Chapter 5: Johnson?

980 Words
Alana melempar tas dan sepatu nya ke sudut ruangan, ia menghempaskan tubuhnya ke atas kasur berusaha menghilangkan rasa pusing di kepalanya. Semua masalah seolah datang bertubi-tubi kepadanya hari ini, tidak membiarkan nya sedikit pun merasa tenang dan juga tidak ada waktu untuk memikirkan semuanya lama-lama. Ia harus segera menyelesaikan nya dan bertingkah seolah olah semuanya baik-baik saja, mengingat percakapan dengan ayahnya beberapa saat lalu membuat Alana merasa tidak tenang. "Sudah lama sekali," gumam Alana menatap atap kamarnya dengan tatapan kosong. "Hei!" Alana melirik tanpa minat ke arah pintu kamar. "Lihat apa yang baru saja aku pesan, pizza kesukaan mu." Janet tersenyum sambil mengangkat sekotak pizza yang tampak sangat menggoda. "Berikan satu potong untuk ku," Alana mengulur kan tangan dengan lemas. "Cepat bangun atau aku akan menghabiskan nya sendiri," Janet tersenyum jail lalu berjalan keluar dari kamarnya. Alana menghembuskan nafas kesal, ia mengambil bantal dan membenamkan kepalanya di sana. Dengan sekali tarikan nafas ia berteriak kencang, menyalurkan semua kekesalan nya hari ini. Baiklah tidak ada waktu untuk bersedih Alana ayo bangun! Dengan langkah gontai Alana berjalan keluar kamar menuju dapur, di sana sudah ada Janet yang sedang asik memakan satu slide pizza dengan segelas soda. Entah apa hanya perasaannya saja atau memang benar, tapi rasanya kalau di pikir-pikir Janet selalu menghabiskan banyak waktu di dapurnya, dan berkutat dengan berbagai macam makanan. Walaupun dia tidak bisa memasak dan akhirnya memesan makanan, tapi tetap saja Alana harus membereskan semua kekacauan yang wanita itu lakukan. "Tidak baik makan makanan seperti itu setiap hari." Omel Alana yang di anggap angin lalu oleh Janet. "Iya iya," Alana mendudukkan dirinya di samping Janet yang masih asik memakan pizza miliknya tanpa berniat mendengarkan perkataan Alana. "Besok aku akan pergi," Alana menarik nafas dalam-dalam. Janet mengangkat sebelah alis bingung, sebelum meminum soda-nya sampai setengah gelas.  "Kemana?" "Pulang?" Jawab Alana ragu. Ahh, tempat itu lebih pantas seperti neraka dibanding rumah baginya. Janet membulatkan matanya tak percaya, satu gigitan pizza terkahir nya pun harus berakhir meluncur ke tenggorokan nya tanpa di cerna terlebih dahulu, Janet memukul mukul dadanya tersedak. "Serius?! Kenapa mendadak sekali?" Gerutu Janet tidak suka. Alana memberikan segelas air, tidak habis pikir dengan temannya itu. "Aku tidak akan lama, mungkin hanya satu atau dua minggu," Semoga saja. Janet menggerutu sebal, dengan muka di tekuk dan bibir yang sudah maju satu senti membuat ia teringat film masa kecilnya, tentang seekor bebek dan 3 anaknya. "Lalu aku?" Janet menunjuk dirinya sendiri dengan muka yang di buat buat. "Kau tetap bisa tinggal disini Janet, aku hanya pergi beberapa hari bukan selamanya." Alana mengambil satu buah apel dan memakannya. "Baiklah tapi hubungi aku terus ya, aku akan sangat kesepian tau." Alana memutar bola matanya malas. "Tapi benar kan hanya satu minggu?" Alana melirik Janet sekilas sebelum kembali menatap kosong salad nya tanpa minat sedikitpun. "Hmm," gumamnya membuat janet mengangguk paham. Sebenarnya Alana tidak yakin bahwa dirinya bisa kembali lagi setelah memasuki tempat itu kembali, Karena Alana yakin Ayahnya tidak akan membiarkannya pergi lagi untuk yang kedua kalinya. Tidak! Ia harus positif thinking, ia yakin ayahnya mengerti atas keputusannya dan kembali membiarkannya hidup bebas tanpa ribuan aturan yang mengekang. Setidaknya hanya itu yang bisa ia lakukan saat ini. ***** Liam berjalan memasuki Mansion megah keluarga Smith, di depan sana terlihat beberapa penjaga yang mengecek setiap keamanan di mansion dan para pelayan yang menyambut kedatangan nya. "Selamat pagi tuan muda, Mr. Smith sudah menunggu mu di ruangannya," ucap Robert mengantar nya pada sebuah ruangan dengan pintu kaya yang di ukir khusus. Pintu yang di buka membuat matanya menangkap sosok ayahnya yang sedang menulis dan men-cap sesuatu di meja kerja nya, entah apa itu tapi hal itu sudah biasa ia lihat sejak kecil. Sebuah pekerjaan rahasia yang selalu di lakukan di ruangan ini. "Apa kabar son," sapa Albert saat menyadari kedatangan putranya. "Tidak pernah sebaik ini." Jawabnya dengan datar tanpa berniat berbasa-basi. "Jadi ada alasan apa sampai Ayah menyuruhku kembali dari pelatihan yang baru saja aku jalani itu," ucap Liam dingin. Albert terkekeh menyadari bahwa putranya sedang berniat menyindirnya. "Apa kau tau perusahaan Johnson Group?" Tentu saja, nama perusahaan itu sudah tidak asing lagi di telinga nya bahkan juga sudah tidak asing di di telinga para pembisnis besar, berita nya ada dimana mana. Terutama saat Johnson Group berhasil menyingkirkan Elon Industry dari jajaran perusahaan terbesar nomor 4 di dunia hanya dalam waktu 6 bulan, keberhasilan nya mendapatkan berbagai macam sambutan dari perusahaan tinggi. Pembahasan ini akan cukup menarik. "Iya aku tahu, ada apa?" "Siang ini akan ada rapat besar dengan perusahan Mr. Johnson, ayah akan melakukan kerja sama dengannya dan meeting nya di adakan siang ini." "Lalu?" "Kau tidak lihat? Ayah memiliki banyak pekerjaan yang tidak bisa di tinggalkan saat ini." Ahh, Liam mulai mengerti arah pembicaraannya ini, jadi Ayahnya memintanya menggantikannya untuk menghadiri rapat besar bersama perusahan Johnson hari ini. Tapi tunggu bukan kah ayahnya bisa menyuruh Edward atau pun Morgan? "Bukankah ada Morgan yang bisa selalu ayah andalkan," tanya Liam dengan senyum kemenangan, ia yakin Ayahnya tidak percaya kepada saudara kembarnya, karena itu ia memanggil dirinya untuk menggantikannya. Lagi-lagi ia katakan, hanya dirinyalah yang paling bisa diandalkan! "Sudah aku duga, ayah pasti akan memanggil ku untuk tugas sepenting ini." "Jangan merasa besar kepala Liam, Morgan baru saja pergi ke Seattle untuk menghadiri suatu rapat penting di sana, karena itu aku terpaksa memanggil mu kembali." Sial, kata terpaksa itu terdengar sangat merendahkan nya. Jika tidak mengingat hidupnya sudah dari tadi ia pergi ke dapur untuk mengambil pisau dan membunuh pria ini saat ini juga. Tapi apa daya, dirinya terlalu sempurna untuk ukuran seorang pembunuh. "Sebaiknya kau segera bersiap dari pada menghabiskan waktu untuk membanggakan diri mu sendiri yang tak ada gunanya." Ucap Albert melirik tajam putranya. Baiklah ayahnya itu memang benar-benar menyinggung sisi sempurna nya. Liam menatap dingin Albert sebelum melangkah pergi, rasanya keputusannya sudah final. Sehabis ini ia pastikan orang tua itu tidak akan hidup terlalu lama lagi di dunia ini. TO BE CONTINUED
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD