BAB 7

2083 Words
Aldric pov... Kenangan beberapa tahun lalu... Meskipun mahasiswa baru aku ini jarang sekali ikut ospek. Aku hanya rajin ikut ospek Falkutas. Karna kelompoknya di bagi dengan anak jurusan lain. Kan ala-ala cuci mata. Tapi ketika anak kelompoknya tidak ada yang tipeku aku pun malas ikut ospek lagi. Malas pokoknya. Dan dikelompok ospek falkutas itu aku mengenal Melvin. Yang sampe sekarang ia menjadi salah satu sahabatku selain Reza. Lalu tak lama kita pun ospek Universitas. Isi kelompok ospek ini lebih banyak. Dan disini aku sekelompok dengan Reza. Karna lebih bisa cuci mata aku pun lebih rajin untuk ikut ospek. Dan hari ini adalah ospek terakhir. Aku duduk di gazebo dekat taman karna memang saat ini sedang istirahat. Sedangkan Reza sendiri sesang ngobrol dengan anak-anak yang lain. Aku sendiri dan beberaoa kali menyauhuti. Tapi.. Sautanku berhenti ketika ada seseorang yang duduk disampingku. Hanya ada jarak 10cm dari tempatku duduk. Dan aku mampu mencium baunya. Stowberry. Reflek aku menoleh. Melihat siapa orang itu. Perempuan itu menguncir rambutnya seperti ekor kuda. Rambutnya hitam panjang. Aku tak bisa melihat wajahnya. “Lo serius Sen mau deketin Aksara anak kedokteran itu?” Tanya temannya. “Seriuslah Ya'.. Aksara tipe gue banget soalnya.” Jawab perempuan itu. Aku mengenal nama itu. Aksara anak kedokteran. Aku sering bertemu laki-laki itu di klub malam. Aku langsung menggeleng. Kok malah dengerin cewek-cewek gosip deh. “Lo bayangin dong Ya' udah ganteng, baik, rajin sholat. Gue sering banget lihat dia di masjid kampus. Calon Dokter lagi. Idaman deh.” Pujinya lagi. Aku menahan tawaku mendengarnya. Semoga saja orang yang di bicarakanya berbeda dengan orang yang ku kenal. “Sen, Gea!!” Aku melihat ke depan seorang perempuan berambut coklat panjang sedang berlari ke arah perempuan yang sudah duduk di sampingku. Dia membawa 3 bungkus jajan. “Nih.. Gue Cilok sekalian. Kalian pada suka pedes kan?” Tanya si rambut Coklat itu. Aku membaca name tag di dadanya. Caca. “Aduh Ca ... gue kan jadinya seneng kalo lo traktir gini.” “Harusnya lo bilang kalo mau beli Cilok. Gue anterin.” Kata si Stowberry itu. “Gapapa.” Jawabnya tersenyum bak anak kecil. Kini dia berjongkok di depan kedua perempuan itu. Si Stowberry itu menitipkan Ciloknya. Ia lalu merogoh kantongnya dan menyruh perempuan bernama Caca itu berbalik. Caca menurutinya dan si Stowberry itu langsung mengikat rambutnya. “Lebih cantik. Lebih rapi gini.” Pujinya. Perempuan itu berbalik. Ia tersenyum. “Eh Sen.. Dilihatin tuh..” Katanya lagi sembari menunjuk ke arahku. Jantungku berdebar. Aku kaget mendengarnya. Si Stowberry itu lalu menatapku. Wajahnya putih mulus. Matanya bulat, hidungnya mancung, dan bibirnya kecil bewarna pink. Dia tersenyum. Aku membaca namanya. Sena. “Sorry ya.. Kalo berisik.” Ucapnya dengan tersenyum. Aku menganguk dan langsung berdiri. Aku mengajak Reza pergi. Dan Caca langsung duduk dintempat bekasku duduk. Sayup-sayup aku masih mendengar tentang laki-laki bernama Aksara. Itu adalah pertemuanku dengan Sena untuk pertama kalinya. Setelah itu aku tidak pernah bertemu mereka lagi. Sampai akhirnya aku semester 2. Hari itu tepat kita mau liburan semester genap selama 3 bulam. Reza mengebalkan pacar barunya. Namanya Caca. Ketika pertama kaki melihatnya aku merasa tak asing. Ketika aku mengatakan hal itu anak-anak pada menyorokiku dan mengatakan jika aku tukang gombal. “Udah Al.. Playboy lo jangan kumat!!” Ejek Brahms. Brahms ini teman sekelas. “Jelas aja nggak asing. Kan kita sekampus. Lagian aku juga sering banget jajan di kantin ini.” Jawabnya dengan tersenyum. Aku menganguk tak peduli. Karna bisa saja itu benar. Kantin Garden ini sangat luas. Bahkan halaman rumahnya saja tak seluas ini. Aku juga tak terlalu peduli tentang Reza dan Caca. Yang ku tau mereka jadian ketika di semester 2. Mereka kenal karna tidak sengaja ikut kelas bahasa yang sama. Ternyata Caca itu jurusan Ilmu Komunikasi. Hanya sebatas itu yang kuketahui. Hubungan Reza dan Caca sendiri di jadikan taruhan oleh teman-temanku. Siapa yang mengusulkan itu?? Brahms. “3 Minggu putus.” Kata Brahms.  “Sebulan setengah gue.” Kata Lois. “Anjing ah kalian!!” Maki Reza. “3 bulan.” Kata Melvin yang kini mengeluarkan 6 lembar uang ratusan ribu. Teman-teman lingkaranku selain muka oke fashion di atas rata-rata  memang mereka anak orang berpunya. Jadi mengeluarkan uang seperti itu bukan masalah besar. Lois di jatah 7juta perbulan. Itu belum uang bensin dan uang korupsi hasil bohongi orangtuanya iuran ini iuran itu, beli buku, bensin. Banyaklah. Reza sendiri di jatah 11 juta. 10 juta uang jajannya. 1 juta uang bensinnya. Uang kossan dllnya. Itu beda lagi. Lalu Melvin ia di jatah 15 juta perbulan. Pokoknya bensin, kitab, makan udah jadi satu. Lalu berikutnya aku. Perbulan 15 juta. Itu hanya uang jajan aja. Uang bensin + listrik + wifi apartemen 3 juta. Lalu uang buku 2 juta. Padahal aku juga tidak pernah beli buku. Totalnya semua uang bulananku 20 juta. Lalu uang jajan yang paling banyak di pegang oleh Brahms. Kalau uang jajannya habis. Ia langsung telfon papanya. Ia anak tunggal pengusaha terkenal di Indonesia. Mobilnya saja termahal nomor 3 di kampus. Mobil sport. Entah berapa M itu harganya. Tempat tinggalnya sendiri di hotel mewah bintang 5. Hotel. Brahms itu sebenarnya sangat baik dan royal ke siapa pun. Tapi sayang Brahms itu anaknya suka seenaknya sendiri. Ada aja. Pokoknya Bramhs ini anak kurang kasih sayang. Jadi perilakukanya sering mengarah ke Caper. Cari perhatian ke teman-temannya. Dan setiap nongkrong hampir selalu Brahms yang membayarnya. Meskipun anaknya orang kaya gitu, tapi Brahms ini anaknya b**o banget. Aku berdoa semoga Brahms ini nggak dapat pacar Matre. Jika sampe kejadian, bisa tamat sudah. “Lo berapa?” Tanya Melvin kepadaku. Karna aku tau sifat Reza. “Bertahun-tahun” Jawabku mantap. “Nanggung banget sih Vin.. 400 rbnya mana?” Minta Brahms. “Nih lihat.. Ga ada ua g cash lagi gua. Cuma ini doang.” “Kan cuma lo doang Bramhs yang suka bawa uang cash.” Saut Lois. “Anjing banget sih kalian bikin hubungan gue taruhan gitu...” Marah Reza. Kita semua hanya tertawa menanggapi kekesalan Reza. Tak lama taruhan itu di menangkan olehku. Aku pun mendapat uang 3 juta secara cuma-cuma. Uang itu pun ku gunakan untuk mentraktir anak-anak di klub malam. Lalu di di akhir semester 3 aku pun bertemu dengannya lagi. Waktu itu aku sedang menemani Arina anak Tehnik Industri. Untuk kedua kalinya perempuan itu mengajakkku jalan. Aku pikir kita akan nonton atau apa. Tapi ternyata dia malah ngajakin aku demo. Terlebih ketika aku melihat dia maju kedepan dan orASI. Aku menggelengkan kepalaku. No!! Big No!! Aku nggak bisa pacaran denganya. Dia lebih parah dari Rosi anak Tehknik Sipil. Aku langsung berjalan pergi. Aku memulai mengirimkan pesan kepada anak-anak lainnya lewat grup. Mereka juga sedang ikut demo. Padahal aku tau betul mereka hanya ikut-ikutan. Aku menghela napas kasar. Mana panas banget lagi sekarang. Dimana sih mereka ini sebenarnya?? Ash.. Sialan!! Damn it!!! s**t!! Aku mencarinya kemana-mana. Karena tak menemukannya aku langsung membeli minum ketika ada orang yang jualan minum. Ketika aku hendak membuka botol itu tanganku berhenti mendengar seseorang memaki di sampingku. “Caca beneran b******k banget sih!! Awas aja kalo ketemu beneran gue bunuh tuh anak!” Ucapnya penuh dendam. Caca?? “Mana handphonenya mati lagi!! Anjir banget sih!!” “Sabar Sen..” “Ngapain sih tuh anak ngajakin demo segala..” “Ya buat ketemu si Reza pacarnya lah.” Balas temannya kesal. Mendengar nama itu aku pun memperhatikan mereka. Sepertinya orang yang sedang mereka maki itu.. Orang yang saat ini sedang ku cari. “s**t!! Mana handphone gue mati juga.” Keluhnya. Aku mampu mencium bau Stowberry lagi. Selama ini aku hanya pernah mencium bau seperti ini dua kali. “Gue punya kuota. Nomor Reza juga nggak gue Save.” “Sini gue send.. No.nya Rez.. Anjir.. Kok malah ikutan mati sih nih HANDPHONE.” Omel si Stowberry itu lagi. Ia langsung terduduk. “Mana panas.. Haus.. Gue lupa bawa duit!” “Gue juga.. Caca ngajaknya ndadak. Jadinya gue ga bawa persiapan.” keluhnya. Aku menatap botol minum ku. Lalu menghela napas kasar. Aku lalu menyodorkannya ke dia. Dia menatapku dengan mata yang menyipit. Aku lalu mendekat ke arahnya. Menghalangi sinar matahari agar tidak mengganggu pengelihatannya. Aku menunduk menatapnya. “Ini mbak.. Kelihatannya haus banget tuh.” Kataku dengan tersenyum. “Eh.. Nggak usah mas.. Gapapa.” Ucapnya tak enak. Kini dia bangkit lalu melihatku. Aku memegang tangannya lalu memberikan minum itu. “Sans aja. Ini juga belum gue buka.” Kataku santai. Setelah itu aku langsung beralih pergi. Setelah itu aku tak melihatnya lagi. Kini aku menbeli minum dan meminumnya. Tak lama aku mendengar orang yang memanggilku. Brahms.. Semester 4 di mulai. Reza masih berpacaran dengan Caca. Kini Caca kadang-kadang membawa Gea dan Sena. Aku sebelumnya merasa biasa saja dengganya. Sampai akhirnya aku melihatnya selalu menatapku benci dan sinis. Tak hanya itu dia sering mebgacuhkan pertanyaanku atau membalasnya dengan sinis. Aku tidak tau aku salah apa dengannya. Dari yang kudengar dari Caca. Dia membenciku karna aku playboy. Mendengar alasannya. Aku pun ikut membencinya. Tak menyukainya. Sampai akhirnya di awal semester 5 aku tidak sengaja menidurinya dan berakhir menikah dengannya. Aku sangat membencinya. Bahkan ketika acara pernikaha di mulai. Aku dan dia sama-sama tak mau tersenyum. Setelah menikah dengannya aku tinggal di rumahnya selama 2 hari. Selama itu kita pun sekamar. Aku sedikit tak nyaman sebenarnya. Sejak kecil aku selalu tinggal di kasur yang luas. Kamar mandi dalam yang memiliki Jacuzzi bathub. Dan di rumah Sena, hanya ada kasur biasa. Beruntunya cukuplah dibuat tidur untuk berdua. Kamar mandinya digunakan bersama. Kamar mandi dalam hanya ada di kamar utama. Di rumahnya saja setiap kamar mempunyai kamar mndi dalam sendiri, satu televisi. Dan kecepatan wifinya sangat tinggi. Jika seluruh rumah sedang streaming pun nggak akan lemot. Setelah menikah aku dan Sena tak saling bicara. Kita saling diam. “Jangan keras-keras.” Katanya lelah. Aku menurutinya. Aku memelankan suara gameku. Dan Sena langsung memunggungiku. Ketika aku hendak tidur, Sena membalik tubuhnya. Aku melihatnya. Sena bukankah tipeku. Jauh dari tipeku. Tapi melihatnya tertidur lelap seperri ini.. Dia terlihat cantik. Terlebih ketika kaos kebesarannya memperlihatkan dadanya. Wow.. Pemandangan indah. Sayang sekali aku tak bisa memainkannya. Setelah 2 hari menikah. Kita akhirnya kembali kuliah. Ketika mengetahui jika uang jajanku di stop. Disana aku berkata supaya Sena bersikap biasa atau tak mengenalku sekalian. Aku sangat marah kepada perempuan itu. Gara-gara dia. Semua masalah ini gara-gara dia. Akhirnya ketika aku dan dia bertemu setelah beberapa minggu tak bertemu, aku masih kesal dengannya. Dan perempuan itu terlihat lebih kurus dari terkahir kali aku bertemu. “ALDRIC ALVARO!!” Mendengar suara teriakan Aldric tersadar dari kamunanannya. “Iya pak?” “Masih ngantuk kamu??” Bentak Dosen di depannya. “Masih pagi udah ngelamun. Sana cuci muka.” “Iya pak.” Kata Aldric yang langsung bangun dari duduknya. “Handphone kamu tinggal di depan.” “Hah??” “Tinggal di meja saya. Kok Hah gitu.” “Kenapa pak? Kan saya nggak main handphone?” “Temen-temen kamu nggak ada yang masuk itu!!” “Lah.. Ini teman-teman saya pak.” Kata Aldric yang menunjuk ke teman-teman yang lainnya. “Geng kamu!! Melvin, Reza, Brahms, sama Lois. Saya nggak mau kamu titip tas kamu. Jadi sini handphone kamu.. Sana cuci muka!! Lalu balik sini!” Aldric menganguk mengerti. Ia lalu mencuci mukanya. Padahal tadi ia sangat senang. Akhirnya ia bisa skip gitu. Ketika Aldric kembali dan meminta handphonenya. “Kamu semalam tidur jam berapa memang?? Saya sering banget lihat kamu ngantuk loh Al.. Padahal mata kuliah saya itu jam setengah sembilan loh. Saya tersinggung kamu suka banget ngantuk.” Omel Dosen itu. “Jam 3 pak.” “Jam 3?? Habis ngapain kamu?? Dugem?” “Anaknya saya nangis pak.. Nggak berhenti-berhenti.” Jawab Aldric. “Anak??” “Aldric punya anak pak.. Kembar.. Cowok.” Saut temannya. “Cie ... Papa muda.” “Ish ... Idaman banget sih.” “Wah ... Gila ikut ngurus babynya segala.” “Kamu serius punya anak?” Tanya Dosennya itu. “Serius pak.  Mau saya lihatin fotonya?” Dosen itu menganguk. Ia lalu mengembalikan handphonenya. Aldric membuka galeri lalu memperlihatkan foto putranya. “Ganteng kan pak kayak saya?” “Ya, moga-moga kelakuannya nggak mirip kamu juga.” Aldric hanya tersenyum mendengarnya. “Itu gimana kamu bisa punya anak? Hamil duluan istri kamu?” “Astagfirullah Pak. Saya nikah 4 bulan loh pak. Istri saya baru hamil.” “Oalah ... Saya kira. Habisnya kamu kelihatan nggak bener sih. Udah sana duduk.” “Makasih pak.” “Eh tunggu, telfon temen-temen kamu dulu!! Suruh masuk kelas saya.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD