Kepergian

1765 Words
Lima tahun kemudian. Vano mengulas senyum di bibirnya, begitu ia melihat Alea dan sang ibu, sudah berada di bandara untuk menanti kedatangannya. Rasa rindu begitu membuncah di d**a, saat melihat kedua orang wanita yang begitu sangat berarti baginya sudah datang untuk menjemput dan bisa dipeluk. Namun, senyuman Vano yang begitu lebar tiba-tiba saja menghilang. Melihat betapa pucat dan kurusnya Alea saat ini. Sangat jauh dari sebelum ia berangkat keluar negeri. Saat Vano bertanya, Alea hanya menggeleng lemah. Meyakinkan ia tidak apa-apa dan semua berjalan seperti yang direncanakan. Termasuk pesta pernikahan mereka yang telah rampung sembilan puluh persen. Tinggal menanti Vano datang untuk melakukan fitting baju pengantin. Tanpa curiga sama sekali, bank menerima alasan Alea pucat karena lelah mengurus persiapan pesta pernikahan mereka. Dengan sebuah rengekan manja, Alea meyakinkan Vano ia baik dan hanya kelelahan saja. Vano percaya. Sehingga ia tidak perlu mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan Alea. Padahal satu tahun belakangan ini kekasihnya itu menjalani pengobatan untuk menghilangkan kanker getah bening yang secara perlahan menggerogoti tubuhnya. Dan Alea sengaja tidak memberi tahu ataupun Avan ataupun membatalkan pernikahan mereka. Alea yang divonis dokter tidak memiliki umur yang panjang, berniat menikahkan Vano dengan Dita. Sang nenek yang telah berusia senja dan Dita yang masih menempuh pendidikan, tentu saja akan canggung seandainya ia pergi untuk selamanya. Tidak ada yang akan menjaga mereka berdua. Sosok Vano yang begitu baik dan perhatian, membuat Alea yakin kekasihnya itu mampu menjaga dan melindungi neneknya dan Dita. Serta menjadi suami yang begitu baik untuk adik angkatnya itu. Satu tahun yang lalu, saat Alea tahu ada kanker yang tengah menggerogoti tubuhnya, ia berusaha menyembunyikan hal tersebut dari orang terdekatnya. Kecuali Dita. Gadis itu yang selalu menemaninya ke rumah sakit untuk melakukan kontrol rutin untuk mengobati kanker kelenjar getah bening tersebut. Namun, bukannya membaik, hari kehari kondisi Alea malah semakin memburuk. Tubuhnya semakin kurus dan matanya semakin cekung dengan kantung yang menghitam. Layaknya orang yang tidak pernah tidur selama berhari-hari. ** Tepat di malam sebelum akad nikah dilaksanakan, Alea mulai merasakan tubuhnya ingin menyerah melawan penyakit yang kini tengah menggerogoti tubuh lemahnya. Dengan mengumpulkan seluruh kekuatan dan harapan, ia mengetuk pintu kamar Dita. Gadis itu menyahut dari salah kamar. Tidak lama kemudian pintu kamar terbuka dan Dita sudah berada disana dengan senyuman yang begitu manis untuknya. Masih seperti biasa setiap kali Alea ingin masuk ke kamarnya. "Ada apa, Kak?" Dita bertanya seraya menuntun Alea duduk ditepi ranjang. Alea mengulas senyum seraya mengusap pipi Dita dengan lembut. "Kamu anak baik. Dan kakak beruntung bisa memilikimu, Sayang." Dita mengangguk. "Aku juga beruntung memilikimu, Kak. Tanpamu, aku tidak tahu bagaimana nasibku saat ini. Kakak juga membantuku mengurus segalanya sehingga aku tidak kehilangan hak atas harta kedua orang tuaku. Terima kasih ya, Kak. Dita Sayang, Kakak." Melebarkan kedua tangannya dan memeluk Alea. "Andai saja aku bisa membalas segala kebaikanmu, Kak. Tentu saja aku akan melakukannya. Dan … oh, ya, aku …" "Menikahlah dengan Vano besok. Jadilah istrinya dan bahagiakan dia untukku," lirih Alea. Mengurai pelukan Dita dan menggenggam kedua tangannya. "Aku tidak sanggup lagi melawan penyakit ini, Dita. Aku lelah dan menyerah. Ini terlalu sakit dan tubuhku tidak sanggup lagi. Dan … seandainya benar kamu mau membalas seluruh budi baikku, tersebut tolong lakukan." Dita tersentak. Matanya memanas dan bibirnya bergetar. "Ti-dak, Kak. Aku tidak bisa. Aku …" "Aku mohon padamu, Dita." Alea beranjak dari tempat duduknya. Berpindah untuk bersimpuh di depan kaki Dit dan memohon kepadanya. Dita terisak. Air matanya mengalir begitu deras. Bukannya tidak ingin. Akan tetapi, ada banyak hati yang akan terluka setelah ini. Sebelum Alea masuk, Dita tengah berbincang dengan sang kekasih lewat panggilan telepon. Mereka berdua tidak sabar menunggu Alea dan Vano menikah besok. Hal yang telah mereka nanti selama ini, supaya bisa membawa hubungan mereka untuk go publik. Dan ada keinginan mereka untuk menikah dalam waktu dekat karena Miko Artayasa, kekasih Dita, berencana akan melamarnya. Namun, semuanya tidak akan terjadi. Dita telah menganggukkan kepalanya. Menerima permintaan Alea untuk menikah dengan Vano. Apalagi yang harus dilakukan oleh Dita selain menerima permintaan Alea. Orang yang selama ini menjaganya, menggantikan tugas kedua orang tuanya untuk membesarkan dan menyayangi layaknya adik kandung sendiri. Alea juga membantu Dita merebut harta warisan kedua orang tuanya, yang ingin dirampas oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. "Terima kasih," lirih Alea. Memeluk Dita dengan erat. Seakan itu adalah kali terakhir mereka bisa merasakan pelukan penuh kasih sayang tersebut. Usai menyampaikan permintaanya, Alea kembali ke kamar. Meninggalkan Dita sendirian Gadis itu mulai menangis atas keputusannya sendiri. Kenapa harus dia? Kenapa harus dia yang harus menikah dengan Vano. Bagaimana dengan Miko? Bagaimana dengan cinta mereka? Dan bagaimana caranya untuk menyampaikan ini semua kepada Miko? ** Saat Dita menganggukkan kepalanya, di sana ia sudah mengubah segalanya. Mengubah siapa yang akan menjadi istri Vano. Dan melukai Miko karena permintaan Alea tersebut. Dan kini, mau atau tidak Dita harus menepati janjinya terhadap Alea dan menghapus semua kenangan tentang Miko hari ini. Di hari pernikahan Alea, yang digantikan olehnya. Sang nenek tersentak. Saat Alea mengatakan tidak bisa menikah dengan Vano dan menunjukkan hasil pemeriksaan medis selama ini. Ada penyakit yang mematikan sedang bersarang di tubuhnya saat ini. "Kenapa kalian berdua merahasiakan ini kepada nenek? Apakah kalian berdua tidak menyayangiku lagi?" Wanita berusia senja itu menangis tergugu. Alea. Cucu satu-satunya sekaligus keluarga yang dimiliki saat ini. "Maafkan aku, Nek. Demi Tuhan. Bukannya aku dan Dita tidak menyayangimu, Nek. Hanya saja aku tidak ingin membuat Nenek khawatir dan bersedih. Awalnya, aku kira penyakit ini akan sembuh dengan pengobatan yang kulakukan. Namun, aku salah. Seiring dengan berjalannya waktu, penyakit ini justru semakin memburuk. Oleh karena itu, aku tidak bisa melanjutkan pernikahan ini, Nek. Akan tetapi, Dita yang akan menggantikanku," terang Alea. "Alea … kenapa ini harus terjadi? Kenapa kamu harus menanggung cobaan seberat ini di hari bahagiamu. Padahal hari ini sudah lama kamu nantikan. Dan untuk Dita, apakah nantinya Vano mau menerimanya sebagai seorang istri? Lebih baik pernikahan ini dibatalkan saja dan dilanjutkan saat kami mu sembuh nanti. Nenek yakin kamu sembuh Alea. Nenek sangat yakin itu!" tutur sang nenek. Meyakinkan Alea untuk membatalkan niatnya untuk menikahkan Dita dengan Vano. Dita yang tengah dirias menoleh, ia berharap Alea mau mendengarkan nasehat sang nenek. Karena belum tentu Vano mau menerimanya sebagai istri dan belum tentu juga Alea mengalah dengan penyakitnya. Namun, Alea menggelengkan kepalanya. Tetap dengan keputusannya menikahkan Vano dengan Dita. Alea juga meyakinkan bahwa, Vano adalah pria yang baik. Pria yang bertanggung jawab dan satu-satunya orang yang bisa menjaga Dita dan sang nenek. Sangat berat untuk menyetujui, akan tetapi tidak ada lagi yang bisa dilakukan selain mengikuti keinginan Alea. Karena Vano pun sudah menanti di lantai bawah untuk mengucapkan ijab kabul. Sesudah itu, acara akan dilanjutkan dengan resepsi pernikahan yang sangat meriah. Mengingat mereka berdua sama-sama anak anak tunggal di keluarga mereka masing-masing. Vano gugup. Satu Minggu lebih tidak bisa bertemu dengan Alea, membuatnya semakin gugup untuk bertemu dengan gadis pujaannya itu. Vano juga tidak pernah berhenti mengulas senyum , karena hari ini sudah lama ia nantikan. Namun, saat sampai di acara inti, yaitu ijab kabul, Vano diminta menunggu sejenak karena ada sedikit perubahan dari Alea. Tidak tahu itu apa, tapi Vano tetap menanti dengan senang hati momen mengucapkan ijab kabul untuk Alea. Akan tetapi, semua harapan dan mimpi itu musnah. Yang turun dari lantai dua, dengan menggunakan pakaian pengantin adalah Dita. Alea dan sang nenek hanyalah sebagai pendamping. Vano langsung marah. Merasa dipermainkan oleh Alea dan keluarganya. "Apa-apaan ini?!" sergah Vano. Menatap tajam kepada keluarganya dan Alea secara bergantian. Alea mendekat dan duduk di samping Vano, tempat yang memang harus ia tempati saat ijab kabul selesai dilakukan. Gadis itu menyerahkan hasil pemeriksaan medisnya kepada Vano. "Van, menikahlah dengan Dita, aku mohon! Lanjutkan tugasku untuk menjaganya dan nenek," pintanya lirih. Wajah cantiknya semakin pucat meskipun sudah ditutupi oleh makeup yang cukup tebal. Vano menggelengkan kepalanya. "Aku tidak bisa! Dan ini, aku tidak peduli umurmu tinggal sehari ataupun satu jam. Yang kuinginkan menjadi istriku itu kamu, Lea, bukan Dita!" "Aku tahu, Van. Aku tahu itu. Akan tetapi, aku tidak bisa menikah denganmu kalau hanya untuk menjadi beban bagimu. Jadi aku mohon, Van. Menikahlah dengan Dita." Menggenggam tangan Vano. Alea yang mulai merasakan kepalanya berat dan sakit, berharap Vano segera setuju dan menikahi Dita untuknya. "Aku tidak bisa!" Vano melepaskan tangan Dita dengan kasar. Sesudah itu ia bangkit dan beranjak dari tempat duduknya. Vano menolak keras permintaan Alea untuk menikahi Dita, karena yang ia cintai hanya dirinya. Untuk menjaga Dita dan sang nenek tidak perlu menjadi suami Dita. Namun, saat Vano sampai diambang pintu, terdengar suara ribut-ribut di belakangnya. Alea jatuh pingsan saat berusaha mengejarnya. Vano berbalik. Berlari mengejar Alea dan membawanya ke rumah sakit. Suasana hening menyelimuti ruang rawat Alea. Di sana ada Dita yang masih mengenakan pakaian pengantin lengkap. Sang nenek dan ibunya Vano. Serta penghulu dan beberapa orang saksi pernikahan antara Dita dan Vano. Setelah berbicara dengan Vano dari hati ke hati, akhirnya permintaan Alea disetujui. Ia akan menikah dengan Dita, demi dirinya. Tidak lebih. Dan sebelum mereka semua berkumpul di ruang rawat Alea, Vano berbicara terlebih dahulu dengan Dita. Mengatakan kepada gadis itu pernikahan mereka tidak akan berlangsung lama. Seandainya Alea membaik, mereka akan bercerai dan Vano akan menikah dengan Alea Dan seandainya Alea meninggal dunia, saat seratus hari kepergian Alea, di sana mereka berdua akan bercerai. Vano juga tidak melarang Dita menjalin hubungan dengan pria lain, karena pernikahan mereka tidak akan ada kontak fisik sama sekali. Agar mudah bagi mereka berdua saat mengurus perceraian. Dita menyanggupi dan menyetujui. Dengan begitu ia dan Miko bisa menikah setelah pernikahannya dengan Vano usai. Karena tidak ada yang hilang darinya. Baik secara fisik maupun psikis. Akad nikah itu dilakukan di hadapan Alea. Dalam satu kali tarikan nafas, Vano berhasil mengucapkan ijab kabul dengan baik. Resmi sudah ia dan Dita menjadi pasangan suami istri. Dan saat penghulu membacakan doa untuk kelangsungan pernikahan Dita dengan Vano, mata Alea terpejam bersamaan dengan terbukanya pintu kamar rawatnya. Miko datang. Matanya memerah melihat sang kekasih menikah dengan pria lain. Seingatnya Dita mengatakan, yang akan menikah hari ini adalah Alea, sang Kakak. Bukan dirinya, seperti yang ada di hadapannya kini. "Miko," lirih Dita. Dadanya begitu sesak saat melihat sang kekasih tampak hancur seperti dirinya. "Lea …!" pekik Vano. Memeluk Alea, yang telah pergi untuk selamanya. Setelah melihat sang kekasih dan adik angkatnya telah resmi menikah. Ia sudah tenang karena meninggalkan Dita di tangan pria yang tepat. Dita menoleh. Belum hilang sakit hatinya melihat kehancuran Miko, kini ia kembali dihadapkan dengan kematian Alea. Tubuhnya melemah. Pandangannya mengabur dan jatuh pingsan. Beruntung Miko langsung berlari dan menangkap tubuh Dita agar tidak jatuh ke lantai. Sesakit apapun hati Miko, tetap saja ia tidak ingin melihat Dita terluka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD