Tak seperti Irene, laki-laki yang tengah terduduk itu bahkan hanya menatap Irene sejenak dengan wajah datarnya lalu kembali menatap lurus ke depan.
“Wah, kalian sudah saling mengenal rupanya?” ujar Sharon dengan senyuman lebarnya.
“A-ah, iya. Kebetulan kami dulu adalah teman satu sekolah.”
“Bagaimana bisa kau tidak memberi tahu Ibu jika Kim Noah adalah teman sekolahmu.” bisik Sara pada putrinya.
Kini, berbagai hidangan telah tersedia di atas meja. Irene terlihat semakin gelisah, matanya tak henti-henti mencuri pandang ke arah Noah yang terlihat begitu tidak menyukai pertemuan malam ini.
Irene dan Noah adalah teman satu sekolah meski keduanya tidaknya pernah menjadi teman satu kelas. Namun, Irene sangat mengenal sosok Noah yang sangat terkenal terutama di kalangan anak perempuan berkat ketampanan serta keceradasan yang dimilikinya.
Noah pun tentu mengenal Irene, karena keduanya pernah menjadi kandidat dalam suatu olimpiade berkat kecerdasannya masing-masing. Baik Noah maupun Irene sangat terkenal dengan kecerdasannya, bahkan tak jarang beberapa anak di sekolah yang sangat setuju jika Noah dan Irene berpacaran, karena keduanya benar-benar terlihat seperti putera dan puteri sekolah.
“Kebetulan sekali anak-anak kita telah saling mengenal satu sama lain, apakah kita harus mempercepat hari pernikahan mereka?” tanya Sharon seraya membuka percakapan.
Irene terbelalak menatap ke arah Noah sementara Noah mendadak menoleh ke arah sang Ibu yang terduduk persis di sebelahnya.
“Bu, bukankah ini terlalu cepat?”
“Sayang, lebih cepat itu lebih baik. Benarkan?”
Semuanya mengangguk setuju, kecuali Irene. Irene kembali menatap wajah Noah yang terlihat semakin tidak menyukai pertemuan ini. Sepertinya baik dirinya maupun Noah sama-sama tidak menginginkan perjodohan ini.
“Bagaimana jika bulan depan?” saran Sara.
“Apa tidak terlalu lama? Bagaimana jika dua minggu lagi?”
Tentu saja semua wajah yang ada di meja saat itu terlihat begitu bahagia kecuali Irene dan Noah. Bahkan, Noah terlihat sangat tidak menikmati berbagai hidangan lezat yang berada di hadapan matanya. Begitu juga dengan Irene yang sangat berharap jika malam itu akan segera usai.
***
Saat tiba di dalam ruangannya, Irene menghempaskan tubuhnya ke atas kursi dengan helaan nafas panjang. Tangannya mulai mengambil gagang telepon untuk menghubungi Kang Yeri, sekretaris pribadinya.
‘Halo, bisakah kau ke ruanganku sekarang?’
Setelah panggilan berakhir, dengan posisi yang masih bersandar di kursi, Irene terus mengetuk permukaan meja dengan jari-jari lentiknya sambil menunggu kedatangan Yeri.
Tak lama kemudian, pintu ruangannya terketuk.
“Masuk.”
Handle pintu bergerak, wajah Yeri muncul bersamaan dengan langkah kakinya yang berjalan masuk ke dalam setelah kembali menutup pintu ruangan Irene.
“Selamat pagi, Nona. Ada yang bisa saya bantu?”
“Duduklah.”
Dengan perlahan, Yeri menduduki sebuah kursi di hadapan Irene. Wajah Yeri tampak begitu khawatir, ia tidak tahu mengapa Irene memanggilnya sepagi ini dengan ekspresi wajah yang terlihat begitu serius.
“Mengenai proposal kemarin yang sudah kutandatangani, bisakah kau membawanya lagi ke sini? Aku rasa, aku telah berubah pikiran.”
Yeri menatap Irene dengan tatapan herannya. Karena sejauh ini, Irene tidak pernah sekalipun membatalkan kerjasamanya dengan siapapun.
“Kenapa kau diam saja? Cepat beri tahu mereka jika aku telah membatalkan kerjasamanya.”
“A-ah, baik Nona, saya akan segera menghubungi mereka. Permisi.” Yeri bangkit dari tempat duduknya, membungkukan tubuhnya ke hadapan Irene lalu melangkah keluar.
Selang beberapa menit kemudian, tiba-tiba saja pintu ruangan Irene terbuka. Irene yang tengah terfokus pada layar laptopnya pun terkejut saat langkah kaki Aaron berjalan masuk begitu saja.
“Hei! Apa kau tidak bisa mengetuknya terlebih dahulu?!” protes Irene.
Dengan wajah tanpa dosa, Aaron segera menduduki sebuah kursi di hadapan Irene dengan tatapan seriusnya, “Apa kau benar-benar membatalkan kerjasama tersebut?”
“Apa Yerii memberi tahumu?”
“Untuk apa dia memberi tahuku? Aku mendengarnya waktu ia menelpon dan menjelaskan jika kau membatalkan kontrak tersebut.”
Irene menatap layar laptopnya dengan jari-jari yang kembali sibuk menekan beberapa huruf pada keyboard, “Ya, aku telah membatalkannya.”
“Karena kau takut tidak bisa melupakan Noah? Ternyata kau sangat tidak profesional.”
Sontak, Irene kembali menghentikan pekerjaannya dan menatap Aaron, “Bagaimana bisa kau berkata seperti itu? Kau pikir kau siapa bisa mengetahui isi hatiku?!” protes Irene.
“Aku hanya bertanya, ini sangat terlihat aneh melihatmu membatalkan kontrak kerjasama. Bahkan kau sangat khawatir saat kedua orang tuamu menjodohkanmu karena kau masih belum dapat melupakan Noah, kan?”
Irene menggeser kursinya kebelakang lalu bangkit dari tempat duduknya dan berdiri menatap Aaron.
“Aaron, bukankah ini sudah keterlaluan? Kau tahu kan jika kau hanya sahabatku? Apa kau harus mencampurinya hingga sejauh ini?”
Aaron ikut bangkit dari posisi duduknya, “Aku hanya mengkhawatirkanmu. Bagaimana kau bisa membiarkan dirimu untuk terus melajang dan menunggunya di saat kedua orang tuamu selalu berharap kau segera menikah?”
“Keluar.” Irene mengangkat tangannya sambil menunjuk ke arah pintu seraya meminta Aaron untuk segera keluar dari dalam ruangannya.
“Kubilang keluar. Dan jangan pernah masuk ke dalam ruanganku tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.” tegas Irene.
Aaron melangkahkan kakinya keluar dari dalam ruangan Irene. Dirinya bahkan tahu jika tak seharusnya ia mencampuri urusan Irene seperti ini. Andai saja Irene tahu jika kedua orang tuanya selalu menghubungi Aaron dan meminta Aaron untuk mencari seorang pendamping yang tepat untuk Irene. Bahkan tak jarang Ibu Irene bercerita jika dirinya sangat begitu ingin melihat Irene mengenakan baju pengantin dan menikah.
Setelah Aaron berhasil keluar dan menutup pintu, Irene kembali menghempaskan tubuhnya di kursi dengan helaan napas panjang sambil memijat dahinya. Ia merasa menyesal telah membentak Aaron, namun Aaron benar-benar telah berhasil membuatnya marah.
Saat jam istirahat tiba, Irene melangkah keluar dari ruangannya untuk pergi menuju kantin. Aaron yang juga merasa bersalah karena telah mencampuri urusan Irene pun mencoba untuk mendekatinya.
“Irene, maaf jika telah membuatmu marah.” ujar Aaron selama berjalan di sebelah Irene yang melangkah dengan cepat.
“Lupakan.”
Semua para karyawan memandang ke arah Irene dan juga Aaron sambil terus berbisik dengan pendapat mereka masing-masing.
“Lihatlah, selama bertahun-tahun aku baru melihat Nona Park merajuk pada manager Lee.”
“Benar. Nona Park terlihat begitu lucu saat merajuk.”
“Iya, bukankah mereka tampak begitu serasi dan menggemaskan?”
Begitulah yang terdengar dalam pendengaran Irene maupun Aaron.
“Hei! Kau kembali membiarkan mereka membicarakan kita, bodoh! Jangan bertingkah seperti itu, aku sudah memaafkanmu.”
Aaron yang menyadarinya pun hanya bisa tersenyum canggung sambil menatap para karyawan yang terus berjalan melewati keduanya.
Kini mereka masuk ke dalam antrean untuk mengambil makan siang.
“Selamat siang Nona Park, apa kau ingin sayur?” tanya salah seorang pelayan catering yang selalu menyapa Irene dengan ramah setiap berhadapan dengannya.
“Ah, boleh. Saya sangat menyukai berbagai jenis sayuran.”
Wanita tersebut tertawa, “Pantas saja kau terlihat begitu sehat. Ini, kuberikan banyak khusus untukmu.” sahutnya dengan senyuman lebar.
“Terima kasih banyak, Bibi.”
Irene yang membalas senyumannya pun terus berjalan menuju beberapa menu lainnya sebelum keluar dari antrean.
“Selamat siang, manager Lee. Apa kau juga ingin sayur?”
“Tentu, berikanku sayur yang banyak juga.”
Lagi-lagi, wanita tersebut tertawa, “Tentu, kau boleh memiliki semuanya.” sahut wanita itu sambil memasukan sayuran ke dalam tray stainless yang Aaron bawa.