Episode 5

1003 Words
Dari balik pintu kamar, Jennie yang terduduk di ujung ranjang mulai mengepal tangannya erat- erat selama mendengar suara tawa sang Ayah dan Ibu yang terdengar begitu bahagia setiap kali Irene berada di rumah, berbeda sekali ketika Jennie yang sedang berada di tengah-tengah mereka. Dulu, Irene dan Jennis sangat dekat, sama seperti seorang Kakak beradik pada umumnya. Namun semuanya berubah seiring terus bertambah dewasanya Jennie. Ia merasa, semakin hari sang Ibu semakin sering membandingkan dirinya dengan sang Kakak dalam masalah apapun. Terlebih, Irene telah berhasil tumbuh menjadi wanita karir yang sukses sesuai dengan apa yang orang tuanya inginkan sementara Jennie masih sibuk mengejar cita-cita sebagai seorang musisi yang tidak mendapatkan dukungan dari Ayah dan juga Ibunya. Hal tersebut tentu membuat hubungan Kakak dan Adik antara Irene dan Jennie semakin tidak pernah membaik setiap harinya. * Malam tiba. Di dalam kamarnya, Irene tengah berdiri di depan sebuah kaca besar sambil terus menatap dirinya yang tengah memakai dress berwarna hitam pemberian dari sang Ayah. Irene menghela napas panjang saat melihat wajahnya yang tampak begitu menyedihkan karena harus menghadiri sebuah acara yang sama sekali tidak ia sukai. Irene yang telah mengenakan sebuah dress pemberian Ayahnya pun mulai melangkahkan kaki keluar dari dalam kamar lalu turun menyusuri beberapa anak tangga untuk menghampiri Ayah dan Ibunya yang telah menunggu di ruang keluarga. “Irene, kau terlihat sangat cantik malam ini.” puji sang Ibu sambil bangkit dari posisi duduknya. “Tentu cantik, karena dia anakku.” sahut Daniel yang sangat bangga karena telah berhasil menghasilkan anak secantik Irene. Irene tertawa canggung, “Ah, Ayah dan Ibu selalu memujiku secara berlebihan.” “Itu bukan pujian, tapi sebuah kenyataan.” Daniel terkekeh, “Ayo kita berangkat sekarang.” Daniel merangkul bahu Irene dan membawanya keluar menuju mobil. “Kita hanya bertiga? Apa Jennie tidak ikut?” Irene menatap wajah sang Ayah saat menyadari jika hanya mereka bertiga yang melangkah keluar. “Jennie tidak ingin ikut, lagi pula pertemuan ini tidak begitu penting untuknya.” sahut Sara. Sambil terus berjalan dalam rangkulan sang Ayah, Irene mencoba menoleh dan menatap ke atas, tepatnya ke arah pintu kamar Jennie yang tertutup rapat. Entah kapan terakhir kalinya ia berbicara dan bercanda bersama Jennie, Adik perempuannya. Irene tahu mengapa Jennie berubah menjadi seperti demikian, bahkan Irene juga sudah sering berkata pada Ibu dan Ayahnya untuk jangan pernah membandingkan Jennie dengan dirinya, karena Irene tidak ingin Jennie semakin membencinya. Tak hanya itu, Irene pun masih ingat betul hal apa saja yang membuat Jennje semakin membencinya. Jennie pernah berkata jika hubungannya dengan pacarnya berakhir akibat Irene yang masih belum juga menikah di usianya yang sudah semakin tua. Jennie yang sudah memiliki rencana untuk melanjutkan hubungannya ke jenjang pernikahan pun terpaksa menundanya karena Ayah dan Ibu tidak setuju dan meminta Jennie untuk menunggu Irene menikah terlebih dahulu. Mengetahui hal tersebut, tentu membuat Irene merasa bersalah pada Adik perempuannya. Irene merasa tidak dapat membuat Jennie bahagia setelah keduanya sama-sama tumbuh semakin dewasa. Semenjak saat itu, Irene meminta Crystal untuk mencarikannya pacar agar jika ada salah satu yang cocok dan membuat Irene yakin, maka Irene akan segera menikah agar Jennie juga bisa melaksanakan pernikahannya. Namun, mencari pasangan hidup tidak semudah yang dibayangkan, Irene kembali berakhir dengan status lajangnya sementara Jennie kembali menerima nasibnya. Namun semenjak kejadian tersebut, Irene berjanji kepada dirinya sendiri, setelah ia menikah nanti, ia akan mencari mantan kekasih Jennie dan memintanya untuk kembali agar dapat melanjutkan rencana pernikahan mereka yang sempat gagal karena Irene. * Letak restaurant yang akan menjadi tempat pertemuan Irene dengan anak dari sahabat Ibunya tidak begitu jauh, hanya memakan waktu sekitar dua puluh menit untuk akhirnya mereka tiba di sana. Dengan heels hitam setinggi 5 centi, Irene berjalan mengikuti langkah Ayah dan Ibunya di belakang menuju dalam restaurant. “Selamat malam. Mau tempat duduk untuk berapa orang?” tanya seorang laki-laki saat berhasil membukakan pintu restaurant untuk keluarga Irene. “Meja reservasi atas nama Min Sharon berada di sebelah mana ya?” tanya Sara. “Ah itu, mari saya antar.” Laki-laki tersebut melangkah lebih dulu untuk mengantarkan Irene beserta Ayah dan Ibunya menuju sebuah meja yang telah dipesan atas nama Mn Sharon. “Silakan duduk. Semua hidangan telah dipesan, apa mau dibawakan langsung?” tanya laki-laki itu kemudian. “Nanti saja. Jika keluarga Min sudah datang, kau baru bisa menyajikannya di meja.” jawab Sara. “Baik, Nyonya.” Setelah menganggukan kepala, laki-laki itu melangkah pergi. Irene yang terduduk mulai mengeluarkan ponselnya dari dalam tas lalu melihat jam di layar yang sudah menunjukan pukul 7 lewat dua puluh menit. “Apa mereka masih lama?” tanya Irene dengan perasaan gelisah. Sara menggeleng, “Tidak, sebentar lagi mereka akan segera tiba. Apa kau sudah lapar?” “Ah, tidak.” sahut Irene dengan senyuman canggungnya, “Bu, boleh aku izin ke toilet terlebih dahulu?” lanjut Irene. Setelah mendapat sebuah anggukan dari sang Ibu, Irene bangkit dari tempat duduknya lalu melangkah mencari toilet. Setibanya di toilet, Irene terus melangkah ke sana dan kemari dengan wajah gelisahnya hingga akhirnya ia terdiam di hadapan sebuah kaca besar yang berada di dalam ruangan toilet, Irene tengah mencoba untuk terus mengatur nafas serta rasa nervousnya. Meski dirinya memiliki paras yang cantik dan mempesona, Irene tidak pernah memiliki seorang pacar selama hidupnya, bahkan dirinya juga tidak pernah memiliki pengalaman berkencan dengan lawan jenisnya, tentu pertemuan malam ini sangat membuatnya terlihat begitu gelisah. Karena tak mau membuat sang Ibu dan Ayah menunggu lama, Irene kembali melangkahkan kakinya keluar dari toilet lalu berjalan menghampiri keduanya orang tuanya di meja. Dan dari kejuahan, Irene melihat jika keluarga sahabat Ibunya sudah tiba di sana. Dengan tarikan napas panjang, Irene mencoba mengendalikan rasa nervousnya sambil terus berjalan. “Ah, itu dia anakku Irene.” ujar Sara saat melihat Irene berjalan menghampiri mereka. Sharon dan suaminya menoleh, “Wah, anakmu sangat cantik!” puji Sharon pada Sara. “Maaf jika menunggu lama.” ujar Irene dengan senyuman tipisnya sambil mencoba kembali terduduk di kursinya. Namun ketika hendak terduduk, Irene terkejut saat tak sengaja menatap wajah laki-laki yang terduduk di hadapannya. “Kim Noah?!!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD