Ada pertemuan, ada pula perpisahan. Ayunda tahu Khairan tak bisa terus di sisinya. Pun, Khairan juga tak mungkin menginap di sana. Jadi, meski Ayunda sudah menahan suaminya itu untuk tinggal lebih lama, tetap saja pada akhirnya akan pergi juga.
“Beritahulah Umma, aku akan pamit.”
Ayunda hanya melangkah dengan tidak sepenuhnya rela. Kemudian kembali lagi, tanpa Zahra. “Beliau sibuk, katanya. Pesannya hanya hati-hati di jalan.”
Khairan mengangguk paham. “Siapkan saja hal-hal menyenangkan untuk kita bicarakan di pertemuan selanjutnya.”
Ayunda sedikit memelankan suaranya, “Bisakah bertemu di luar? Aku merasa dinding ini sudah seperti telinga Umma, tahu.”
Khairan tersenyum lebar. Ayunda benar-benar menjadi dirinya sendiri dan itu melegakan. Setidaknya gadis itu menyenangkan dan merasa senang dengan kebersamaan mereka. “Akan ada waktu yang tepat, Ayunda. Aku pun ingin membawamu ke tempat-tempat yang bisa mengukir momen kita. Tapi, bersabarlah.”
“Setidaknya kita sudah menikah,” Ayunda mengangguk.
“Setidaknya sepanjang tahun ini aku bisa sesering mungkin menemuimu.”
Ayunda jadi terkenang pada syarat-syarat pernikahan mereka. “Hm, jadi saat usiamu 18 tahun, kau mulai akan sibuk?”
“Ya. Abati pasti lebih ketat memintaku serius menangani perusahaan,” ujarnya menghela napas. “Sebenarnya aku berencana tidak menduduki takhta. Tapi jika aku tidak menyanggupi itu, berarti aku akan kehilangan kesempatan bersamamu.”
Ayunda menunduk. “Maaf.”
“Kita sama-sama berkorban, Ayunda. Jangan khawatir. Kita akan saling menguatkan.”
Akhirnya, Ayunda harus pasrah saat pintu rumah memisahkan mereka. Belum sempat berpisah, rasa rindu yang sekejap sudah datang membuatnya terlihat sendu. “Aku tidak bisa dihubungi.”
“Kau bisa mencobanya lewat jalur langit.” Khairan tersenyum lembut, “Bukankah Allah yang Maha Kuasa? Allah akan membuat segalanya lebih mudah untuk kita, Ayunda.”
Lembut, menenangkan.
Khairan mengulurkan tangan, “Aku pamit. Jaga diri, jaga hati.”
Ayunda mencebik menahan tangis. Namun, ia menjabat tangan itu lalu membungkuk, khidmat mencium punggung tangannya. Ayunda kemudian menegakkan diri lagi, tapi tetap membiarkan ikatan tangan mereka bertaut. Khairan tak melepas, Ayunda pun begitu.
Khairan tersenyum kemudian meninggalkan kecupan singkat di kening Ayunda. “Kutitip penjagaanmu kepada Allah, Ayunda.”
Kemudian pemuda itu melerai jemari mereka, sesaat mengusap kepala Ayunda lalu mundur perlahan. “Assalamu’alaikum.”
Setitik air mata lolos di sudut mata Ayunda. Gadis itu melambaikan perpisahan dengan senyum dipaksakan, “Wa’alaikumussalam. Selamat hingga tujuan, suamiku,” balasnya lirih, serupa doa.
Dan mobil yang membawa Khairan pun menjauh dari pandangan mata. Yang Ayunda bisa hanya bersandar di kusen pintu, merasai rindu yang datangnya begitu banyak menyerbu. Suara langkah menyentaknya tegak. Ayunda berbalik, melihat sang ibu mendekat. Lekas Ayunda menutup pintu. “Dia baru saja pergi, Umma.”
Namun, Zahra tak menggubris ucapan putrinya. Wanita itu menelisik secara rinci pakaian Ayunda. Tentu gadis itu menyeka mata supaya tak tersisa lagi tangis sendunya. “Dia menyentuhmu?”
Ayunda merasa gatal, refleks saja salah satu tangannya menggaruk kening bekas kecupan Khairan. Serasa aroma pria itu masih menempel jelas pada hidungnya. Sesaat tadi memberi ketenangan dan rasa nyaman, tapi di depan ibunya seperti bukti dakwaan.
“Kalian berciuman?”
Ayunda tersentak jelas. Pilihan kata ibunya begitu vulgar di telinga. Rasa-rasanya itu akan menenggelamkan Ayunda dalam kolam malu sampai tak bisa bernapas.
Zahra tak luput dari kecurigaan. “Aku lihat dia mencium keningmu. Ada lagi sebelum itu?!” tanyanya dingin.
Ayunda menggeleng, tertunduk malu.
“Buka jilbabmu!”
Ayunda mengerjap, “Untuk apa? Ayunda rencananya akan kembali ke asrama...” Kalimat Ayunda tergantung di udara. Rasa tenggorokannya tercekat saat singgah di kepala apa yang dimaksud ibunya. Mungkinkah ibunya berpikir Khairan meninggalkan jejak dalam jilbabnya?!
Ayunda hanya mampu memikirkan, tak berani menyuarakan.
“Aku tahu, kau mengerti, Ayunda. Gadis-gadis yang jatuh cinta punya banyak fantasi dan selalu ingin mewujudkannya.”
Ayunda cukup kesal dan sangat malu. Ia bukan robot yang tak punya perasaan. Ayunda jelas memahami buncahan rasa senang dan damainya bersama Khairan, tapi ia masih paham batasan yang Zahra peringatkan. Bahkan, Khairan itu sendiri mencegah raga mereka terlalu dekat, meski Ayunda yakin hasrat dalam hatinya ingin memberontak juga. Dengan segenap tenaga, gadis itu membuka kain penutup kepalanya memperlihatkan lebih banyak kekecewaan daripada apa pun yang tak ingin ia ucapkan. “Cobalah percayai putrimu dan menantumu, Umma.”
Zahra melihat sekeliling leher putrinya yang tak ada bekas apa-apa.
Ayunda kemudian memasang lagi jilbabnya, juga kain cadarnya. “Kami akan berusaha menjaga perasaan Umma.”
Ayunda ke meja tamu dan mengambil semua buku dan membawa serta sisa macaronnya. “Ayunda kembali ke asrama, Umma. Assalamu’alaikum.”
Tanpa menunggu balasan, gadis itu sudah menghilang di balik pintu yang ditutupnya cukup pelan. Kecewa, tentu saja mendesak matanya untuk menangis. Namun, Ayunda menahan diri. Ia tak mau mendapat pandangan curiga siapa pun. Tidak untuk mengabarkan bahwa hubungannya dengan sang ibu jelas makin berjarak.
***
Khairan menatap sinar pagi dari atap Kastil Abinaya. Cahaya jingga yang perlahan menyebar itu seharusnya membawa ketenangan, namun bagi Khairan, ada keraguan yang menyelimuti hatinya.
Suara tawa renyah khas ibunya memantul, diselingi kalimat canda ayahnya pula. Langkah mereka mendekat, seolah tak menyadari sama sekali keberadaan Khairan di sana. Dalam gelap subuh Khairan bersembunyi dari romansa pagi orang tuanya. Hatinya mencelos. Mereka terlihat begitu sempurna, sepasang kekasih yang tak lekang oleh waktu, dan rasa gamang itu kembali menusuknya. Bisakah ia mencapai tingkat kebahagiaan dan keutuhan seperti itu? Terlebih dengan pernikahannya yang terasa begitu mendadak dan tak terduga. Bayangan kerumitan di masa depan tak henti menghantuinya.
“Tunggulah, Ifa. Saat Khairan mengambil alih perusahaan, Khumaira dan Khalid mengurus pesantren, kita bisa punya lebih banyak waktu. Mungkin kita akan ke tempat itu lagi.”
“Itu yang Anda maksud adalah Pondok Energi?!” Suara terkesiap sepertinya mendera telinga Khairan. Dia memalingkan wajah saat melihat ibunya menghambur, memeluk sang ayah. “Kau tahu putramu memegang kuncinya. Bagaimana kalau dia menemukan jejak kita?”
“Haruskah kubeli aset itu darinya? Kita tak harus diganggu setelah tua.”
Ifa tertawa, suaranya merdu mengalahkan segala apa pun yang indah pagi itu.
“Oh! Dia di sini,” bisik yang terlalu jelas dari ayahnya. Bintang Abimayu membawa langkahnya, Ifa masih setia melingkarkan tangan di lengan suaminya. Mereka mendekati Khairan, agak canggung. “Berapa akan kau jual aset Nenekmu?” tanyanya tanpa repot-repot menjelaskan.
“Ambillah Abati. Kau bisa meminta kuncinya kapan saja.”
Bintang tersenyum, kesan tak peduli putranya mirip sang istri yang dulu sama sekali tak silau akan harta. “Kuminta sekarang juga,” tantang Bintang, tangannya menengadah.
Khairan merengut, “Kalau bermaksud mengusir, aku tidak mau.”
Bintang sengaja memeluk Ifa dari belakang, membiarkan putranya melihat kemesraan mereka. Tubuh Ifa kaku, tentu saja. Sempat pula jemari lentiknya mencubit lengan Bintang yang melingkari perut datarnya. “Jangan menyesali pernikahanmu, Nak.”
Khairan memang tidak menyesalinya. Ia hanya sedikit iri, karena tak bisa mengekspresikan utuh sebagaimana ayah ibunya itu.
“Dia hanya memprovokasi, Khairan,” Ifa menenangkan.
Khairan tak membahas lebih jauh. “Kira-kira, kapan aku bisa membawa Ayunda sesukaku?”
Bintang melepas Ifa, serius menanggapi putranya. “Dua kondisi. Saat Ayunda haid. Dan, membawa serta Khadijah.”
Khairan sempat memikirkan poin itu. Namun, ia ragu. Bagaimana mengetahui waktunya? Apakah sang mertua akan mengizinkan juga?
“Haruskah kita beritahu Zahra?” Ifa bertanya kepada suaminya. Ia pikir mereka butuh untuk membantu hubungan kecil sang putra.
Bintang menggeleng, menepuk pundak putranya, “Kau sanggup memintanya langsung menjadi istrimu. Mengapa ragu untuk izin membawanya saja?”
Khairan pikir ia perlu tidak memperburuk citra diri di mata Zahra. Itu saja. Khairan tak mau Ayunda kena imbasnya. Pergerakannya harus ikut menyelamatkan sang istri, bukan hanya kesenangan sesaat bagi mereka kemudian teror yang harus Ayunda hadapi sendiri. Khairan cukup bisa menebak apa yang akan Zahra pikirkan tentang perjalanan mereka. “Boleh aku membawanya ke rumah, Abati?”
“Tentu.” Bintang melihat istrinya sebentar, “Asal beritahu Ummi untuk memakai jilbabnya dulu sebelum Ayunda melihat rahasianya.”
Ifa tersipu, menyeka helai rambut ke belakang telinga. Dan karena gerakan canggung itu Bintang menghadiahkan kecupan ringan di kepalanya. “Senyaman yang kau butuhkan, Ifa.”
Khairan tak mau rasa irinya makin mendalam. Tanda kemesraan dan waktu bersama yang ayah ibunya butuhkan membuat Khairan pamit dari atap Kastil Abinaya. “Perlu aku pesankan teh untuk kalian, Abati?”
Bintang menggeleng pelan menatap Ifa yang balas memandanginya pula. “Khairan...”
Langkah pemuda itu terjeda. Berbalik melihat kedekatan ayah ibunya. “Apa pun godaannya, jangan terbujuk. Aku tahu, berat ujianmu. Tapi bertahanlah, sabarlah. Karena sekali kau jatuh, kau akan menginginkannya lebih jauh. Selalu begitu. Jangan memulai sama sekali sebelum kau menyesalinya.”
Khairan menganggap itu sebagai titah. “Baik, Abati.”
Khairan tahu maksud tersirat ayahnya.
Jangan!
Bahkan untuk memeluk Ayunda.
Belum diperbolehkan romansa untuk mereka.
Kedekatan intim itu mungkin akan menggugurkan semua jati diri Khairan Abinaya, jika mereka memulainya terlalu cepat.