Tidak berbeda dari malam-malam sebelumnya, malam ini pun Ian masih berkutat di ruang kerjanya. Berkutat pada setumpuk dokumen dan buku yang merupakan tugas kerajaan dan tugas kelasnya. Dikerjakan selama satu hari penuh, namun baru terkurang setengah dari totalnya. Bagi Ian, hal semacam itu sudah biasa. Sudah menjadi makanan sehari-hari. Jadi, kepala Ian sudah terbiasa, tidak akan menderita pusing maupun sakit kepala.
Ian bahkan sudah lupa kapan terakhir kali dia mendapatkan jam tidur normal. Tampaknya seluruh rutinitasnya berubah drastis sejak Ian menginjak umur tujuh tahun. Tidak ada lagi waktu bersantai, tidak ada pula waktu istirahat lebih dari tiga puluh menit. Bahkan jam tidurnya ikut terkikis, menyisakan hanya empat jam baginya untuk beristirahat sebelum menyambut pagi.
Ian merasa tidak masalah. Memang sudah menjadi beban yang harus dia emban sebagai Pangeran Mahkota.
“Yang Mulia, Anda belum ingin tidur?” tanya Chloe sedikit khawatir setelah melihat jarum kecil jam menunjuk angka satu.
“Belum,” jawab Ian seadanya, berkutat pada dokumen dengan sesekali menyesap teh.
Ben jadi ikut khawatir. “Sudah sangat larut malam, Yang Mulia.”
“Aku tahu.”
“Bukankah tidak baik bagi kesehatan Anda? Akhir-akhir ini Anda selalu mengikis jam tidur Anda.”
Ian melengos pelan, melirik keempat pengawalnya sejenak sebelum kembali ke dokumen. “Aku sudah seperti ini selama empat tahun.”
“Ya, benar. Tapi, bukankah sebaiknya Anda menguranginya sedikit demi sedikit? Bisa-bisa Anda mengalami pertumbuhan yang lambat,” ujar Ben mulai lancang membuat tiga rekannya melotot padanya.
Ucapan Ben tentu sedikit mencubit perasaan Ian. Pangeran itu mengernyit bingung bercampur sedikit emosi, lantas menoleh ke Ben. Hal ini membuat empat pengawalnya langsung berdiri siaga di hadapannya. Sangat paham bahwa Ian sedikit tersinggung.
Buru-buru, Ben meralat dengan senyum cerah yang jelas sekali kecanggungannya. “Maksud saya, di umur Yang Mulia sekarang, sebaiknya pola hidup Yang Mulia dijaga dengan baik. Saya pernah mendengar pola hidup buruk berpengaruh buruk juga pada tubuh. Begitu.”
“Memangnya aku pendek di usiaku yang sekarang?” tanya Ian dengan wajah terkesan kesal membuat empat pengawalnya mengerjap panik.
Ben beserta tiga rekannya kompak menggeleng cepat. “Tentu saja tidak! Anda sangat luar biasa tampan dan berwibawa!” jawab Ben nyaring.
“Benar! Bahkan Anda jauh lebih baik dibandingkan anak-anak lain seusia Anda!” timpal Dale.
“Jadi, lupakan saja apa yang dikatakan si Bodoh Ben ini, Yang Mulia. Anda sangat baik-baik saja,” timpal Chester.
Ian mendengus pelan, kembali berkutat pada tugasnya. “Tentu saja aku sangat sempurna. Apa pun yang kulakukan tidak akan mengubah apa-apa pada fisikku.”
Ah, lihatlah sifat narsis yang luar biasa itu, batin empat pengawalnya lagi-lagi kompak.
Tanpa mereka tahu, diam-diam Ian juga membatin, Tapi, kenapa dia selalu takut melihatku? Memangnya aku tampak seperti monster?
“Tapi, maaf, Yang Mulia, hari ini Anda akan mengikuti Yang Mulia Raja dan Yang Mulia Ratu dalam konferensi. Konferensi itu akan sangat padat berhubung tahun ini Kerajaan Ophelia menjadi tuan rumah. Anda harus lebih banyak istirahat sebelum matahari terbit,” tutur Chloe mencoba memberi pengertian dengan lebih pelan-pelan.
Sejak kecil, sifat perfeksionis dan sifat keras kepala bercampur padu secara serasi dalam diri Ian. Dua sifat yang sangat berjodoh itu menciptakan figur Ian, si Pangeran Mahkota arogan dan cukup diktator. Hal ini tentu sangat menjengkelkan. Ben, Chester, Chloe, dan Dale sudah merasakannya setiap hari sejak kecil. Terkadang mereka harus ikut keras kepala demi kebaikan Ian juga. Lantas, tidak jarang mereka berakhir adu argumen.
Ian tahu empat pengawalnya hanya ingin yang terbaik bagi dirinya. Tapi, mau bagaimana lagi? Sudah perfeksionis, keras kepala pula.
Bahkan Marquis tidak pernah betah berhadapan dengan Ian, apalagi orang lain.
Ian berhenti membuka lembar dokumen berikutnya kala membaca kalimat yang cukup menarik. Fokusnya menajam seiring mengamati isi lembar dokumen itu dengan lebih teliti.
Penculikan dan perdagangan anak di kota Felsham? batin Ian menarik kesimpulan. Menarik. Jarang sekali kasus semacam ini masuk ke bagian tugasku. Apa Raja Bodoh itu sengaja memberikannya padaku?
Melihat Ian tiba-tiba fokus pada satu lembar dokumen membuat empat pengawalnya tertarik. Mereka berhenti bersikap siaga, lalu mendekati meja Ian, penasaran.
“Yang Mulia, ada masalah, kah?” tanya Dale.
Ian mendongak. “Akhir-akhir ini ada kasus penculikan dan perdagangan anak?”
“Ada. Kasus itu sudah terjadi sepuluh kali di beberapa area Felsham, Yang Mulia,” jawab Johan sigap menjelaskan. “Menurut laporan masyarakat Felsham, targetnya anak kecil berusia antara empat sampai sembilan tahun. Waktu kejadian penculikan terjadi tiap pukul delapan malam. Anak-anak yang hilang kebanyakan anak yang tinggal di dekat daerah kumuh Felsham.”
“Total itu cukup banyak. Tidak ada upaya yang dilakukan Grand Duke Lawshall?” tanya Ian, sedikit terkejut.
“Grand Duke Lawshall sudah berupaya meningkatkan pengamanan kota dan mulai menjalankan protokol jam malam untuk anak-anak. Sampai saat ini, kasusnya masih diselidiki dan belum ada peningkatan apa-apa.”
“Bukankah Felsham dekat dengan Alterius?” celetuk Ben membuatnya menjadi pusat perhatian.
“Ya, lalu kenapa?” tanya Ian.
Ben menggeleng kecil. “Tidak apa-apa, Yang Mulia. Saya hanya teringat bahwa Alterius dan Felsham saling bertetangga.”
Chloe langsung mengernyit, mengingat sesuatu. “Sekarang kau menyebutnya, bukankah akhir-akhir ini muncul rumor perdagangan dan penculikan anak di Alterius?”
Seisi ruangan terkesiap mendengarnya, kecuali Ian. Seolah terkena bom waktu, sama-sama terketuk ingatannya tentang rumor yang disebutkan oleh Chloe.
“Ya, ada rumor semacam itu juga. Namun, belum ada laporan kasus serupa di Alterius. Tampaknya masih menjadi sebatas rumor untuk menakuti anak-anak agar tidak keluar di malam hari,” sahut Johan.
Ian mendengus geli, menyeringai kecil. “Grand Duke Gilbert akan langsung menanganinya dengan baik bila kasus itu terjadi juga di Alterius.”
Chester mengangguk. “Benar. Grand Duke Gilbert sangat sigap dalam menangani permasalahan di Alterius hingga tidak pernah mengajukan permintaan bantuan ke istana kerajaan.”
“Jadi, kita tidak perlu mengkhawatirkan keamanan Nona Elizabeth,” celetuk Ben lagi-lagi asal bicara.
Secara spontan, Dale meninju pinggang kiri Ben agar mulut laki-laki itu berhenti melempar ranjau. Tinjuan Dale membuat Ben meringis, tubuhnya melorot ke lantai, mati-matian berusaha menahan rasa nyeri di pinggangnya dan agar mulutnya tidak mengumpati Dale. Sementara yang lain hanya menatap Ben heran, lalu kembali ke topik kasus.
“Di dokumen ini, Grand Duke Lawshall mengajukan permintaan bantuan istana kerajaan untuk menangani kasus di Felsham. Tampaknya dia sudah kewalahan karena penyelidikannya tidak kunjung ada perkembangan,” ujar Ian sambil menggemeletukkan sendi-sendi jemarinya.
“Yang Mulia akan menyetujuinya?” tanya Johan.
Ian menopang rahangnya. “Entahlah. Kasus semacam ini biasa diatasi oleh ayah dan anjingnya. Bagiku, ini cukup merepotkan untuk turun tangan di Felsham.”
“Terlebih, sayang sekali pengajuan ini datang saat istana kerajaan sedang sangat sibuk menyiapkan konferensi,” timpal Chester setuju.
“Aku hanya akan mengamati perkembangan ke depannya,” Ian turun dari kursi, akhirnya memutuskan untuk menyudahi mengurus pekerjaannya, “sekarang bukan saatnya.”
“Baik, Yang Mulia.”
***
“Bersinarlah, adik kecilku! Hari ini adalah hari pertamamu masuk ke pergaulan sosial, jangan memasang wajah suram seperti itu,” ujar Alice tampak sangat bersemangat berangkat menuju kediaman Battenberg di kota Westleton, provinsi Yoxford. Wilayah yang dikuasai oleh Duke Battenberg.
Lizzy, yang merasa sangat enggan untuk menghadiri pesta teh, mau tak mau memasang wajah cerah terbaiknya. “Tentu, aku tidak mungkin memasang wajah suram. Kak Alice salah lihat.”
“Khusus untuk hari ini, aku akan berada dalam satu mobil denganmu agar kau tidak kesepian.”
“Bukankah itu melanggar protokol keluarga? Bagaimana kalau Kak Arthur tahu dan marah?” tanya Lizzy sedikit panik.
Alice menggeleng. “Tenang saja, dia tidak akan tahu. Lagipula dia sudah pergi menjalankan tugasnya di pagi-pagi buta.”
Lizzy mengerjap panik. “Tapi, tetap saja, cepat atau lambat—KYAA!”
Lizzy menjerit kaget saat Alice tiba-tiba menggendong tubuh kecilnya. Mengangkatnya menjauh dari permukaan bumi tanpa aba-aba. Buru-buru Lizzy berpengangan pada pundak Alice, sedikit berhati-hati juga agar tidak merusak tatanan rambut Alice.
“Selamat jalan, Nona Alicia dan Nona Elizabeth. Semoga perjalanan Anda lancar sampai tujuan.” salam para pelayan di belakang Alice tanpa mendapatkan balasan.
“Kak, kenapa tiba-tiba menggendongku?” protes Lizzy membuat Alice terkekeh kecil.
“Tidak boleh?”
“Bukan begitu!”
“Calon Ratu Ophelia tidak boleh sering merajuk,” tukas Alice sebelum mendudukkan Lizzy di jok mobil, lalu mendudukkan diri di sebelahnya. “Edgard, jalan.” perintahnya pada sopir.
Dengan begitu mobil melaju meninggalkan area kediaman, memasuki jalanan utama yang membelah hutan belantara. Ini keduanya kalinya Lizzy melewati hutan tersebut, namun dia tidak bisa berhenti kagum. Sejauh pengetahuan Lizzy, hutan yang mengelilingi kediaman Gilbert seluas 150.000 kilometer persegi. Hutan itulah yang selama ini memakan banyak korban manusia, para penyusup kiriman beragam bangsawan yang ditugaskan membunuh keluarga Gilbert.
Jika bukan karena dimangsa hyena liar di jalur jebakan, maka mati dehidrasi dan kelelahan di tengah hutan.
Yep, aku sangat kagum pada petugas hutan dan petugas pagar utama. Mengubur mayat sudah menjadi makanan sehari-hari mereka, batin Lizzy merinding sendiri.
“Lizzy, kau sudah mengingat nama dan wajah orang-orang yang kutandai semalam?” tanya Alice.
Lizzy menoleh, mengangguk. “Sudah. Aku mengingatnya dengan baik.”
“Kudengar aliansi lainnya akan datang. Jadi, mereka harus diprioritaskan, setelah itu barulah Duchess Battenberg dan putrinya.”
“Baik, aku akan melakukannya dengan baik.”
Kening Alice sedikit mengerut membaca beberapa lembar kertas dalam genggamannya. “Pesta teh hari ini menjadi wadah pelatihan bagi putri Duke Battenberg, Irene Battenberg. Jadi, tuan rumahnya adalah Irene, bukan Duchess. Ya, wajar-wajar saja melihat Duchess mendidik putrinya sejauh itu.”
“Keluarga Battenberg merupakan keluarga terhormat, bukan? Aku sudah banyak mendengar kabarnya dari Hera.”
Alice melengos pelan. “Begitulah. Keluarga tertua di Ophelia yang memiliki hubungan kekeluargaan dengan keluarga kerajaan. Mereka sempat mengalami masalah besar saat mantan Duke Battenberg sebelum Nicholas Battenberg terlibat sebagai tersangka dalam Perang Kudeta Alfredo Weasley. Namun karena kekuataan keluarga Battenberg sangat besar, reputasi mereka mudah dibersihkan.”
Lizzy mengangguk paham. “Aku harus memberi kesan yang baik dan berusaha menjalin hubungan dengan keluarga Battenberg.”
“Kau tidak perlu merasa terlalu terbebani, Lizzy. Duke Battenberg yang sekarang merupakan pria yang tidak begitu tertarik pada alur tahta kerajaan. Dia hanya fokus bertugas sebagai Kepala Kedutaan. Selama kau bersosialisasi dengan baik, kau tidak perlu khawatir.”
“Baik, Kak.”
Alice menyeringai kecil. “Yang perlu kau awasi adalah keluarga Weasley.”
“Weasley? Bukankah mereka sudah jatuh?”
“Ya, selama sembilan tahun sejak Alfredo Weasley dihukum mati. Sekarang mereka sudah kembali dan mulai mengumpulkan kekuatannya kembali. Bahkan kudengar Countess Weasley mendapatkan undangan pesta teh Battenberg ini.”
Raut Lizzy mulai khawatir. “Apa itu artinya keluarga Weasley akan kembali berulah?”
Alice menoleh, tersenyum manis. “Arthur tidak akan pernah membiarkan hal itu terjadi.”
TO BE CONTINUED
[Halo, untuk bab sebelumnya yang terkesan agak menyimpang, sebenarnya tidak, ya, teman-teman. Nggak ada unsur incest di cerita ini. Arthur dan Alice bersih suci kok, hehe. Memang kadang-kadang tingkah mereka terkesan incest padahal diam-diam niatnya saling bunuh gitu. Nah, karena ini historical romance, jadi akan ada banyak adegan yang agak aneh dan gimanaaa gitu deh. Jadi, kuharap kalian bisa mengerti. Terima kasih.]