"Dasar pria yang menyebalkan!" Gerutu Alana sambil membanting gelas di tangannya.
Linda yang sejak tadi hanya terdiam terlonjak kaget saat mendengar suara bantingan gelas, selama ia bekerja bersama Alana tidak pernah sekalipun Linda melihat Alana marah. Wanita itu selalu tersenyum ramah membuat semua orang nyaman berada di dekatnya.
Tapi berbeda dengan sekarang, wajah Alana yang memerah menahan marah dengan muka yang di tekuk, sangat berbeda jauh dengan Alana yang biasanya, seolah Linda sedang melihat sisi lain Alana yang jarang ia lihat.
"Memangnya pria itu siapa?" Tanya Linda sambil memasukkan satu potong kue kering ke dalam mulutnya.
Alana melirik Linda yang menatap nya dengan antusias, terlihat sekali ia sangat tertarik dengan pria menyebalkan tadi. Tentu saja dia tertarik, karena untuk beberapa saat dirinya juga sempat terpanah melihat nya tapi itu hanya sebentar dan ia menyesali hal itu.
"Entahlah sepertinya petugas sampah yang baru," ucap Alana mengangkat bahunya tanpa minat.
"Mungkin dia yang menggantikan Evans, kemarin kan dia juga bernasib sial sama seperti mu hari ini." Linda menatap kaki Alana yang kini sudah jauh lebih membaik dari sebelumnya, ia sudah mengoleskan krim agar kakinya tidak membiru akibat lebam.
"Mungkin, seperti nya aku bernasib sama dengan nya," Gumam Alana sambil sesekali meringis saat merasakan sakit di kakinya.
"Tapi bukankah dia terlalu tampan untuk ukuran seorang tukang sampah," Linda tersenyum lebar kembali membayangkan wajah tampan itu pria itu yang bagai pahatan patung yang sempurna.
"Jangan sampai kamu terpikat oleh pesona palsunya, asal kamu tahu sikapnya itu benar-benar sombong dan menyebalkan!" Alana mengepalkan tangannya saat mengingat senyum mengejek Yang di berikan kepadanya.
"Tapi sepertinya tidak seperti itu," Linda mengangkat tangannya menjadikan nya sebagai tumpuan wajahnya.
"Kau pasti akan berfikir yang sama jika tadi ada di sana, lihat saja wajahnya yang arogan itu! Dengan percaya dirinya dia menyombongkan ketampanan nya seolah olah dia itu dewa yang di turunkan ke bumi," Alana mencibir pedas.
Linda mengangkat bahunya acuh. "Yang penting dia tampan bukan,"
Alana memutar bola matanya malas. "Ya terserah pada mu."
Linda menekuk wajahnya karena menyesal tidak meminta nomor pria itu dengan alasan kaki Alana yang luka, jika saja ia tidak hanya diam seperti orang bodoh ia pasti sudah mendapatkan kesempatan untuk setidaknya berkencan sekali dengan nya.
"Baiklah! Besok aku yang akan buang sampah jangan ada yang menyentuh kantong sampah sampai besok, aku pasti akan mengejar pangeran ku!" Linda mengacungkan tangan semangat, bahkan Alana yakin semua orang dapat melihat manik penuh ambisi di matanya.
Wanita itu memang selalu berpikir pendek jika masalah pria tampan, menyebalkan.
"Jangan menyesal ya saat tau—" belum sempat menyelesaikan ucapan, suara klakson mobil sudah terdengar dari depan cafe-nya. Sepertinya taxi yang ia pesan sudah sampai, ia memang sengaja tidak membawa mobil saat ke sini karena jarak antara apartemen dan cafe tidak terlalu jauh. Hanya sepuluh menit jika ia menggunakan angkutan umum, dan perlu sekitar dua puluh menit jika ia memilih untuk berjalan kaki.
"Itu pasti taxi yang tadi aku pesan, aku pamit dulu ya." Alana beranjak dari tempat nya dengan langkah tertatih.
"Hati-hati! Besok tidak usah datang semua serahkan kepada ku!" Teriak Linda membuat Alana tersenyum kecil mendengar perkataannya.
Baru beberapa langkah Alana sudah kembali berbalik sambil mengangkat satu jarinya.
"Ingat yah cafe tutup jam 8 malam, bila masih ada pengunjung bicara baik-baik tapi kalau masih tak mau pergi usir saja. Jangan bekerja lembur!" Teriak Alana dari pintu masuk membuat Linda terkekeh geli.
"Siap bos!"
Alana tertawa kecil melihat Linda yang mengacungkan jempol kepadanya.
Sore ini jalanan kota Boston lebih padat dari biasanya, sepertinya akan membuat kan waktu yang lebih lama untuk sampai ke apartemen. Hari ini benar benar melelahkan sekali, rasanya Alana ingin cepat melepas semua pakaiannya dan berendam di air hangat.
Ahh pasti sangat menyenangkan.
Dreet..Dreet..Dreet..
Getaran pada ponsel nya membuat Alana tersadar dari lamunannya, tangannya mencari cari benda pipih berwana silver yang terus bergetar di dalam tasnya.
Alana menghela nafas lega saat berhasil menemukan ponselnya, ia mengerutkan dahinya bingung saat melihat nomor tidak di kenal yang menghubungi terus menerus. Untuk beberapa saat Alana merasa ragu untuk mengangkat panggilan telpon nya tapi satu usapan kecil di layar ponsel nya membuat dadanya memburu cepat.
"Alana?"
Dan sekarang ia menyesal karena tidak mengabaikan panggilan itu.
*****
Liam berjalan memasuki apartemen nya dengan guratan lelah yang sangat terlihat di wajahnya, hari pekerjaan nya saat padat di tambah lagi masalah perusahaan yang nyatanya cukup rumit. Besok ia harus segera menandatangani kontrak dengan berusaha Johnson, perusahaan itu memiliki status yang bagus dalam dunia tambang dan barang import, ini bisa menjadi sebuah kerja sama yang sempurna sebagai kontrak penutup tahun.
Liam melempar jasnya dan membuka kancing kemeja nya hingga akhir, membuat tubuh atletis nya terekspos dengan jelas.
Satu gelas wine cukup untuk menghilangkan stress nya malam ini, pemandangan kota New York malam ini juga cukup membuat nya relax. Liam menutup matanya menikmati hembusan angin yang masuk lewat balkon kamarnya yang terbuka, entah kenapa bayangan wanita yang ia temui tadi sore kembali muncul di pikiran nya.
Rambut coklat keemasan yang tergerai, mata birunya yang bersinar indah di atas langit sore dan di tambah bibir tipis yang menggoda tuk di cicipi.
Liam tertawa kecil lalu meneguk wine terkahir nya, bayangan wajah wanita itu saat marah membuat sedikit tertarik dengan nya. Sangat jarang ia menemukan wanita yang berani menatapnya dengan tatapan sengit seperti itu, seolah olah hawa dingin nya tidak berpengaruh apapun padanya.
Ah mengingatnya membuat sesuatu dalam dirinya kembali terbangun.
Liam menaruh gelas kacanya di meja bar yang berada di apartemen nya, ia beranjak pergi kemar mandi dan berendam dengan air hangat. Membersihkan tubuhnya dari debu dan aroma sampah yang rasanya masih tercium di hidungnya.
Butuh waktu satu jam untuk Liam menghabiskan waktu nya di kamar mandi, biasa nya ia hanya membutuhkan waktu dua puluh menit tapi saat ini ia harus menidurkan miliknya dulu agar bisa istirahat dengan tenang, karena tentu nya ia sedang tidak ingin menyuruh wanita manapun untuk menemani nya malam ini.
Dreet..dreet..dreet..
Dering ponsel membuat pria itu berdecak sebal, di lihatnya jam di dinding sudah menunjukan pukul satu pagi, tidak bisakah seseorang membiarkannya beristirahat?
Diambilnya benda pipih itu dengan kasar, tanpa memperdulikan nama siapa yang terpampang di ponselnya Liam langsung mengangkat panggilan itu dengan kesal.
"Halo," Ucapnya datar.
"Maaf mengganggu malam mu tuan, tapi Mr. Smith menyuruhmu kembali besok pagi." ucap Robert dengan sopan.
Diam diam Liam tersenyum kemenangan, ia yakin Morgan kembarannya yang bodoh itu telah berbuat kesalahan membuat Albert kembali memanggilnya.
Sudah ia bilang dirinya ini memang yang paling bisa diandalkan di berbagai bidang apapun.
"Aku akan datang besok,"
TO BE CONTINUED