma menyenggol lengan Airin. Mengkode sesuatu. Airin pun paham dengan kode tersebut. Ia hanya diam, melirik Felly dan Arga.
"Shh... " Naura meringis, ketika alkohol membasuh lukanya.
"Lukanya lumayan parah," ucap Dokter.
"Kalau ada yang harus di jahit. Jahit aja, Dok," ujar Airin. Naura mendelik kesal kearah Airin.
"Jangan dengerin dia, Dok. Obatin kayak biasanya aja," ucap Naura.
"Rahma, lo diam aja? Ah iya gue lupa lo kam takut darah," ucap Naura.
Rahma yang sedari tadi menyembunyikan wajahnya pun menatap Naura heran. Pasalnya, sedari tadi Naura seperti anak ayam yang kedinginan. Namun sekarang, kenapa dia biasa saja. Apa Naura punya kepribadian ganda?
"Ra, lo sehat?" tanya Rahma.
"Sehat. Lo tuh gemetaran liat darah, kan?" ucap Naura.
"Sinting temen, gue," gumam Rahma.
Naura hanya tersenyum. Ia sedikit melirik Arga dan Felly. Naura menghela nafas, menyadari kebodohannya. Harusnya ia tidak usah begini. Harus lebih bisa menutupi kecemburuannya.
Dan yang paling penting adalah, ia harus lebih bisa mengkontrol emosinya.
"Udah, kan Dok?" tanya Naura.
Dokter mengangguk. "Usahakan lukanya jangan kena air dulu ya."
"Baik, Dok. Terima kasih," ucap Naura sembari tersenyum.
"Naura kamu beran gak pa-pa?" tanya Felly.
"Gak pa-pa kok. Kalau gitu saya permisi," ucap Naura. Naura keluar dari ruang kesehatan. Dan di ikuti oleh Rahma, serta Airin.
"Kayaknya saya harus nemuin Naura, deh," ucap Felly. Ekspresi wajah Felly terlihat begitu khawatir.
"Jangan. Kamu lagi sakit," cegah Arga.
"Tapi Naura itu.... " Felly mengantungkan ucapannya. Ia terdiam sebentar, dan mengingat ucapan Naura.
"Pokoknya jangan ada yang tahu, kalau lo kakak gue."
"Naura kenapa?"
Felly diam.
"Saya mau nemuin Naura. Harus bener-bener cek keadaannya," ucap Felly. Felly akan bangkit, dan Arga menahannya lagi.
"Kami lagi sakit. Jangan keras kepala," ucap Arga.
"Tapi... "
"Biar saya yang cek keadaan Naura. Kamu di sini aja. Jangan kemana-mana," ucap Arga akhirnya. Felly pun mengangguk. Arga bangkit dan berjalan keluar ruang kesehatan.
***
Naura duduk di sebuah bangku taman. Di ikuti oleh Airin dan Rahma.
"Eum, gue tahu hal apa yang buat lo jadi kayak bunglon gini," ucap Rahma menopang dagunya.
Naura hanya melirik Rahma.
"Bekal tadi, di ambil lagi sama dia. Dan di kasih ke Fell, " jawab Naura.
"What?! Serius lo?!" seru Airin dan Rahma kompak. Hingga membuat beberapa mahasiswa/mahasiswa yang ada di lingkungan mereka menatap kearah mereka.
"Bisa gak sih? Gak teriak gitu?" ucap Naura. Rahma dan Airin pun mulai sadar dengan apa yang mereka lakukan. "Memalukan!"
"Njir, sorry, habisnya kita bener-bener kaget. Iya kan Rin?" ucap Rahma meminta persetujuan Airin.
Airin hanya menganggukkan kepalanya.
"Kita sebenarnya udah nebak sih, Ra. Sekarang belum apa-apa lo udah kebakaran jenggot sampai tangan lo luka. Gimana kalau nanti, sesuatu hal terjadi, lo mau apa? Bunuh diri?" ucap Airin.
"Nah betul tuh kata Airin," ucap Rahma.
Naura diam.
"Gue tuh sayang sama lo Rin. Makannya gue ngelarang lo buat jalanin misi gila lo ini. Gue cuma gak mau lo sakit hati dan kenapa-napa," sambung Airin.
"Betul tuh!" sahut Rahma.
Airin menatap Rahma malas.
"Sebelum semuanya terlalu jauh. Mending lo akhri semuanya, ya?" ucap Airin.
Naura diam, namun dalam otaknya sedang berpikir sekarang. Ucapan Airin ada benarnya. Sekarang saja hanya melihat Arga begitu peduli kepada Felly hatinya hancur. Bagaiman jika ia melihat kenyataan pahit lainnya?
"Naura... " panggil seseorang.
Ketiganya mendongak ke sumber suara. Rahma dan Airin saling memandang.
"Ra, kita ke perpus dulu, ya," ucap Rahma. Rahma pun menarik Airin untuk pergi. Namun Airin enggan. Ia menolak tarikan tangan Airin.
"Rin, katanya lo mau ke perpus. Ayo gue temenin," ajak Rahma.
"Apan sih gue gak... "
Rahma langsung menarik tangan Airin. Dan tidak membiarkan Airin berbicara lagi. Rahma memberi ruang agar Arga dan Naura saling berbicara.
"Njir lo ngapain narik gue! Gue mau dengar mereka ngomongin apa? Gue juga mau memastikan ucapan Pak Arga gak nyakitin Naura, dan mendorong Naura ngelakuin hal gila kayak tadi," omel Airin.
"Stt.... sabar Rin, ya Allah. Gue juga tahu maksud lo. Tapi kita juga perlu ngasih ruang ke mereka," ucap Rahma, menenangkan emosi Airin.
"Gue juga sama. Gue gak mau Naura ngelakuin hal kayak tadi. Tapi, sekarang lo juga harus ngertiin Naura. Karena yang Naura butuhkan itu Pak Arga," sambung Rahma.
"Lo pernah dengar kutipan tetantang 'kamu itu luka, tapi kamu juga obat?' Nah semuanya diibarat seperti itu," ucap Rahma lagi.
"Serah lo dah," ucap Airin. Airin pun melangkah pergi.
****
"Boleh saya duduk di sini?" tanya Arga.
"Ya. Duduk aja," jawab Naura. Arga pun duduk di sebelah Naura.
"Kenapa tangan kamu bisa seperti itu?" tanya Arga.
"Bukan hal yang penting," jawab Naura.
Arga menghela nafas. "Felly sangat khawatir dengan kondisi kamu."
Naura mendongak, dan menatap Arga. Jadi benar, Arga kesini karena Felly?
"Jadi kenapa tangan kamu?"
"Nonjok kaca toilet," jawab Naura enggan menatap Arga.
"Ha? Nonjok kaca toilet? Kenapa?" tanya Arga menatap Naura.
"Gak pa-pa," jawab Naura.
"Gak mungkin gak pa-pa. Pasti kenapa-napa," ujar Arga.
"Saya lagi kesal dengan seseorang," ucap Naura.
"Sama saya kesalnya? Gara-gara bekal, tadi?" tanya Arga.
"Kepedaan sekali, anda," cibir Naura.
"Kalau iya, saya minta maaf. Memang tadi sebenarnya bekal itu mau saya kasih ke Felly. Karena saya gak berani, jadi saya kasih ke kamu," jelas Arga.
Naura tersenyum sinis mendengarnya.
"Sekarang udah seneng, kan? Karena bu Felly makan bekal yang Pak Arga bawa?" ucap Naura, gadis itu masih menatap lurus kedepan.
"Kamu benaran marah ya sama saya?" tanya Arga.
"Itu pertanyaan gak penting," jawab Naura.
"Itu penting, buat saya," ucap Arga.
Naura mendongak menatap Arga. "Saya gak tahu salah saya apa. Tapi kalau memang benar salah saya adalah bekal tadi. Saya benar-benar minta maaf sama kamu."
"Saya gak bisa kalau kamu diemin gini. Saya benar-benar merasa bersalah, sama kamu, " sambung Arga.
"Pa... Pak Arga... " Naura tidak mampu berkata-kata kali ini.
"Saya takut kalau kamu marah sama saya kamu tidak bisa membantu saya mendapatkan Felly." Naura terdiam, seperti di hantam batu besar. Dadanya begitu sesak kali ini.
"Saya tahu kamu sangat dekat dengan Felly. Karena Felly sekarang sangat-sangat khawatir sama kamu. Itu menandakan kelian dekat," sambung Arga.
Nafas Naura sudah memburu. Kenyataan pahit kembali ia dapatkan.
"Naura, kamu kenapa?" tanya Arga. Melihat ekspresi wajahnya Naura.
"Pak, kita hentikan misi, kita ya?"
***