Chapter 3: Annoying Man

1111 Words
"Sepertinya pesonaku memang tidak bisa di tolak oleh siapapun," ucap pria itu sambil tersenyum miring. Alana mengerutkan dahinya tidak suka, semua pikiran liar tentang pria di depannya ini musnah begitu saja bagai diterpa angin. Wajah bak dewa yunani itu telah berganti dengan wajah sombong yang minta di gampar bulak balik, sungguh Alana sangat tidak menyukai senyuman pria itu. Jerk. Entah kenapa bagi Alana senyum itu seperti senyum mengejek yang sengaja di tunjukan kepadanya. "Sepertinya kau terlalu percaya diri tuan," ucap Alana sambil mencoba berdiri walaupun hasilnya tetap sama, ia kembali terjatuh di tempatnya. "Sepertinya tidak, karena memang itu kenyataannya," dengan percaya dirinya pria itu berdiri di depannya dengan wajah angkuh dan melipat kedua tangannya di depan d**a. Alana memutar bola matanya malas, entah kesialan macam apa yang ia dapatkan hari ini hingga harus bertemu dengan pria sombong seperti nya. Sepertinya pepatah yang mengatakan don't judge a book by its cover sangat cocok untuk nya Alana kembali mencoba berdiri, tidak mau berlama lama bersama pria menyebalkan ini tapi lagi lagi hasilnya nihil. "Perlu ku bantu, nona?" Pria itu berjongkok sambil mengulurkan tangannya, bila dalam keadaan mabuk mungkin Alana akan dengan senang hati menerima uluran itu, tapi sayang sekarang Alana seratus persen dalam keadaan sadar. "Aku tidak butuh tangan pria sombong dan menyebalkan seperti mu." Alana menepis kasar tangan pria di depannya berharap pria itu akan merasa tersinggung dan pergi dari sini, tapi bukannya merasa kesal ia justru tersenyum miring menatap nya. Iris mata tajam itu tampak berkilau indah, entah kenapa Alana menyukai hal itu seolah ia sedang melihat gelapnya malam yang di terangi dengan ribuan bintang. "Tapi aku yakin kau tidak ingin terus duduk di posisi itu bukan?" Liam menyodorkan tangannya menawarkan sebuah bantuan yang sangat jarang ia lakukan. Tentu saja semua yang ia lakukan saat ini bukanlah hal yang wajar, bahkan keberadaan nya saat ini juga bukan karena keinginannya. Ayahnya itu memberinya sebuah konsekuensi akibat perbuatannya, tapi tentu nya hal ini tidak akan membuat Liam jera tapi untuk saat ini sepertinya ia sedikit tertarik dengan seorang wanita yang saat ini berada di depannya. "Tidak terimakasih, kau bisa pergi sekarang." Nada tegas dan kesal yang bercampur menjadi satu itu berhasil membuatnya semakin tertarik. Kilatan tajam dari mata indah itu juga membuat nya terasa tidak asing, tapi sayangnya ia harus kehilangan pemandangan indah yang sedang ia nikmati karena wanita itu memalingkan wajahnya dengan tatapan sinis. "Jadi kau akan tetap duduk seperti itu di sini hingga malam?" Tanya Liam berhasil membuat wanita itu menatap nya ragu. Alana menghembuskan nafasnya kasar, dengan berat hari ini menggapai tangan pria di depannya dan berusaha menyeimbangkan tubuhnya saat kaki kanannya terasa begitu sakit untuk di gerakan. "Perlu aku gendong?" Liam tersenyum miring saat mendapat kan tatapan tajam sebagai balasan. "Cafe itu, bantu aku ke sana." Ucap Alana menunjuk pintu belakang cafenya. Liam menaikkan sebelah alisnya saat tangan wanita itu tertuju pada pintu belakang sebuah cafe disana, jadi wanita ini pelayan cafe? Tidak terlihat seperti itu karena baju yang di kenakan nya terlihat cukup stylish untuk ukuran pelayan cafe bukan, untuk sesaat Liam pikir wanita ini adalah seorang model, tdak ia pungkiri bahwa dia memiliki wajah yang cukup cantik. "Apa kau hanya akan diam begitu saja?" Alana berdecak kesal. "Kau tampak nya sangat tidak sabaran ya?" Ucap Liam menggoda. Oh tentu saja, siapa yang akan merasa sabar saat berada di posisi nya saat ini. Tubuhnya di topang oleh seorang pria yang sama sekali tidak ia kenal, dan parahnya dia adalah pria paling arrogant yang pernah ia temui. "Sepertinya kita akan sampai lima tahun lagi kalau kau jalan seperti itu terus," ucap Liam menyindir dirinya yang berjalan seperti siput, jangan salah kan dirinya sudah ia bilang kakinya sakit bukan. Liam memutar bola matanya malas saat wanita itu terus mengoceh tidak jelas, getaran ponsel di saku celananya membuat Liam mengalihkan perhatian nya untuk sesaat. Di sana tertulis nama ayahnya dan dua pesan yang belum terbuka. "Datang lah ke kantor malam ini, ada pertemuan penting. Hukuman mu akan di tunda sampai masalah selesai." -From: dad Liam tersenyum kecil, sudah ia duga ayahnya akan menyesal karena mengirim nya ke sini, tapi tentang masalah di perusahaan ada hal penting apa hingga ayah terlihat khawatir seperti itu, pasti ada sesuatu yang tidak beres ia harap ini tidak ada hubungannya dengan b******n itu karena jika ia tentu nya akan benar-benar menguras waktu dan tenaga. Ia jadi merindukan tidur di apartemen nya dengan artis cantik lainnya. Liam melirik kearah wanita di samping nya yang masih berjalan layaknya bayi yang baru belajar berjalan, seperti nya ia harus mengakhiri ini dengan cepat kali ini. "Berisik kalau tidak mau–AAAA" Alana membulatkan matanya saat tiba-tiba tubuh di angkat begitu saja layaknya karung, dan secara spontan ia mengalungkan tangannya di leher pria asing itu. Alana melempar kan tatapan tidak terima, ia baru saja akan membuka mulutnya untuk protes tapi sebelum itu pria itu sudah lebih dulu mendekap mulutnya. "Berisik, aku sedang buru-buru dan aku tidak suka jika harus terlambat." Ucapnya dingin. Tunggu apa ia terlalu banyak bicara sampai membuat nya merasa kesal? "Alana?" Pintu kaca itu terbuka menampakkan seorang wanita dengan rambut pirang yang tampak terkejut melihat nya, Liam menaikkan sebelah alisnya saat iblis yang berada di gendongan nya itu berubah menjadi malaikat suci yang berbicara dengan nada yang sangat lembut. "Linda kau dari mana saja?" Ucap Alana memelas. Linda yang tidak tahu apa-apa terdiam untuk sejenak sebelum kembali tersadar dan cepet-cepat meraih tangan Alana. Alana? Namanya tidak asing tapi ia tidak ingat pernah mendengar nama itu dimana. "Kakinya terkilir, kompres kakinya dengan kain hangat." Entah apa yang baru saja ia katakan tapi itu semua terucap begitu saja secara spontan. "Ba-baik," wanita berambut pirang itu tersenyum kaku dan tentunya dia tidak bisa menyembunyikan tatapan takjubnya. Sudah ia bilang bukan pesona nya tidak bisa di tolak oleh siapa pun. "Terimakasih," Alana memalingkan wajahnya enggan melihat pria itu. Entah lah tapi rasanya pria itu sangat menyebalkan. "Sampai nanti cantik," ucap Liam membuat mata wanita itu kembali menatap sinis kearahnya. Liam tertawa kecil lalu berbalik berjalan keluar gang sempit ini, tak perlu berbalik untuk melihat wanita itu melihat kepergian nya karena ia yakin seratus persen ia sedang menatap punggung nya dengan tatapan menyesal karena tidak meminta nomor ponselnya. "Aku ingin memakannya," Alana menatap tajam punggung lebar itu yang berjalan menjauh. "A-apa?" Linda menatap Alana kaget. Alana menyipitkan matanya dan menatap Linda dengan serius. "Aku ingin sekali memotong motor tubuh nya dan memasukkan nya kedalam oven, sepertinya semua orang akan menyukai menu baru kita," Alana mengepalkan tangan nya kuat kuat. Ia menyesal karena tidak melayangkan satu pukulan di wajah mulus itu. "Apa kau sedang bercanda?" Linda tertawa canggung, tapi ia langsung terdiam saat melihat Alana yang mengepalkan tangannya penuh dendam. "Tidak," TO BE CONTINUED
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD