Sesampainya di Italy, mereka berjalan menuju ke atas Gunung sebuah desa bernama Samo and Precacore. Yah, desa ini adalah Desa pilihan di mana Jason membuat sebuah markas yang cukup besar. Dengan tembok keliling setinggi tiga meter, serta pos jaga di setiap sudutnya, ditambah dengan lampur mercusuar seperti di pantai yang akan selalu menyala jika matahari mulai tenggelam.
Melihat ketatnya pengamanan di Markas milik Jason, Jorge cukup tercengang hingga mulutnya melongo dengan lebar.
“Aku akan membuatkan kalian rumah dengan fasilitas safe house dan segala kebutuhan darurat yang dibutuhkan. Jika kalian ingin privasi, kalian bisa memilih di mana tempatnya, asalkan tidak keluar dari Negara Italy. Tapi untuk sementara sampai semuanya aman dan sampai kedua orang tua Timothy di tangan kita. Maka, kalian tidak akan kemana-mana, okay Jorge?” tanya Jason dengan tegas dan kata-kata ‘tidak akan kemana-mana’ diucapkan dengan intonasi yang lebih penuh penekanan.
“Iyah ... iyah ... tapi, bagaimana dengan semua bisnisku, Jason?” Jorge cukup setres karena tidak boleh memakai ponsel pintar dan bahkan laptopnya.
“Setelah semua perangkat laptop dan ponsel serta yang lainnya aku ganti, barulah kau bisa melakukan segala sesuatunya, untuk sementara percayakan semuanya dulu kepada CEO mu. Bukankah kau pemiliknya Jorge, dan bukankah CEO mu itu sudah bekerja sejak kau belajar untuk cebok? Jadi sudahlah jangan terlalu dipikirkan,” ucap Jason dengan jengah.
“Sialan, kau Jason,” kekeh Jorge, Jason hanya tersenyum kecil melihat wajah merah adiknya.
“Beri aku satu kali dua empat jam untuk mengganti semua perangkat lunak dan semua perangkat keras di semua perusahaanmu,” ijin Jason.
“Apa, Kau bisa melakukannya?” tanya Jorge heran.
“Hemmm, sekarang turunlah, aku sedang menunggu kabar dari Timothy, juga dari Tadashi yang sedang menyelamatkan kedua orang tua Timothy,” ucap Jason lalu membuka pintu dan jalan melenggang tanpa beban.
Ia menoleh kebelakang, melihat bagaimana Calista sangat ketakutan saat ia mengedarkan pandangannya ke seluruh arah. Ia bergidik saat tau ada banyak orang memegang senjata laras panjang, sebuah pikiran melintas di otaknya. “Jangan coba-coba lari dari sini, jika kau punya pikiran untuk berlari, bahkan hanya memiliki niat memikirkannya saja, akan kupastikan, mata dan otak mu sudah akan kececer di tanah,” desis Jason menatap tajam Calista.
Sebuah ancaman yang terlontar dari bibir seksi Jason membuat Calista sangat ketakutan. Keringat dingin kembali keluar sebesar biji jagung, kakinya tak sanggup lagi melangkah kedalam sebuah rumah mewah yang lebih mirip dengan mansion. Tempat Jason ini padahal, semewah rumah milik orang tuanya di Athena, tapi tetap saja, tidak ada rasa aman dan nyaman dalam diri Calista. Semakin dilihat dengan tatapan tajam oleh Jason, semakin kaki Calista lemah seperti kaki gurita yang tak lagi bertulang.
Merasa berjalan dengan semangat dan sadar bahwa ada yang tertinggal di belakang, Jorge sontak keluar lagi dari Mansion. Ia melihat Calista berdiri sambil menatap bahu Jason yang berjalan mendekati pintu tanpa beban. Jorge menautkan alisnya heran melihat wanita yang ditebusnya berdiri dengan wajah pucat.
“Lista, sini. Kamu ngapain berdiri di sana terus?” panggil Jorge menahan tawa, Jorge juga menaruh curiga kepada Jason, karena dia tau Jason terkadang sangat usil.
“Apa yang kau katakan kepadanya sampai dia mematung di sana Jason?” tanya Jorge santai namun menyelidik kepada kakaknya, yang ditanya hanya menggendikkan bahu dan berlalu begitu saja. Lalu ketika dia baru saja melangkahi lima anak tangga barulah dia menjawab pertanyaan Jorge.
“Aku hanya memberikan ucapan selamat datang kepadanya, tidak lebih dan tidak kurang,” ucap Jason sambil berlalu, dan sedikit menyunggingkan senyumannya karena merasa lucu melihat wajah Calista yang ketakutan seperti tadi.
“You f*****g ass hole, Jason!” maki Jorge yang disambut dengan gelak tawa oleh Jason, Jorge lalu kembali keluar dan menenangkan Calista yang masih saja tegang dan ketakutan.
“Ayo masuklah, aku akan mengantarmu ke kamar yah. Jangan takut, Jason memang orang yang dingin tapi dia suka bercanda. Apa, kau kelelahan?” tanya Jorge kepada Calista. Namun, Calista tampaknya masih trauma, ia langsung mundur beberapa langkah membuat Jorge tidak lagi memaksanya untuk masuk.
“Yah sudah, aku tidak akan menggandeng atau memegangmu, kamu bisa jalan duluan. Silahkan Calista,” ucap Jorge sambil mengikuti Calista dari belakang, dan semua itu tidak terlepas dari pandangan Jason di atas balkon kamarnya.
***
Berbagai macam alat yang tak biasa tersusun rapi di meja panjang membuat Camila sudah kesusahan dalam bernafas, Ia merapalkan doa berkali-kali agar segera ditembak saja dari pada harus dihabisi dengan penuh penyiksaan seperti ini. Ia kembali menggelengkan kepalanya dan menangis sejadi-jadinya.
“Camila, bukankah menyiksa orang adalah hobimu? Apakah kau lupa bagaimana saat adikku kau siksa dan kau biarkan dia mati dengan cara yang lama? Kini giliranmu, aku akan berbaik hati untuk menuntaskan semuanya hari ini juga,” bisik Timothy sangat pelan hingga membuat Madam dan Yoshiro tidak dapat mendengarnya dari balik kaca tersebut.
“EHM!EHM!” teriak Camila begitu ketakutkan.
Timothy memilih sebuah mesin bor yang biasa digunakan untuk memasang paku atau baut di tembok. Melihat itu Camila kembali berteriak sambil menangis, dan tempurung lutut adalah pilihan pertama Timothy. Iya menusuk lutut Camila dengan mesin bor, hingga membuat darah mucrat kesana kemari, suara teriakan Camila menggema tidak karuhan, suara itu sungguh memiluhkan.
Namun bagi Madam, itu adalah suara terindah di kala hasratnya merasa begitu haus akan darah orang yang dianggap tidak berguna. “HEM! Hu ... hu ... hu ....” Lagi-lagi Camila menangis histeris.
Bukan hanya menangis tapi tubuhnya gemetar menahan rasa sakit yang luar biasa hingga ke pinggang, tanpa menunggu lama Timothy kembali melakukan hal yang sama untuk kaki kirinya, lutut kiri Camila juga kembali dibor hingga tembus. Semua itu sebenarnya membuatnya ingin muntah tapi, Timothy tidak memiliki pilihan lain selain terus menahan perasaannya.
Seluruh wajah Timothy mulai terlihat merah akibat darah yang muncrat kesana kemari.
“Bagaimana rasanya? Hah? Aku penasaran, jika lututmu sudah hancur seperti ini. Bagaimana kalau aku melubangi telapak kakimu itu, apa kau juga masih merasakan sakit, Camila?” tanya Timothy dengan menyeringai.
“Aku suka dia Yoshiro,” ucap Madam sambil menunjuk Timothy kepada Yoshiro, dan Yoshiro mejawab dengan senyuman datar sambil menunduk.
“HEM! HEM!”
“Oh, masih sakit to?” kekeh Timothy.
“Camila, bagaimana jika lidahmu yang kini akan ku potong? Bukankah lidah mu itu suka sekali mengumpat anak buah, dan tentu berbohong demi keuntunganmu sendiri??” Timothy seolah kembali meneror Camila yang sudah menahan rasa sakit di luar batas kemampuannya.
Camila hanya bisa menggeleng lemas, lalu dengan cepat Timothy membuka isolasi lakban dari mulut wanita yang sedang duduk di kursi penyiksaan ini. Ia mengikat kepala Camila untuk bersadar di kepala kursi dan membuka mulut wanita itu menggunakan alat penyangga khusus yang biasa digunakan oleh dokter gigi saat mengoperasi pasiennya.
Lalu Timothy menarik paksa lidah Camila dan mengambil gunting yang begitu tajam. Mulut Camila sudah mengeluarkan darah yang begitu banyak hingga membuatnya kejang-kejang karena kesakitan dan pingsan saat itu juga.
Dengan langkah tegap Timothy mengambil air mineral dan meminumnya, dia sadar jika apa pun yang dilakukannya saat ini semua di bawah pengawasan sang Madam. Tentu saja Timothy sadar dan sadar jika dirinya harus mampu menghibur Madam dengan cara yang tidak biasa agar tetap hidup sambil mengulur waktu sampai kedua orang tuanya aman.