Perempuan terbuat dari gula, permen, dan hal-hal manis. Mereka melakukan hal-hal manis. Mempelajari puisi, bukan filosofi; menyulam, bukan memasak; menari, bukan bermain catur. Menjadi seperti malaikat di dunia. Semua anak perempuan dibesarkan seperti itu. Tapi, anak perempuan di keluarga Gilbert dibesarkan berbeda dari anak perempuan lain.
“Nona Elizabeth, itu kakak perempuan Anda. Namanya Nona Alicia.”
Saat itu Lizzy masih berusia lima tahun saat pertama kali diperkenalkan dengan kakak-kakaknya. Lizzy yang hidup terpisah dari rumah utama, tidak pernah bertemu keluarganya sama sekali. Dia baru bertemu mereka ketika berusia lima tahun. Para pelayan di rumah Lizzy membawa Lizzy ke rumah utama. Memperkenalkan Lizzy ke keluarganya.
Lizzy ingat di pertemuan pertamanya dengan Alice, gaun hitam Alice memiliki banyak noda merah. Perempuan remaja itu mengenakan pakaian serba hitam seolah sedang berkabung. Terdapat banyak noda merah di gaunnya, namun Alice seolah tak tahu. Lizzy berpikir, noda merah berasal dari noda buah berri. Namun, dugaannya salah.
“Alice, kau sudah kembali.”
Itu suara laki-laki, Hera langsung memberitahu Lizzy bahwa itu adalah suara Arthur, kakak pertama Lizzy.
“Aku sangat lelah. Terkadang kau tidak tahu diri dalam memberiku tugas.”
Lizzy yang hanya mengamati dari kejauhan, merasa sedikit bingung. Arthur juga mengenakan pakaian serba hitam. Laki-laki itu masih remaja, namun sudah memegang tongkat seperti pria berumur. Arthur juga menggigit pipa cerutu.
“Hera, apakah ada seseorang yang meninggal?” tanya Lizzy tidak mampu menyembunyikan kebingungannya lagi.
“Tidak ada, nona. Tuan dan nona memang selalu memakai pakaian hitam.”
“Pakaianku berwarna-warni. Apakah kakak tidak suka warna lain?”
“Tidak seperti itu. Kakak-kakak nona hanya merasa lebih nyaman memakai pakaian hitam sejak kecil.”
Lizzy mengerjap, semakin bingung. “Lalu, Hera, kenapa ada noda merah di gaun Kak Alice?”
Hera sempat terdiam, tidak langsung menjawab pertanyaan Lizzy. Genggaman tangan Hera pada tangan kanan Lizzy terasa mengerat. Lizzy yang masih polos pun tidak mengerti mengapa Hera diam dan genggamannya mengerat. Mungkin Hera juga tidak tahu alasannya, jadi Lizzy memilih kembali mengamati kakak-kakaknya.
“Arthur, kau bertambah tinggi?” tanya Alice seraya mendekati kembarannya. “Benar-benar tidak adil. Dulu kau masih sebatas keningku.”
Arthur tampak menyeringai, menyambut tubuh Alice. “Tidak adil, huh? Saat dalam rahim ibu, kenapa kau menjadi perempuan, hmm?”
“Entahlah, aku tidak begitu ingat,” Alice merengkuh tubuh Arthur dan Arthur tidak masalah, dia membalas rengkuhan Alice.
Saat itu Lizzy sedikit merasa iri. Kakak-kakaknya tinggal bersama di rumah utama dan saling menyayangi. Mereka benar-benar dekat seperti dongeng anak-anak tentang keluarga bahagia, persis ekspektasi Lizzy. Sedangkan Lizzy harus tinggal terpisah dari rumah utama, hidup bersama para pelayan, dan tidak merasakan kasih sayang keluarga.
Tidak adil.
“Kau kenapa lagi, huh? Aku tidak punya waktu untuk meladeni nafsumu.”
“Aku menunjukkan perasaanku. Sudah kubilang bahwa aku mencintaimu, bukan, Arthur?”
Arthur menyesap pipa cerutunya sejenak, mengembuskan asapnya, lalu membalas Alice. “Rayuanmu tidak akan berguna sekarang, adikku. Aku harus kembali ke ruanganku.”
“Ah, kau tidak seru.”
Lizzy membelalak kala melihat tangan Alice tiba-tiba menodongkan sebilah pisau di belakang leher Arthur. Dia nyaris berlari menghampiri mereka jika saja Hera tidak menahannya. Lizzy sangat syok dan panik melihat kakak perempuannya hendak membunuh kakak pertama mereka.
“Hera, apa yang kau lakukan? Kak Alice… Kak Alice akan—“
Hera menggeleng, dia bersimpuh guna memeluk Lizzy, menahannya agar tidak berlari menghampiri sepasang kakak kembarnya. “Anda tidak boleh mendekati mereka. Percayalah, mereka tidak seperti yang Nona Elizabeth bayangkan.”
Lizzy masih berusaha melepaskan diri dari kekangan Hera. “Tapi—“
“Ah, kau memang adik yang menyusahkan.”
Suara Arthur mengalihkan perhatian Lizzy. Gadis kecil itu kembali diam mengamati kedua kakaknya. Mereka masih berpelukan, pisau masih menghunus tajam di belakang leher Arthur. Arthur seolah tidak menyadari keberadaan pisau tersebut karena dia malah memeluk Alice semakin erat.
Detik berikutnya, kepala Arthur turun, membungkuk mendekati telinga kanan Alice. Tampaknya membisikkan sesuatu, membuat wajah Alice berubah cemberut. Alice berhenti menodongkan pisau tepat saat Arthur menggendong tubuh Alice. Meletakkan tubuh gadis itu di pundak kanannya seolah sedang memikul karung. Lalu, keduanya pergi dari jangkauan mata Lizzy.
Pemandangan itu tidak bisa Lizzy lupakan. Dia sempat mengalami syok ringan selama beberapa hari setelahnya. Dia mengurung diri di kamar, mengabaikan Hera dan seluruh pelayan. Lizzy sungguh tidak pernah membayangkan betapa membingungkannya situasi keluarganya. Kakak-kakaknya berpenampilan aneh dan bersikap aneh, bahkan tidak ragu untuk menodongkan pisau ke saudaranya.
Setelah tiga hari menderita syok ringan, Lizzy dikunjungi oleh kakak-kakaknya. Pertemuan pertama mereka yang sebenarnya. Lizzy sempat memiliki harapan kecil bahwa apa yang dia lihat saat itu hanya halusinasi. Harapan kecil itu mendorong Lizzy untuk menerima kedatangan kakak-kakaknya.
Ya, Lizzy masih berharap pada presentase kecil itu.
Namun, semuanya hancur dalam sekejap.
“Kau pasti melihat kami saat itu.”
Ucapan Arthur membuat Lizzy menegang kaku. “Ya?”
“Ah, iya. Lizzy, kau melihat kami saat itu, ya?”
Theo menatap Arthur dan Alice. “Apa yang kalian lakukan?”
“Kami bercinta,” jawab Alice tersenyum riang membuat Lizzy membelalak.
“Dia berusaha membunuhku lagi,” jawab Arthur luar biasa santai, lalu menyentil kening Alice. “Apa yang kau katakan di depan anak kecil, bodoh.”
Semakin membingungkan Lizzy, reaksi Theo sangat biasa. “Ayah dan ibu tidak akan pernah menyangka ada cinta sedarah di keluarga Gilbert.”
“Tidak ada, bodoh,” sangkal Arthur dengan nada sangat terganggu.
Lizzy tidak habis pikir dengan sikap kakak-kakaknya. Arthur tahu Alice berusaha membunuhnya saat itu, sedangkan Theo bereaksi tidak peduli setelah mengetahui kakak-kakaknya terlibat kejadian seperti itu. Tersisalah si bungsu, Lizzy, terjebak dalam kebingungan dan rasa syok.
“K—Kenapa kalian seperti ini…,” cicit Lizzy kemudian, menginterupsi perdebatan ketiga kakaknya.
Alice mendekat, tersenyum. “Ada apa, Lizzy?”
Lizzy tidak berani menatap mereka. Dia menunduk sambil meremas gaun tidurnya erat-erat. Lantas mengeraskan suaranya. “Kenapa kalian seperti ini? Kak Theo biasa-biasa saja mengetahui Kak Alice berusaha membunuh Kak Arthur. Kak Arthur juga biasa-biasa saja saat itu. Kak Alice sendiri…, kenapa Kak Alice ingin membunuh Kak Arthur? Apa yang sebenarnya terjadi?”
Itu adalah kalimat pertama Lizzy kepada kakak-kakaknya. Bukan kalimat “aku senang bertemu kalian” maupun “aku sayang kalian”, melainkan sebuah komplain yang mempertanyakan keanehan keluarganya.
Di hari itu jugalah Lizzy mengetahui fakta bahwa keluarganya merupakan keluarga pembunuh.
Secara gamblang, Alice berkata, “Ya, aku memang berusaha membunuh Arthur karena dia menyuruhku pergi mengejar buronan Ophelia. Bayangkan saja, buronan itu melarikan diri ke benua Asia. Aku harus pergi jauh-jauh ke sana hanya untuk menghabisinya. Aku benci menaiki kapal.”
“Aku biasa-biasa saja karena sudah terjadi berkali-kali. Untuk apa aku terkejut?” kata Theo.
“Dia sering melakukannya, bahkan saat aku tidur,” kata Arthur.
Hari itu cukup menjadi hari traumatis bagi Lizzy. Dia tidak pernah menyangka keluarganya merupakan keluarga pembunuh. Hera tidak pernah memberitahu Lizzy, pun dengan para pelayan lainnya. Lizzy selalu diberitahu alasan dia ditempatkan di rumah yang terpisah untuk melatih kemandirian Lizzy. Faktanya, memisahkan Lizzy dari pola hidup keluarga Gilbert.
“Tidak ada yang memberitahumu karena aku dan Alice memutuskan tidak membesarkanmu seperti ayah membesarkan kami, kakak-kakakmu,” tutur Arthur pelan-pelan, berusaha membuat Lizzy mengerti, “keluarga kita spesial, kita menanggung mandat dari Raja Marquis untuk menjadi Anjing Penjaga Kerajaan. Lalu, ayah membesarkan kami menjadi seorang pembunuh karena hal itu.
“Khusus kau, aku membesarkanmu seperti anak perempuan lain karena kau akan menjadi Ratu Ophelia. Hanya saja, cepat atau lambat, kau harus tahu bahwa inilah keluargamu, keluarga Anjing Penjaga Kerajaan yang sudah tidak asing dengan menghabisi nyawa orang lain.”
Ya, anak perempuan keluarga Gilbert dibesarkan berbeda dari anak perempuan lain. Lizzy memang tidak dibesarkan seperti Alice yang sejak kecil sudah menanggung banyak siksaan guna menjadi seorang pembunuh. Lizzy tidak pernah diajarkan memegang senjata. Lizzy juga tidak diajarkan untuk menghabisi nyawa makhluk lain.
Secara psikologis, Lizzy ditempa untuk tidak asing dengan dunia bawah Ophelia.
Melihat secara langsung beberapa orang dibawa ke kediaman Gilbert untuk diadili. Melihat para penyusup yang mati mengenaskan dimangsa hyena liar. Terkadang melihat Theo datang membawa kepala-kepala manusia sebagai bukti untuk diperlihatkan ke Arthur.
Lambat laun, Lizzy sudah tidak asing lagi, kepolosannya menghilang begitu saja. Yang tersisa hanya hati lembutnya yang masih berperikemanusiaan. Lizzy tidak menyangkal bahwa semua hal-hal keji itu sangat mengerikan. Lizzy hanya sudah tidak kaget lagi, sebaliknya, dia tetap merasa ngeri.
Perempuan tidak mempelajari filosofi dan tidak bermain catur. Berbeda dengan Lizzy, dia harus mempelajari filosofi dan mengerti cara bermain catur sebagai bekal menjadi seorang Ratu Ophelia. Meski sia-sia, Ratu Ophelia tidak perlu lebih menonjol dari Raja Ophelia. Akan tetapi, Arthur tidak ingin hal itu terjadi, dia ingin Lizzy menjadi sosok Ratu berpendirian dan punya keberanian.
Semata-mata sebagai bentuk ancaman Arthur kepada seluruh bangsawan yang menentang Lizzy menjadi calon Ratu. Arthur tidak ingin Lizzy menjadi perempuan lemah. Tidak masalah Lizzy tidak menjadi seorang pembunuh, setidaknya Lizzy pandai ‘membunuh’ orang melalui kepribadiannya.
Lizzy pun tahu keinginan Arthur. Dia bersyukur tidak diajarkan memegang senjata, namun kini dia menyesalinya.
“Oh? Kau ingin belajar menggunakan senjata?” tanya Cecilia.
Lizzy mengangguk. “Ya, setidaknya sebagai bentuk pertahanan diri.”
Cecilia terkekeh sejenak. “Kau tidak memerlukannya, sayang. Ada Caesar dan ratusan ksatria yang rela mati untukmu. Bahkan para pelayan di rumah ini berkemampuan setara dengan ksatria.”
“Bibi, aku tahu banyak bangsawan yang siap membunuhku kapanpun. Akan ada situasi Caesar dan para ksatria tidak ada di sampingku saat aku dalam bahaya. Aku harus mengantisipasi kemungkinan buruk semacam itu,” sangkal Lizzy mulai berargumen. “Aku tahu bibi dapat sedikit membantuku. Kakak-kakakku tidak akan pernah mau mengajariku, begitu juga para pelayan dan ksatria.”
Cecilia mendesah pelan, masih tidak setuju. “Itu akan sangat menyenangkan, Lizzy kecil. Sayangnya, jadwalku sangat padat mengurus Black Crown.”
Lizzy mulai memelas, dia merajuk. “Bibi, aku tahu kau tidak sesibuk—“
“Lagipula, bukankah sekarang kau seharusnya menyiapkan diri untuk menghadiri pesta teh Battenberg besok? Kuberitahu padamu bahwa pesta teh Battenberg itu menyebalkan, sangat menyebalkan. Kau harus lebih siaga menerima segala intimidasi dari orang-orang tidak berotak.”
“Aku tahu, bibi!” rengek Lizzy mulai habis kesabaran. “Aku sangat tahu! Aku pun tidak mau pergi ke pesta itu! Tapi, mau bagaimana lagi, bukan?!”
Berbeda dari tiga anak tertua Eugene, Cecilia sangat menyukai Lizzy. Hanya Lizzy yang memanggilnya bibi, mengakuinya sebagai keluarga. Bagi Cecilia, dipanggil bibi terasa menyenangkan. Dia tidak menyukai hubungan kekeluargaannya, dia hanya menyukai panggilannya saja.
“Nah, lalu kenapa kau malah berpikir untuk mempelajari senjata daripada memikirkan pesta teh itu?” tanya Cecilia sebelum menghisap pipa cerutunya.
Lizzy cemberut. Tangannya menopang rahangnya, memerhatikan pemandangan di bawah balkon. “Aku berpikir bahwa aku harus menjadi seperti kakak-kakakku. Aku harus kuat untuk diriku sendiri.”
“Alasan yang menggemaskan, sayang.”
“Tidak menggemaskan. Aku harus bisa melindungi diriku sendiri. Setelah ini aku akan sering pergi dari kediaman Gilbert dan menunjukkan diri di pesta para bangsawan. Bibi pun tahu hal-hal buruk bisa terjadi kapanpun, bukan?”
Cecilia sedikit tersenyum miring menatap Lizzy. “Ada yang terjadi di antara kau dan pangeran kecil itu?”
Mata Lizzy langsung membelalak seraya menoleh ke Cecilia. Wajah penuh kekagetan itu sungguh menghibur Cecilia hingga tertawa cukup keras.
“A—Apa yang bibi bicarakan?!” protes Lizzy masih kaget karena tuduhan Cecilia. “Tidak ada yang terjadi di antara kami!”
“Kau tidak perlu menyembunyikannya, Elliana kecil. Sangat jelas telah terjadi sesuatu di antara kalian,” sangkal Cecilia mulai mengajak berargumen, “coba kutebak, kau ingin menjadi lebih kuat agar tidak merasa seperti pecundang di hadapan pangeran kecil itu, bukan?”
Lizzy terdiam kaku tak mampu membalas, memicu senyum miring Cecilia melebar.
“Bahkan Arthur juga berekspektasi kau menjadi sosok Ratu pemberani dan berpendirian. Kau mudah dibaca seperti buku yang terbuka lebar, Elliana kecil.”
Raut protes Lizzy memudar, tidak menyangkal lagi. Benaknya mengingat pertemuan pertama buruknya dengan Ian. Hatinya kembali berdenyut sakit mengingat betapa buruk perlakuan Ian kepadanya. Memang hanya sekedar membiarkan Lizzy membungkuk lama, namun bagi Lizzy itu menyakitkan. Perlakuan itu sudah menunjukkan lebih dari kata-kata bahwa betapa tidak sukanya Ian kepadanya.
Lizzy tidak ingin terus terkekang rasa takut terhadap Ian. Lizzy harus lebih berani lagi.
TO BE CONTINUED
[Di antara Arthur sama Alice nggak ada cinta sedarah, ya, hehe]