Irene menghela napas, lalu mulai merebahkan kepalanya di atas meja seperti apa yang ia
lakukan di kantin kantor tadi siang.
“Bagaimana cara menolak ajakan Ibuku yang akan menjodohkanku dengan anak sahabatnya?”
keluh Irene.
“Apa?! Kau dijodohkan?!” Dengan mata yang membulat lebar, Crystal menatap Irene yang terkulai
lemas.
Irene mengangguk pelan, “Crystal, apa yang harus kulakukan?”
“Mengapa kau tidak coba untuk datang saja terlebih dahulu, bagaimana jika laki-laki pilihan
Ibumu itu sangat tampan dan kaya raya?” sahut Crystal.
“Ah, sial. Seharusnya aku memang tidak meminta saran pada kalian berdua.”
Tak lama kemudian, seorang pelayan kembali menghampiri meja mereka sambil membawakan 2
porsi tteokbokki dengan 5 botol soju.
Dengan cepat, Irene kembali menegakkan posisi duduknya lalu segera menuang satu botol soju
ke dalam gelasnya dan langsung meneguknya.
Satu tegukan, dua tegukan, hingga dua botol soju berhasil Irene habiskan oleh dirinya sendiri.
“Ada apa dengannya?” tanya Aaron saat terus memperhatikan Irene yang masih sibuk menuang
soju ke dalam gelas dan meneguknya tanpa henti.
“Apa menghadapi sebuah perjodohan benar-benar membuatnya menjadi sekacau ini?” Crystal
juga terus menatap heran Irene dengan mulut menganga yang sudah dipenuhi oleh beberapa
suapan tteokbokki.
***
Karena Irene sudah dalam pengaruh alkohol, Aaron pun mengantar Irene pulang ke kediamannya
di sebuah Apartement yang terletak tak jauh dari Perusahaannya berada.
Aaron menoleh ke arah Irene yang tertidur pulas saat ia telah tiba di depan Apartement dan
menghentikan laju kendarannya.
“Bahkan ia sampai melupakan tteokbokkinya karena terlalu sibuk meneguk soju.” ujar Aaron
yang kemudian keluar dari dalam mobil lalu berjalan dan membuka pintu sisi kanan.
Aaron menggendong Irene untuk dapat mengeluarkannya lalu menuntunnya dengan perlahan
hingga menuju unit Irene yang terletak di lantai 15.
“Kau hanya habis meneguk soju sebanyak 3 botol, tapi kenapa badanmu berat sekali.” gerutu
Aaron saat terus membawa Irene masuk ke dalam sebuah lift yang akan membawa keduanya
menuju lantai 15.
Lift yang berbunyi pun kembali terbuka saat telah menyentuh lantai 15. Aaron terus membawa
Irene keluar menuju unitnya yang terletak tidak terlalu jauh dari pintu lift.
“Irene, di mana kartu aksesmu? Beri tahu aku agar aku dapat membukanya, aku sudah tidak kuat
menanggung bobot tubuhmu yang ternyata hanya terlihat tampak ramping dari luar.” protes
Aaron.
Irene terdiam, meski dalam kondisi setengah sadar, ia masih tidak mampu untuk membuka
mulutnya hanya untuk sekadar menjawab pertanyaan Aaron.
“Ah, anak ini. Menyusahkan sekali.”
Kini Irene berada di dalam pelukan Aaron, di mana dagu Irene bersandar pada bahu kiri Aaron
selama Aaeon sibuk menggeledah isi tas Irene hanya untuk menemukan kartu akses miliknya.
“Bahkan kau menjadi seperti botol soju, bau alkohol begitu menyengat di tubuhmu.” gerutu Aaron
lagi.
Saat telah berhasil menemukan kartu akses, Aaron mengembalikan Irene ke posisi semula, lalu
segera membawanya masuk ke dalam.
Dengan napas yang terengah-engah, Aaron menghempaskan tubuh Irene ke atas kasurnya.
“Noah, kau kah itu? Terima kasih telah mengantarku.” gumam Irene dalam keadaan terpejam
serta bibirnya yang tersenyum.
Aaron yang terdiam pun hanya menggelengkan kepalanya pelan lalu beranjak keluar dari unit
Irene. Karena berangkat menuju restaurant menggunakan mobil milik Irene, maka saat ini dirinya
terpaksa berjalan menuju kantor hanya untuk mengambil mobilnya yang masih tertinggal di
sana.
***
Hari yang sangat menakutkan bagi Irene akhirnya tiba. Tak seperti biasanya, hari ini Irene pulang
ke rumah sang Ibu dengan wajah yang lesu dan jauh dari kata bahagia.
Saat keluar dari mobil dan hendak masuk ke dalam rumah, Irene yang lesu langsung disambut
oleh sang Ibu yang berjalan keluar menghampirinya dengan wajah riang gembira.
“Irene-ku, akhirnya kau tiba juga di rumah Ibu. Apa kau sudah makan? Ibu sudah membuatkan
makanan kesukaanmu, jadi ayo cepat masuk.” ujar sang Ibu yang kemudian langsung menuntun
Irene masuk menuju meja makan.
Irene terduduk, lalu menatap beberapa hidangan lauk kesukaannya di atas meja, salah satunya
adalah samgyetang, makanan berkuah dari daging ayam utuh yang diisi dengan nasi ketan, akar
ginseng, kurma korea dan juga bawang putih.
“Kau harus makan yang banyak.” sang Ibu yang telah memasukan beberapa sendok nasi ke
dalam mangkuk kecil pun segera memberikannya pada Irene dan memintanya untuk segera
menyantap makanan yang telah ia siapkan sejak pagi.
Tak lama kemudian, Jennie berjalan melintasi meja makan untuk pergi menuju kamarnya.
“Park Jennie, apa kau tidak mau makan? Cepatlah ke sini dan makan bersama Kakakmu.” teriak
Ahn Sara pada anak keduanya.
“Aku tidak lapar.” Tanpa menoleh, Jennie terus melangkahkan kakinya menaiki beberapa anak
tangga hingga akhirnya sampai di dalam kamarnya.
“Lupakan saja, Jennie nanti akan langsung makan jika dirinya merasa lapar. Ayo cepat habiskan,
samgyetang akan terasa lebih nikmat jika dimakan dalam keadaan hangat.”
“Apa Ibu tidak ikut makan?” tanya Irene kemudian.
“Ibu sudah makan sejak tadi.” Masih dengan wajah cerianya, Sara menopang dagu dengan kedua
tangannya sambil terus tersenyum menatap Irene yang mulai melahap sarapannya.
“Oh, Irene sudah tiba rupanya?” ujar sang Ayah yang baru saja selesai mandi lalu berjalan menuju
meja makan dan bergabung bersama sang Istri dan anak pertamanya.
Irene mengangguk tersenyum, “Apa Ayah sudah makan?”
Park Daniel mengangguk, “Sudah tadi bersama Ibumu. Bagaimana nanti malam? Kau akan ikut
bersama kami, kan?” tanya Daniel pada Irene.
Mendengar hal itu berhasil membuat Irene menghela napasnya lalu mengangguk dengan penuh
rasa terpaksa, “Iya, aku akan datang.”
Daniel yang senang langsung memeluk Irene dengan erat, “Anak pintar. Ayah sudah
membelikanmu baju yang akan kau pakai pada pertemuan nanti malam.”
“Seharusnya kau bawakan langsung ke sini agar Irene bisa langsung melihat dan mencobanya.”
ujar Sara.
“Ah, kau benar. Tunggu sebentar, Ayah akan mengambilkannya untukmu.”
Daniel bangkit dari kursi meja makan lalu berjalan masuk ke dalam kamarnya. Tanpa menunggu
lama, ia kembali melangkah menghampiri Irene sambil membawakan paper bag berisi sebuah
dress yang beberapa hari lalu ia beli di salah satu Mall besar di kota Seoul.
“Ayah bertaruh kau pasti menyukainya.” Daniel yang telah kembali terduduk mulai mencoba
mengeluarkan dress dari dalam paper bag tersebut.
“Taraaa, kau menyukainya kan?” tanya Daniel kemudian, setelah berhasil menunjukan dressnya
di hadapan Irene.
“Tentu Irene menyukainya, seleranya dan seleramu itu tidak jauh berbeda.” sahut Sara disertai
gelak tawanya.
Irene hanya bisa mengangguk dengan senyuman palsunya sambil bangkit dari kursi saat sang
Ayah mencoba untuk menempelkan dress tersebut ke tubuh Irene untuk memastikan jika
anaknya sangat cocok menggunakan dress pilihannya.