Chapter 2: Early

979 Words
Alana mengambil piring terakhir yang tersisa lalu mengelapnya dan meletakkannya di dalam rak piring. "Selesai," gumamnya bangga saat melihat dapurnya kembali rapih dan bersih seperti semula. Hari ini benar-benar hari yang sangat padat, sejak pagi cafenya tidak berhenti di datangi pengunjung dari berbagai usia dan semakin memuncak saat jam makan siang tiba bahkan sampai saat ini ia bel bisa benar-benar beristirahat. Alana melirik jam tangannya yang sudah menunjukan pukul lima sore, yang berarti sekitar satu jam lagi akan ada banyak pengunjung yang akan berdatangan untuk makan malam. Alana harus bersiap siap. "Alana? kenapa belum istirahat pekerjaan ini harusnya aku saja yang kerjakan," Alana tersenyum kecil saat melihat Linda yang datang menghampirinya dengan segelas teh hangat kesukaannya dan mulut yang terus mengomel tidak terima. "Thank you," ucap nya lalu menyesap teh hangat di tangan nya, sungguh Alana sangat menyukai saat merasakan manis pahit teh yang menjadi satu. "Seperti biasa, prefect." Puji Alana membuat gadis itu tersipu malu. Linda memang gadis yang sangat manis dan juga pekerja keras, di usianya saat ini ia bekerja untuk memenuhi kebutuhan nya sehari-hari. "Terimakasih aku juga belajar dari mu," balas Linda senang. Alana tersenyum lalu terduduk di salah satu kursi yang ada di dapur. "Kau tidak seharusnya bekerja sekeras ini Alana, kenapa tidak duduk di ruangan mu saja dengan segelas teh hangat?" Tanya Linda bingung pasalnya ia tidak pernah melihat Alana duduk santai begitu saja setiap datang ke cafe untuk mengecek keadaan, wanita itu selalu ikut serta melayani setiap pelanggan yang datang. Bagi Linda Akan bukan hanya bos nya tapi juga sudah ia anggap sebagai kakak perempuan nya, karena sikap Alana yang ramah membuat wanita itu sangat dekat dengan para pegawainya. "Aku melakukan apa yang ku sukai Linda, aku tidak bisa hanya duduk diam di ruangan ku, saat para pelanggan ku berdatangan," Karena selain ia menyukai pekerjaan nya ia tidak pernah tahu semua ini akan bertahan sampai kapan, hingga saat itu tiba ia ingin menikmati setiap hal yang membuatnya bahagia. Tidak perlu uang atau gaun mewah untuk membuat nya bahagia, cukup melakukan segala hal yang ia sukai sudah lebih cukup karena sejak kecil itulah yang di ajarkan kepada. Mengingat masa kecil nya membuat Alana tersenyum pahit mengingat masa masa menyedihkan yang justru membuatnya sangat rindu pada masa itu. Masa dimana ia bisa tersenyum dan tertawa lepas walau dengan segala keterbatasan yang ada. Alana menggeleng kan kepalanya mengusir rasa kosong yang ada, ia meneguk tetes terakhir teh di gelasnya sebelum berjalan kearah tempat sampah yang sudah sangat penuh. "Biar aku saja," cegah Linda saat melihat ia yang akan mengikat semua kantung sampah menjadi satu, Alana tersenyum kecil saat melihat Linda yang berlari kecil kearahnya dan membantu nya mengikat setiap kantung sampah yang ada. "Biar aku yang membuangnya," Lanjut nya saat melihat Alana yang sedang memakai sarung tangan untuk mengangkat beberapa tumpukan sampah itu. Ting! Bunyi lonceng cafe terdengar tanda ada seorang pengunjung yang kembali datang, Alana menjentikkan jarinya sambil menatap Linda dengan senyum kemenangan. "Sebaiknya kamu layani saja pengunjung itu, karena yang lain masih belum kembali jadi aku yakin tidak ada orang yang berjaga di depan," ucap Alana sambil mengangkat beberapa tumpukan sampah sambil tersenyum kecil. Linda menghembuskan nafasnya mengalah. "Baiklah tapi aku akan segera kembali, jangan mengerjakan nya sendirian," seru Linda lalu berjalan keluar dapur bersamaan dengan suara mobil angkut sampah yang selalu datang setiap sorenya. "Sudah datang ternyata," Alana melirik sekilas kearah pintu belakang saat mendengar suara beberapa orang di belakang sana. Dengan penuh hati hati Alana berjalan menuju pintu belakang, tumpukan sampah yang ia bawa memang cukup berat membuat nya berjaga jaga untuk menyeimbangkan setiap langkahnya saat menuruni tangga belakang yang licin karena hujan yang turun beberapa saat yang lalu. Biasanya pekerjaan ini akan di lakukan oleh George tapi sepertinya ia belum kembali dari waktu istirahat nya. Tinggal beberapa langkah lagi sampai Alana bisa terlepas dari sampah sampah ini, tapi sayangnya satu kulit pisang membuatnya harus kehilangan keseimbangan dan terjatuh, semua kantung sampah yang ia pegang terjatuh dan berserakan kemana mana. "Aaww—" ringisnya saat merasakan sakit pada kakinya, Alana memegangi kakinya yang sepertinya terkilir. Harusnya ia mendengar kan Linda saat gadis itu menyuruh nya untuk menunggu nya, bener bener hari yang sial. Alana berusaha menggapai pegangan tangga sebagai tumpuan untuk nya berdiri, tapi baru saja ia akan berusaha meraih nya suara seorang pria membuat pergerakan nya terhenti. Alana memalingkan pandangannya mencari sumber suara tersebut sampai matanya menangkap sosok pria yang sedang berdiri dengan angkuhnya menatap tajam dirinya yang masih terduduk di tempat nya. "Sepertinya kau terlalu kecil untuk mengangkat tumpukan sampah itu nona," suara tajam itu berhasil mengikat perhatian Alana untuk beberapa saat. Silakan katakan Alana gila, sepertinya efek jatuh yang ia rasakan tidak hanya berpengaruh pada kakinya tapi juga dengan otaknya. Karena saat ini ia rasa dirinya sedang berhalusinasi saat mendapati seorang pria tampan di tempat pembuangan sampah, apakah dunia memang begitu kejam hingga membuat mahluk seindah itu ada berada di tempat kotor seperti ini. Baiklah ia pasti sudah terlalu berlebih-lebihan saat memuji pria di depannya seolah olah ia baru saja melihat seorang pria tampan dalam hidupnya, tapi jangan salahkan dirinya karena memang begitu lah kenyataan nya. Rahang tegas, mata tajam dan bibir penuh yang benar benar menggoda tuk di cicip—tunggu! apa apaan ini! Ya ampun sadarlah Alana bagaimana mungkin ia bisa membayangkan hal-hal menjijikan seperti itu saat ini. Sialan seperti nya efek teh di sore hari memang tidak baik untuk kesadaran otak, ia harus segera mengakhiri ini semua sebelum ia tampak lebih memalukan lagi karena bisa bisanya terpesona kepada seorang pria di keadaan seperti ini. Ngomong ngomong dimana Linda kenapa anak itu belum juga datang untuk mencarinya, sampai kapan ia akan terus duduk di sini sambil beradu tatap dengan iris mata tajam itu. "Ah maaf tuan tapi-" "Sepertinya pesona ku memang tidak bisa di tolak oleh siapa pun." Ucapnya sambil menunjuk kan smirk yang sangat menyebalkan. What? Sialan ia telah salah menilai orang. TO BE CONTINUED
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD