BAB 1: PROLOG
Seorang gadis desa dengan baju gamis berwarna merah muda yang dipadupadankan hijab berwarna ungu tua kini sedang duduk di hadapan ayahnya, Surya Suwanto . Lisnawaty Nuri yang biasa dipanggil Nuri itu sedang mengutarakan niatnya yang ingin mengadu nasib ke Ibu Kota. Dengan menundukkan kepala dan meremas ujung hijab yang dipakainya, ia mengutarakan niat itu kepada ayahnya yang sedang duduk di ruang keluarga.
“Ayah, Nuri ingin merantau ke Jakarta.” Nuri mengutarakan niatnya dengan suara pelan sambil menunduk dalam. Ia yakin sang ayah akan sangat keberatan dengan niatnya.
“Mau apa kamu ke Jakarta, Nduk?” tanya Surya memanggil Nuri dengan sebutan ‘Nduk’, panggilan kesayangan ala orang Jawa.
“Nuri mau bekerja, Yah.” Perlahan Nuri memberanikan diri untuk menatap mata sang ayah.
“Kamu mau kerja apa di sana? Kamu di sini aja melanjutkan kuliahmu. Ngapain jauh-jauh ke Jakarta. Ayah masih sanggup membiayai kuliahmu ‘kok, Nduk,” tolak Surya tegas.
Sudah Nuri duga, ayahnya tidak akan memberi izin.
Sang Ibu—Santi Rahayu, datang dari balik dapur membawa secangkir kopi untuk suaminya dan sepiring singkong goreng yang masih mengeluarkan asap panas karena baru saja selesai digoreng. Singkong tersebut hasil panen di ladang belakang rumahnya.
Surya adalah seorang petani. Dengan tangan dinginnya, setiap benih yang ia tanam pasti akan tumbuh subur. Dengan hasil panennya itu ia sanggup mencukupi kebutuhan keluarganya. Sebagian hasil panennya untuk dimakan sehari-hari dan sebagian lagi bisa dijual ke pasar.
Santi hanya seorang ibu rumah tangga. Karena ia sering sakit-sakitan, sehingga ia tidak bisa sering membantu suaminya di ladang. Ia mengisi waktunya dengan mengajari anak-anak di sekitar rumahnya untuk belajar mengaji. Tidak sedikit anak-anak yang ingin belajar mengaji padanya sehingga teras rumahnya yang tidak terlalu besar selalu ramai dipenuhi oleh anak-anak yang datang untuk belajar mengaji kepadanya.
“Kamu yakin dengan keputusan kamu itu, Nur?” tanya Santi sambil mendudukkan tubuhnya di samping anaknya. Diusapnya dengan lembut kepala Nuri yang ditutupi hijab.
Nuri mengangguk dengan yakin. “Insya Allah Nuri yakin, Bu. Nuri bisa ikut bude Yatni bekerja.”
“Sebagai pembantu maksud kamu, Nduk?” tanya Surya sambil memicingkan matanya di balik kacamata yang dipakainya. Ia sungguh tidak rela anak gadisnya menjadi seorang pembantu di Ibu Kota.
“Nuri sudah telepon bude, katanya di tempat bude bekerja sekarang sedang membutuhkan baby sitter. Nuri mau mencoba bekerja sebagai pengasuh, Yah. Kalau uang yang Nuri tabung sudah cukup, Insya Allah Nuri akan lanjutkan kuliah Nuri. Nuri tidak mau merepotkan Ayah dan Ibu terus-terusan. Masih ada Agil yang membutuh biaya sekolah. Untuk sekarang tidak apa-apa Nuri bekerja dulu. Nuri bisa menyelesaikan sekolah sampai SMA saja sudah sangat bersyukur. Soal kuliah bisa dilanjutkan nanti lagi,” jawab Nuri untuk meyakinkan ayah dan ibunya.
Surya menghela napas panjang. “Sebenarnya ayah tidak setuju kamu bekerja, Nduk.” Sejenak Surya menghela napasnya berat lalu menghembuskannya perlahan. “Namun kalau keputusan kamu sudah bulat, Ayah dan Ibu hanya bisa mendukungmu. Kami akan selalu mendoakan yang terbaik untukmu, Nduk,” ucapnya akhirnya.
“Iya semoga Allah meridhoi setiap langkah yang kamu ambil, Nak. Di mana pun kamu berada, jangan tinggalkan sholat lima waktu dan amalan lainnya. Hanya itu pesan Ibu.” Santi memeluk putrinya yang membuat Nuri terisak dalam pelukannya.
“Terima kasih Ayah dan Ibu. Insya Allah Nuri tidak akan mengecewakan kalian. Doa kalian yang Nuri butuhkan,” ujar Nuri. Ia sangat tahu kalau ridho Allah tergantung ridho kedua orang tuanya.
Dari Abdullah bin Umar r.a berkata, Rasulullah Saw. bersabda: “Keridhoan Allah itu di dalam keridhoan orang tua dan kemarahan Allah itu di dalam kemarahan kedua orang tua.” (H.R Al-Tirmidzi)
Tiba-tiba sang kakek muncul dari balik pintu dan langsung mendudukan tubuhnya di hadapan mereka.
“Siapa yang mau ke Jakarta?” tanya Suwanto—kakek Nuri. Samar-samar ia mendengar percakapan anak, menantu dan cucunya itu. Ia adalah ayah Surya dan mertua dari Santi.
“Nuri, Pak,” jawab Santi.
“Apa?” Suwanto berdiri dan kedua tangannya berkacak pinggang. “Kamu tidak boleh kemana-mana, Nur. Kakek sudah menjodohkan kamu dengan Tuan Herman, juragan tanah dari kampung sebelah!” larangnya keras.
Ya, Tuan Herman adalah seorang juragan tanah yang tinggal di kampung sebelah. Tanahnya terbentang luas di mana-mana. Umurnya yang sudah berkepala empat, sangat senang mengkoleksi gadis-gadis desa di bawah umur. Bahkan saat ini istrinya sudah sebanyak tiga orang dan ia hendak menjadikan Nuri istrinya yang ke empat.
“Pak …” kata Surya angkat bicara, “umur Nuri masih di bawah dua puluh tahun. Belum waktunya dia menikah,” ujarnya sopan.
“Alaaah, menikah itu tidak pandang umur. Waktu Ibumu menikah dengan Bapak umurnya malah belum genap tujuh belas tahun,” sarkas Suwanto, “pokoknya bulan depan kakek akan menikahkan kalian, Nur. Hidupmu akan terjamin jika kamu menikah dengan Tuan Herman!” katanya lagi tidak terbantahkan. Setelah mengatakan hal itu, Suwanto segera keluar rumah dengan marah. Entah pergi ke mana. Suara dentuman keras terdengar saat ia menutup pintu.
“Astagfirullah!” Surya dan Santi mengusap dadanya berbarengan.
Mendengar semua yang diucapkan kakeknya membuat air mata Nuri turun dengan deras. Ia tidak menyangka sang kakek dengan tega menjualnya kepada juragan tanah demi kehidupan keluarganya yang lebih baik lagi. Haruskah ia mengorbankan masa depannya demi ambisi sang kakek untuk menjadi orang kaya?
Melihat putrinya menangis sesegukan, Santi memeluk tubuh Nuri untuk menenangkannya.
“Bu, Nuri belum mau menikah,” rengeknya dengan derai air mata yang terus membasahi pipinya.
“Sabar ya, Nur. Nanti Ayah dan Ibu akan berbicara dengan Kakek lagi,” jawab Santi.
“Nur, Ayah dan Ibu mengijinkan kamu pergi ke Jakarta,” putus Surya, “pergilah besok pagi-pagi sekali, jangan sampai Kakek tahu. Soal Kakek, biarlah Ayah yang urus. Ayah dan Ibu ingin kamu menjadi orang sukses. Kami yakin kamu bisa jaga diri di sana,” lanjutnya lagi.
“Benar, Yah?” tanya Nuri tidak percaya, seketika senyumnya terbit dari bibirnya.
Surya dan Santi saling pandang lalu mengangguk berbarengan.
“Terima kasih Ayah, Ibu …” ujar Nuri sambil memeluk ayah dan ibunya bergantian.
***
Malam harinya, Nuri tengah menyiapkan barang-barang yang akan diperlukannya selama bekerja di Jakarta. Beberapa potong pakaiannya ia susun rapih di dalam sebuah tas besar. Tidak lupa mukena dan Al-Qur’an berukuran kecil ia masukan juga ke dalam tas itu.
Ketika sedang membereskan barang-barang yang akan dibawanya besok, tiba-tiba Santi masuk ke dalam kamarnya.
“Nur!” Santi mendudukkan tubuhnya di tepi ranjang di samping Nuri.
Seketika Nuri menghentikan aktifitasnya lalu menatap wajah ibunya itu. “Ada apa, Bu?”
“Ini ada sedikit uang, pakailah untuk membeli kebutuhan kamu selama di Jakarta nanti.” Santi menyerahkan gulungan uang kertas yang terikat karet ke tangan Nuri.
“Ya Allah, Bu. Simpan uang ini untuk kebutuhan Ayah dan Ibu di sini.” Nuri mengembalikan gulungan uang itu ke tangan Santi. “Nuri masih punya sedikit uang yang insya Allah akan cukup sampai Nuri mendapatkan gaji pertama nanti, Bu,” katanya.
“Tidak apa-apa, Nur. Ambil uang ini. Hidup di Jakarta itu tidak murah. Suatu hari nanti pasti kamu akan membutuhkannya,” ujar Santi.
“Nuri ‘kan nanti tinggal dengan bude Yatni, Bu. Jadi Nuri tidak membutuhkan banyak biaya,” sahut Nuri meyakinkan, “simpan uang ini untuk kebutuhan Agil sekolah, Bu,” tolaknya lagi halus.
“Yasudah, kalau ada apa-apa jangan lupa kabari Ayah dan Ibu ya,” pesan Santi.
Nuri mengangguk mantap. “Iya, Bu. Nuri pasti sering-sering memberi kabar ke sini. Ibu doakan Nuri ya,” katanya sambil memeluk tubuh ibunya dengan erat. Itu adalah terakhir kalinya ia memeluk tubuh sang ibu sebelum ia mengadu nasib ke Ibu Kota esok hari.