BAB 29

1784 Words
Seperti yang dikatakan Alice, pesta teh yang diadakan di kediaman Battenberg merupakan wadah bagi Duchess Battenberg dalam mendidik putrinya. Pesta itu diadakan secara nyata dengan segala perencanaan sesuai prosedurnya. Ainsley Battenberg, sang Duchess, mengajarkan putrinya semata-mata sebagai bekalnya agar lebih memahami bagaimana caranya mengadakan perjamuan teh bangsawan. Alice dan Lizzy sampai di kediaman Battenberg tepat pukul sepuluh. Tiga puluh menit lebih awal dari waktu yang ditentukan. Walau begitu, telah banyak tamu yang hadir lebih awal dari Alice dan Lizzy. Mereka berkumpul di taman, sudah saling bercengkrama sembari menanti acara resmi dibuka oleh Irene Battenberg, putri tunggal Duke dan Duchess Battenberg. Lizzy, terlahir dengan sendok berlian, tetap saja kagum melihat kediaman Battenberg. Mansion Battenberg didominasi oleh warna biru dan perak. Mencerminkan lambang keluarga Battenberg yang juga berwarna biru dan perak. Halamannya luas dengan memiliki air mancur dan jejeran pohon serta semak-semak yang terpangkas rapi. Padahal Lizzy terlahir di keluarga yang tidak kalah mengagumkan, tapi dia mudah terjerat keindahan mansion Battenberg. “Selamat datang, Nona Gilbert. Terima kasih telah meluangkan waktu Anda untuk menghadiri perjamuan teh Battenberg,” sapa seorang pelayan laki-laki menyambut kedatangan Alice dan Lizzy. Alice memberikan undangan perjamuan teh Battenberg sebagai syarat masuk. Usai mendapat konfirmasi, Alice dan Lizzy dipersilahkan masuk. Mereka diantarkan oleh seorang pelayan perempuan menuju tempat acara. Bagi Alice yang sudah tidak asing menginjakkan kaki di mansion Battenberg, dia biasa-biasa saja. Berbeda dengan Lizzy. Sedari memasuki mansion, dia kagum menatap puluhan lukisan terpajang di sepanjang lorong dan beberapa titik dinding. Lizzy resmi mengonfirmasi hobi Nicholas Battenberg, seorang kolektor lukisan. “Beliau benar-benar berjiwa seni,” gumam Lizzy takjub kala menemukan beberapa lukisan langka karya pelukis-pelukis legendaris. Alice menoleh. “Ada apa, Lizzy?” “Tidak, aku hanya takjub melihat koleksi lukisan Duke Battenberg benar-benar lengkap,” jawab Lizzy, balas menoleh. Alice manggut-manggut kecil. “Arthur juga memiliki beberapa lukisan semacam itu. Tidak selengkap Duke, tapi dia berhasil mendapatkan karya terlangka juga.” “Benarkah? Apakah dipajang di rumah utama?” “Tidak. Dipajang di kamar dan ruangan pribadinya.” Mata Lizzy membulat kecil. “Kak Alice pernah melihatnya? Lukisan apa yang berhasil Kak Arthur miliki?” “Pendant portraits of Maerten Soolmans and Oopjen Coppit, karya Rembrandt.” Lizzy terkesiap penuh kekaguman. “Kak Arthur memiliki sepasang lukisan itu?” “Ya, dia memilikinya sepasang.” Lizzy mengira dia memiliki kakak-kakak yang tidak normal. Mengetahui ada satu sisi manusiawi dalam diri Arthur membuatnya bernapas lega, entah mengapa. Padahal meski mereka tidak begitu normal, mereka tidak pernah menyelakai dan berusaha melindungi Lizzy. Bahkan mereka sukarela berusaha sedikit menyesuaikan diri di hadapan Lizzy agar Lizzy tidak merasa takut. Mungkin manusiawi bagi Lizzy untuk merasa lega setelah mengetahui kakak-kakak abnormalnya juga memiliki sisi manusiawi meski secuil. Ketika Alice dan Lizzy sampai di taman mansion, perhatian para tamu tertuju kepada mereka. Serempak menolehken kepala demi melihat siapa yang datang. Lantas setelah melihat tamu yang hadir, mereka berwajah kaget. Bukan karena Alice dan Lizzy berasal dari keluarga Gilbert, namun karena eksistensi Lizzy, calon tunangan Putra Mahkota. Para wanita bangsawan itu sudah sangat tahu, jika suatu saat Alice datang bersama perempuan kecil, sudah jelas perempuan itu adalah Elizabeth de Gilbert. Ainsley dan Irene mendekat untuk menyambut kedatangan kakak-beradik Gilbert. Aura mereka sebagai tuan rumah sungguh menyilaukan mata, terutama Irene. Bagi Lizzy, Irene adalah perempuan terimut dan tercantik yang pernah dia lihat. Ditambah pula kejeniusannya karena berhasil menyelenggarakan perjamuan teh asli dengan baik. Lizzy mulai minder sendiri akibat melihat Irene. “Selamat datang, Nona Gilbert. Saya sangat senang menerima kehadiran Anda di pesta teh kecil yang diselenggarakan oleh putri saya,” sapa Ainsley, Duchess Battenberg, penuh keramahan dan keanggunan. “Selamat datang, Nona Gilbert. Terima kasih telah meluangkan waktu untuk menghadiri pesta teh kecil saya,” sapa Irene, tersenyum manis.   Alice tersenyum. “Terima kasih, Duchess dan nona kecil. Saya harap kami tidak begitu merepotkan di sini.” Ainsley menoleh ke Lizzy, tampak kaget melihat Lizzy. “Oh? Apakah gadis kecil Elizabeth?” Lizzy mengangkat gaunnya, membungkuk hormat. “Nama saya Elizabeth de Gilbert, putri bungsu dalam keluarga Gilbert. Salam kenal, Duchess Battenberg dan Nona Battenberg.” Postur etika Lizzy berhasil menggaet hati para wanita bangsawan. Terpesona melihat kecantikan Lizzy yang sungguh berkilau. Rambut pirang madunya tampak bersinar diterpa sinar matahari, kulit seputih saljunya mengkilau indah, dan mata biru berliannya sangat menawan. Sesaat mereka melupakan fakta bahwa Lizzy berasal dari keluarga Gilbert, keluarga yang mereka ‘musuhi’. “Ini momen pertamanya masuk di pergaulan sosial, bukan?” “Dia sangat berkilau.” “Kudengar dia baru pertama kali keluar dari kediamannya. Dia tidak gugup sama sekali.” “Dia masih anak-anak, namun dia sudah secantik itu.” Alice dan Lizzy mendengar seluruh gumam bisik para wanita. Kasak-kusuk itu berhembus selama mereka memerhatikan Lizzy. Mayoritas terpesona oleh penampilan fisik Lizzy, sisanya takjub dengan kualitas etika Lizzy. Hal ini cukup menggelitik perut Alice.   Ketika Alice mulai memasuki pergaulan sosial, reaksi para wanita bangsawan tidak berbeda jauh dengan saat ini. Hanya saja tatapan mereka tidak setakjub menatap Lizzy. Ada binar sinis dan ketidaksukaan dalam mata mereka dalam menatap Alice. Mereka tidak lupa bahwa Alice adalah Gilbert. Mereka ingat itu, sehingga memperlakukan Alice penuh tipu muslihat. Sementara, lihatlah sekarang, mereka benar-benar terpesona oleh Lizzy. “Astaga, lihatlah kualitas etikamu, pintar sekali. Aku sangat tersanjung melihat pesta teh putriku menjadi momen pertama bagimu untuk masuk pergaulan sosial, Nona Gilbert. Kuharap kau memiliki kenangan bagus selama di sini,” ujar Ainsley seraya sedikit membungkuk untuk menatap Lizzy. Lizzy mengangguk, tersenyum manis. “Anda terlalu memuji, Duchess. Saya juga senang memiliki kesempatan untuk menghadiri pesta teh Battenberg.” “Senang bertemu denganmu. Namaku Irene Battenberg, tuan rumah dalam pesta ini,” ujar Irene, mengalihkan perhatian Lizzy dari ibunya. “Kau pasti kelelahan karena perjalanan panjang ke sini. Jika kau tidak keberatan, mari kuantarkan ke meja kudapan.” Lizzy maju selangkah pertanda setuju. “Terima kasih, Nona Battenberg. Kuharap aku tidak merepotkanmu.” Irene dan Lizzy menyingkir, pergi menuju meja kudapan. Tidak butuh waktu lama bagi mereka untuk saling akrab. Entah Irene memang berniat mengakrabkan diri atau hanya sekedar formalitas sebagai tuan rumah perjamuan. Sementara, Ainsley dan Alice bergabung ke meja bersama para tamu lainnya. Sembari menunggu waktu acara resmi dimulai. Di Ophelia, anak-anak bangsawan sudah memasuki pergaulan sosial sejak berumur lima tahun. Mereka akan ikut hadir bersama ibu mereka dalam menghadiri perjamuan teh. Anak-anak akan saling bercengkrama mengenali satu sama lain dan membentuk kelompok pergaulan sendiri. Bisa dikatakan, itulah debut sosial mereka. Berbeda bagi keluarga kerajaan. Pangeran dan putri kerajaan tidak akan bergabung ke pergaulan sosial sampai menginjak umur empat belas tahun. Di umur itulah mereka debut sosial dengan mengadakan Debutante, pesta khusus bagi debut sosial pangeran dan putri kerajaan.   Bagi Lizzy yang baru memasuki pergaulan di umur tujuh tahun, dia cukup terlambat. Anak-anak bangsawan yang hadir sekarang sudah memiliki kelompok pertemanan masing-masing. Terlihat dari adanya lingkaran-lingkaran kelompok kecil di tiap sudut area anak-anak. Situasi semacam ini membuat Lizzy sedikit gugup, ragu untuk mencoba membaur. Padahal, tanpa Lizzy sadari, kehadirannya sungguh mengundang perhatian seluruh anak-anak, penasaran. “Silahkan mengambil kue dan cemilan yang sudah kusiapkan. Untuk hari ini aku menyiapkan cheese cake sebagai kue utama dan macaroon sebagai cemilan utamanya. Kuharap sesuai dengan seleramu, Nona Gilbert,” ujar Irene sesaat setelah sampai di meja kudapan. “Terima kasih. Aku menyukai makanan manis, kau tidak perlu khawatir, Nona Battenberg,” sahut Lizzy seraya mengambil sepiring cheese cake. Irene mengangguk kecil, tersenyum manis. “Senang mendengarnya.” “Kudengar pesta ini direncakan dan ditata sepenuhnya olehmu, Nona Battenberg. Kau sungguh hebat dapat menyelenggarakan pesta sesempurna ini. Aku menyukai temanya.” “Benarkah? Terima kasih banyak. Kau terlalu memuji. Pesta ini masih jauh dari level pesta Battenberg, jadi aku tidak bisa cukup puas sekarang.” Lizzy mengerjap kaget. “Pesta sesempurna ini masih jauh dari level pesta Battenberg? Wah, aku tidak bisa membayangkan semegah apa pesta Battenberg yang sebenarnya.” Irene tertawa pelan melihat wajah kaget nan polos Lizzy. Dia menuntun Lizzy ke sofa agar Lizzy bisa menikmati cheese cake-nya. “Kudengar bulan depan ibuku akan menyelenggarakan pesta teh lagi. Kupastikan kalian mendapatkan undangannya.” “Terima kasih banyak, Nona Battenberg. Sebuah kehormatan bagiku untuk dapat menghadiri pesta teh Battenberg,” Lizzy nyaris bersorak senang karena sudah mulai membayangkan pesta teh Battenberg yang lebih megah dari pesta Irene. Irene mengangguk. “Bila kau tidak keberatan, aku undur diri dulu untuk menyambut tamu-tamu lain. Silahkan nikmati waktumu.” “Tentu, terima kasih. Semangat, Nona Battenberg!” Ah, Irene terpikat dalam aura positif Lizzy. Dia cukup tidak menyangka sosok Elizabeth de Gilbert penuh dengan aura positif dan keceriaan. Berbeda jauh dari Alice yang meski tidak kalah cantik dan bersinar, namun memiliki aura negatif yang selalu berhasil membuat orang lain bergidik ngeri. Sepeninggal Irene, Lizzy menikmati kuenya dalam diam. Dia duduk sendirian di sofa. Melahap kue sembari mengamati sekitar. Cukup banyak anak-anak bangsawan yang berhasil Lizzy kenali, berhubung Hera sudah membantunya selama dua hari. Lizzy mencari keberadaan anak-anak dari keluarga Trancy dan Phantomhive. Sesuai intruksi Alice yang menyuruh Lizzy untuk memprioritaskan mereka selaku keluarga yang menjadi sindikat bersama keluarga Gilbert. Area anak-anak berada sedikit jauh dari area orang dewasa. Mereka ditempatkan di sisi taman yang dekat dengan air mancur dan taman labirin. Berhubung anak-anak lebih suka bermain bersama, jadi mereka ditempatkan di situ. Sejauh yang Lizzy lihat, anak-anak yang bercengkrama di area utama cukup sedikit. Kebanyakan dari mereka pasti mengelilingi air mancur dan taman labirin. Mau tidak mau, Lizzy harus berkeliling mencari anak-anak dari keluarga Trancy dan Phantomhive. Usai menghabiskan kue, Lizzy memasuki jalanan setapak taman yang mengarah menuju air mancur. Dia menyapa anak-anak yang berpapasan dengannya, membangun kesan pertama yang bagus. Sikapnya membuat anak-anak itu terkesan dengan sempurna dan membalas Lizzy sama bagusnya. Mereka yang sebelumnya ragu untuk mendekati Lizzy pun berubah menjadi lebih santai setelah didekati duluan oleh Lizzy. Tidak mengherankan. Aku pun akan ragu untuk mendekati mereka-mereka yang berstatus tinggi, batin Lizzy setuju. “Aku sangat senang bisa bertemu dan berkenalan denganmu, Nona Gilbert.” “Sebuah kehormatan bagiku untuk dapat mengenalmu, Nona Gilbert.” “Ah, aku tidak menyangka akan menemui calon tunangan Pangeran Mahkota di sini.” Lizzy mengembuskan napas pelan, Ya, aku tidak perlu heran. Respon mereka sangat wajar. Ketika Lizzy sampai di area air mancur, tidak ada siapa pun di sana. Air mancur yang menjadi pusat taman itu dikelilingi oleh jalur masuk taman labirin. Ada sepuluh jalan masuk taman labirin melingkar mengelilingi air mancur. Lizzy tidak ingin masuk ke taman labirin, membingungkan. Selain itu, pesta teh akan segera dimulai. Jadi, akan menjadi masalah bila Lizzy tidak hadir saat Irene resmi membuka acara. Tapi, Lizzy harus menemui anak-anak Trancy dan Phantomhive. Mereka diprioritaskan lebih dari Ainsley dan Irene Battenberg. “Hei.” Lizzy mengerjap cepat, menoleh ke depan. Netranya menemukan figur laki-laki yang tampak seusia Ian dan Peter. Berambut hitam legam dan bermata amber. Lizzy tidak mengenalinya. “Ya?” sahut Lizzy menguasai raut wajahnya, menyembunyikan kekagetan dan kebingungannya. “Kau Elizabeth de Gilbert, bukan?” tanya anak lelaki itu dengan senyuman lebar dan penuh aura positif, nyaris membius hati Lizzy. Lizzy mengangguk kecil. “Benar. Ada apa?” Anak lelaki itu sedikit membungkuk dengan tangan kanan menyentuh d**a kanannya. “Namaku Gideon Weasley, putra bungsu Earl Weasley. Senang bertemu denganmu, Nona Gilbert.” Lizzy membelalak tak percaya. Weasley, katamu?  TO BE CONTINUED [Welcome Oktober! The Queen Quality resmi daily update, ya!]
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD