Berdasarkan informasi Alice, keluarga Weasley telah kembali bangkit setelah reputasi mereka jatuh selama sembilan tahun. Menerima sanksi sosial atas kejahatan Alfredo Weasley, mereka tidak bisa apa-apa selain menerima timbal buruknya. Lantas, setelah sembilan tahun berlalu, keluarga Weasley mulai bangkit kembali.
Alice bilang, Lizzy harus was-was terhadap keluarga Weasley. Baru beberapa menit setelah Alice mengatakannya, tiba-tiba saja seseorang dari keluarga Weasley mendekati Lizzy.
Lizzy jadi bingung sendiri!
“Sejak dulu, aku sudah mendengar banyak hal tentangmu. Aku jadi ingin bertemu denganmu,” ujar Gideon seraya meluruskan punggung, tidak lupa tersenyum manis.
Lizzy mengerjap bingung. “Banyak hal?”
Oh, tidak. Sebanyak itukah yang membicarakanku? Jangan-jangan memang ada rumor buruk atau aneh-aneh tentangku? batin Lizzy kelimpungan sendiri.
“Ya, banyak hal,” Gideon makin tersenyum, gemas melihat wajah bingung Lizzy, “jika tidak keberatan, mau duduk di sana bersamaku?” tawarnya sambil menunjuk sebuah bangku yang membelakangi air mancur.
Lizzy menoleh ke bangku sebelum menoleh ke Gideon dan mengangguk kecil. “Boleh.”
Batin dan benak Lizzy berkecamuk hebat dalam diam. Dia sangat bingung menghadapi situasi sekarang. Kakaknya berkata untuk was-was pada keluarga Weasley. Lizzy mengerti maksud ucapan Alice, sangat mengerti. Tapi, Gideon Weasley sangat cerah dan memperlakukan Lizzy dengan baik. Membuat Lizzy bingung bagaimana caranya menolak atau menjauhi Gideon.
Gideon dan Lizzy duduk di bangku putih, membelakangi air mancur besar. Belum ada yang berbicara sejak mereka duduk. Lizzy tidak tahu apa yang dilakukan Gideon. Dia lebih memilih untuk memalingkan wajahnya ke arah jalan masuk taman labirin. Dia tidak punya keberanian untuk menatap Gideon berhubung benaknya sedang berkecamuk.
Kalau dilihat sekarang, Gideon tampak bukan orang yang berbahaya. Dia… baik, dia menghampiriku duluan sementara tidak ada anak-anak yang berani mendekatiku duluan. Kupikir dia baik, batin Lizzy mulai tertarik jatuh ke dalam lamunan.
“Elizabeth,” panggil Gideon membuat Lizzy menoleh.
“Ya?” sahut Lizzy, tanpa sadar memasang wajah polos.
Gideon tidak berkata. Anak laki-laki itu justru mendekat kepada Lizzy. Tubuhnya mencondong maju dengan kedua tangan terulur pada Lizzy. Pergerakannya membuat jantung Lizzy nyaris melompat keluar, syok total.
Lizzy bergerak mundur. “Tunggu, apa yang kau lakukan—“
Suara Lizzy berhenti. Mata biru berliannya yang tadinya membulat syok, mulai menyusut normal karena melihat tangan Gideon merapikan ikatan syal Lizzy. Ikatan syal itu memang sedikit longgar, lantas Gideon berinisiatif merapikannya.
Lizzy membeku di tempat melihat perlakuan manis Gideon. Pipinya sedikit memerah melihat wajah Gideon dari dekat. Didukung pula oleh aroma bunga iris dari tubuh Gideon menyeruak masuk ke rongga hidung Lizzy. Seketika Lizzy pusing menahan rasa malu membuncah dalam dirinya.
Seumur hidupnya, Lizzy tidak pernah berjarak sedekat itu dengan anak laki-laki. Selama ini hanya ada Arthur dan Theo yang bebas mendekatinya. Tidak pernah ada sosok anak laki-laki. Bahkan Lizzy tidak sedekat ini dengan Ian, tunangannya sendiri.
“Ah, maafkan kelancanganku,” ujar Gideon seraya menarik tangannya dari syal Lizzy. Dia bergerak sedikit mundur untuk memberikan Lizzy ruang yang sewajarnya. “Sekarang sedang musim dingin dan udaranya mulai mendingin. Ikatan syalmu terlalu longgar, jadi aku merapikannya. Maaf.”
Melihat wajah menyesal dan canggung Gideon membuat pipi Lizzy semakin memerah. Sekuat tenaga dia membalas ucapan Gideon senormal mungkin. “T—Tidak apa-apa. Terima kasih banyak, Tuan Weasley.”
“Kau boleh memanggilku Gideon,” Gideon kembali tersenyum manis, “tidak perlu terlalu formal padaku. Lagipula aku tidak setua itu sampai harus dipanggil tuan, bukan?”
Diam-diam, Lizzy menggigit bibir bawahnya, tidak tahan dengan perlakuan dan senyuman manis Gideon. “Bolehkah?” cicitnya nyaris seperti sedang berbisik.
Gideon mengangguk. “Tentu saja. Umurku hanya dua tahun lebih tua darimu.”
“Tapi, tetap saja kau lebih tua. Aku harus lebih so—“
Gideon melambaikan tangan tanda tak setuju. “Tidak boleh. Aku merasa sangat tua bila dipanggil seformal itu.”
“Yang perlu kau awasi adalah keluarga Weasley.”
Suara Alice terngiang dalam kepala Lizzy. Membuat Lizzy kembali pusing, mulai dilema. Lizzy tahu mengapa dia perlu was-was pada keluarga Weasley. Lizzy tidak ingin keluarga itu mempunyai celah untuk mengusik keluarganya. Berhubung kemungkinan semacam itu sangat besar untuk terjadi. Jadi, Lizzy harus menjauhi Gideon.
Akan tetapi, Gideon tidak tampak seperti ‘itu’ sama sekali.
Aish, sudahlah! Aku akan menanyakan motifnya mendekatiku! jerit Lizzy geram dalam hati.
“Baiklah, Gideon,” ujar Lizzy, menyunggingkan senyum tipis, “kalau aku boleh tahu, kenapa kau ingin bertemu denganku?”
Bola mata amber Gideon langsung berbinar. “Kau memanggil namaku.”
Lizzy mengerjap bingung. “Ya, karena kau mengizinkannya.”
“Kalau begitu, bolehkah aku memanggilmu Lizbeth?”
“L—Lizbeth?” beo Lizzy makin bingung.
Gideon mengangguk. “Elizabeth itu terlalu panjang, bukan? Jadi, aku memikirkan nama kecil yang lebih mudah diucapkan dan lebih kasual.”
Lizzy kehabisan kata-kata.
“Kenapa? Kau tidak menyukainya?” tanya Gideon langsung panik.
Wajah Gideon penuh ekspresi. Sesaat dia tersenyum cerah, sesaat kemudian bingung, sesaat lagi panik. Raut wajahnya sangat jujur, batin Lizzy entah mengapa sedikit tercubit, cukup iri melihat Gideon bisa jujur dan bebas berekspresi tanpa memikirkan apa-apa. Tidak mengkhawatirkan bangsawan-bangsawan lain, lebih tepatnya ia tidak takut.
Lizzy tersenyum manis, senyuman cerah dan lebar yang hanya dia tunjukkan di rumah, kini dia tunjukkan pada Gideon. “Tidak, aku menyukainya, Gideon.”
Gideon terdiam seketika. Terpesona dengan senyuman Lizzy. Seluruh kata-kata dalam benaknya langsung buyar entah ke mana.
“Gideon?” panggil Lizzy polos, tidak sadar lagi-lagi telah menjerat orang lain dalam pesona yang Lizzy tidak sadari juga.
“Ternyata benar kabar burungnya,” ujar Gideon pelan.
“Ya? Kenapa?”
Gideon tersenyum hangat. “Kau lebih cantik dari yang kubayangkan berdasarkan kabar burung, Lizbeth.”
Padahal Lizzy mengizinkan Gideon memanggilnya Lizbeth. Lizzy yang memutuskannya tanpa paksaan Gideon. Tapi setelah mendengar Gideon mengatakannya lagi, Lizzy sungguh malu!
***
“Apa urusannya denganku?” tanya Ian kesal.
Marquis sedikit melotot tajam. “Kau tunangannya. Sudah sewajarnya kau memberikan hadiah kepadanya.”
“Kami belum resmi bertunangan.”
“Secara spesifik, kalian sudah bertunangan sejak kecil. Pengukuhan itu resmi.”
“Aku punya banyak urusan yang lebih penting daripada memikirkan hadiah ulang tahun.”
Marquis mendecih. “Bisa-bisanya kau bersikap seperti itu pada tunanganmu sendiri. Kau mudah memberikan perhiasan Royal Treasure kepada perempuan lain, tapi tidak pada tunanganmu, huh? Demi Tuhan, sejak kapan aku memiliki putra sebodoh ini.”
Ian melotot, geram. “Aku memberikan Royal Treasure kepada Elesis hanya untuk memperbaiki citraku di hadapan Raja Garrold! Tidak bisakah kau membedakan alasan pribadi dan alasan kekerajaan, ayah bodoh?!”
“Jangan memulai masalah denganku, anak bodoh,” desis Marquis tidak kalah geram karena dipanggil bodoh.
“Kau yang memulainya duluan,” balas Ian tidak mau kalah.
Melihat situasi di antara sepasang ayah-anak itu semakin memburuk, Johan dan Ronald beringsut maju untuk melerai.
“Yang Mulia, tolong tenangkan diri kalian,” ujar Ronald di samping Marquis sambil sesekali menoleh ke Ian. “Tolong untuk mengesampingkan masalah pribadi terlebih dahulu. Ada banyak laporan dan pengajuan kerja sama yang perlu kalian bahas, Yang Mulia.”
Ian mendengus kasar. “Jangan salahkan aku. Aku masih berbaik hati untuk tidak meladeninya, tapi ayah bodoh itu sangat mahir membuatku kesal.”
Marquis spontan berdiri, menggebrak meja. “Aku hanya memintamu untuk bersikap lebih dewasa kepada Elizabeth!”
“Dewasa, katamu? Kau pikir dengan aku menerima pertunangan bodoh ini, sikapku masih belum dewasa, huh?!”
“Kau pikir hanya menerima saja sudah membuatmu sangat dewasa, anak bodoh?! Memangnya aku akan membiarkanmu terus-menerus bersikap buruk kepada Elizabeth?!”
“Sebenarnya yang mana anakmu, ayah bodoh?!”
“Yang Mulia Ratu datang menghadap!” lapor ksatria kudus dari balik pintu ruang kerja Marquis, spontan menghentikan kegaduhan antara ayah dan anak tersebut.
Victorique memasuki ruangan tanpa menunggu izin Marquis. Sang Ratu berwajah datar itu menatap suami dan putranya bergantian, lalu mengembuskan napas pelan. Melihat wajah mereka saja sudah membuat Victorique paham, sangat paham.
“Apa-apaan kalian?” tanya Victorique datar dan dingin, membuat Marquis dan Ian menelan ludah. Victorique menoleh ke Ronald. “Ronald, kupikir aku sudah memintamu untuk segera menyerahkan berkas dan laporan yang sudah ditandatangani oleh Marquis.”
Ronald berdiri tegap, mengerjap panik. “Maafkan kelambanan saya, Yang Mulia Ratu. Berkas dan laporan yang Anda minta masih belum ditandatangani oleh Yang Mulia Raja.”
Marquis langsung melirik sangat tajam kepada Ronald. Berani-beraninya kau membunuhku, Ronald!
Victorique bersedekap, kini menatap Marquis. “Ya, pertanyaan yang bodoh untuk kutanyakan.”
“Victorique, aku bisa jelaskan—“
Mengabaikan Marquis, Victorique beralih ke Ian. “Ian, tanggal 25 sebentar lagi tiba. Itu adalah hari ulang tahun Elizabeth. Aku ingin kau menyiapkan perjamuan makan malam dengan keluarga Gilbert di istana.”
Ian nyaris melotot sempurna, terkejut bukan main. “Ibu minta apa?”
“Perjamuan makan malam dengan keluarga Gilbert pada tanggal 25.”
“Bu, tanggal 25 itu lusa. Bagaimana bisa ibu baru mengatakannya padaku sekarang?”
“Terserah ibu, bukan?”
Raut wajah Ian mulai merajuk. “Ibu kenapa setega—“
“Tidak hanya perjamuan makan, kau juga harus menyiapkan hadiah untuk Elizabeth. Ibu tidak mau hadiah sembarangan yang kau berikan. Tidak ada ceritanya Pangeran Mahkota memberikan hadiah murahan dan tidak berkualitas.”
“Ibu—“
Victorique menoleh ke Marquis yang masih mematung di tempat. “Dan kau, Marquis, segera berikan seluruh berkas dan laporan yang masuk hari ini padaku dalam bentuk sudah ditandatangani dan sudah kau periksa secara detail. Kutunggu tiga jam lagi.”
Marquis melotot. “Tapi, sayang, berkas dan laporan yang masuk hari ini jumlahnya sangat—“
Victorique menepukkan tangan, tersenyum manis kepada suami dan putranya. “Baiklah, kuharap kalian dapat mengerjakannya dengan baik. Ian, jangan lupa untuk mengatur jadwal kelas dan latihan Noah.”
Tanpa menunggu respon Marquis dan Ian, Victorique berbalik badan, melangkah keluar dari ruangan. Meninggalkan mereka dengan protes yang tidak bisa diutarakan karena Victorique tidak mau mendengarkan. Sukses membuat Marquis dan Ian berdiri kaku di tempat, hampir hilang kewarasan.
“IBU!!”
“VICTORIQUE!!”
Dan Victorique menyeringai penuh kemenangan mendengar teriakan sengsara suami dan putranya.
TO BE CONTINUED[#PrayForRajaPintarDanPangeranBodoh]