BAB 31

1916 Words
“Jangan dekat-dekat denganku, jangan memancing amarahku,” desis Ian geram kepada empat pengawalnya tanpa menoleh, dia sibuk mengatur jadwal kelas dan latihan Noah. Ben mengangguk. “Tentu saja. Lagipula kami tidak berniat mendekati Anda, Yang Mulia. Silahkan nikmati waktu Anda.” “Nikmati waktu dari mana, huh?!” sahut Ian langsung sewot, menoleh dengan wajah murka. Sukses mengagetkan keempat pengawalnya beserta Johan. “Kau pikir aku senang-senang saja melakukan hal semacam ini?!” “T—Tentu saja tidak. Maksud saya bukan seperti itu—“ Ian mendecak keras, nyaris mengeluarkan umpatan terkasar. “Keluar dari ruanganku sekarang juga!” Secara sigap keempat pengawal Ian langkah seribu dari ruangan Ian. Tidak ingin membuat Ian semakin kesal. Salah-salah, mereka yang kena getahnya. Sudah cukup bagi mereka untuk mendapatkan hukuman dari Ian. Tidak ada satu pun dari mereka yang sanggup melalui hukuman Ian. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Ivander de Bloich merasa sangat sengsara karena ibunya. Selama ini Ian sangat patuh atas segala perintah dan keinginan Victorique. Tidak pernah sekali pun dia membantah maupun komplain. Tipikal anak idaman tiap orang tua pada umumnya. Akan tetapi sekarang Ian seolah ingin mengumpati Victorique sekeras mungkin. Ya, hanya ingin, bukan akan melakukannya. Sebab, Ian takut terhadap Victorique. “Sialan,” umpat Ian pelan di sela mengatur jadwal Noah. “Sialan, sialan, sialan.” Johan sangat mengerti. Ini bukan pertama kalinya Ian mengumpat berkali-kali selama mengerjakan tugasnya. Biasanya Ian akan seperti itu karena tingkat emosinya memuncak sampai ubun-ubun. Demi menekan emosinya, Ian melampiaskan dengan cara mengumpat berkali-kali. Cukup kasar, Ian menutup buku. Lantas menyodorkannya kepada Johan. “Berikan katalognya padaku, lalu tunggu di luar.” Saya paham, Yang Mulia. Anda pasti sangat malu, tidak apa-apa, saya mengerti. Saya akan pura-pura tidak tahu saja, batin Johan sedikit gemas melihat gelagat Ian. Tanpa banyak bertanya, Johan menerima buku jadwal Noah dan menyerahkan katalog kepada Ian. Lantas undur diri, menunggu di luar ruangan Ian sesuai perintah anak laki-laki itu. Sebelum Johan benar-benar keluar dari ruangan Ian, dia berbalik, menoleh pada Ian. “Jika sudah selesai, bagaimana aba-aba yang akan Anda berikan, Yang Mulia?” tanyanya polos. Ian menatap tajam pada Johan, wajahnya sangat keruh pertanda dirinya berada di tingkat tak ingin diganggu gugat. “Keluar!” sahutnya makin sewot, tidak menjawab pertanyaan Johan sama sekali. Johan tersenyum lebar, tidak terganggu oleh sikap Ian. “Baik, nikmati waktu Anda. Saya permisi.” Ian meraih buku katalog di sisi meja sesaat setelah pintu ditutup oleh Johan. Wajah mengeruhnya sedikit reda seiring dia mengatur tempo napasnya, menenangkan diri. Bagaimanapun juga, Ian harus bisa menjaga kewarasannya di segala situasi. Dia menjadikan Marquis sebagai contoh individu gagal yang mudah sekali hilang kewarasan. Dan Ian tidak ingin menjadi seperti Marquis. Ian mengambil napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan melalui sela bibir tipisnya. Setelah dirasa sudah cukup tenang, Ian membuka katalog yang dibawakan oleh Johan. Mengamati beragam gaun, perhiasan, topi, dan sepatu berkualitas dari beragam desainer terkemuka. Ya, mencari kado ulang tahun untuk Lizzy. Sebuah tindakan berdasarkan perintah dan paksaan Victorique. Ian mendengus pelan di sela mengamati katalog gaun, lagi-lagi kembali mengeluh. “Mana kutahu apa yang disukai perempuan itu.” Ian, tidak pernah berhubungan dengan perempuan, mulai tertekan sendiri hanya karena pusing memilih kado untuk Lizzy. Pikirannya buntu total. Tidak ada satu pun yang muncul dalam benaknya. Dia tidak punya ide sama sekali. Padahal hanya sekedar memilih kado, tapi bagaimana bisa terasa setertekan ini? “Hm?” gumam Ian sesaat setelah iris merahnya menemukan produk pita biru muda. Pita itu berhasil menarik perhatian Ian, mengurungkan niat laki-laki itu untuk membuka halaman selanjutnya. Pita biru muda itu tidak mewah sama sekali. Desainnya sangat sederhana dan tampak tidak berharga sama sekali. Saking sederhana dan seaneh itu, membuat Ian sempat bingung bagaimana bisa ada model pita semacam itu di katalog milik desainer kondang Ophelia. Kemarin, dia memakai pita biru, batin Ian mengingat sosok Lizzy dalam pertemuan pertama mereka di taman Istana Ratu. Pita itu cukup besar dan terkesan sedikit kekanakan. Tapi, lebih bagus daripada pita ini. Ian mulai pening. Ian menjatuhkan punggungnya ke sandaran kursi. Kedua tangannya merenggang, melemaskan seluruh sendi dan otot tubuhnya yang terasa kaku. Dengan begitu, resmi menjauh dari buku katalog, sumber pening di kepalanya. Ian memejamkan mata setelah mengistirahatkan kepalanya pada tangan kanannya. Berharap rasa pening di kepalanya cepat berlalu setelah Ian beristirahat sejenak. “Sa—salam pada Sang Matahari Kerajaan Ophelia, Yang Mulia Pangeran Mahkota Ivander. Nama saya…, Elizabeth de Gilbert. Sebuah kehormatan bagi saya untuk bertemu Anda. M—Maafkan ketidaksopanan saya sebelumnya, Yang Mulia.” Tubuhnya mungil. Suaranya sangat lembut meski masih terdengar penuh kekanakan khas anak kecil. Surai pirang madu dan mata biru berliannya masih sama seperti saat pertama kali Ian melihatnya, bahkan lebih bersinar. Walau sedikit canggung dan mudah gugup, Lizzy mampu menguasai diri sebaik mungkin untuk bersikap selayaknya bangsawan. Tidak menjatuhkan harga dirinya. Lizzy sangat mudah dibaca selayaknya buku yang terbuka lebar. Dia selalu menatapku dengan penuh ketakutan, batin Ian kembali bingung, bersamaan dengan benaknya memutar pemandangan mata Lizzy berbinar menatap Noah. Sebuah ketimpangan perlakuan yang nyata. Memangnya aku tampak seperti monster, huh? Jangan kira Ian tidak menyadarinya. Ian sangat menyadari segala hal yang terjadi di dalam acara pertemuan keluarga tempo lalu. Mata merahnya menangkap segalanya tanpa terkecuali. Menemukan mata biru berlian Lizzy berbinar menatap Noah, melihat Lizzy sangat mudah memberikan senyuman manis kepada orang lain, dan melihat Lizzy bersikap lebih wajar kepada orang lain. Lantas, dibandingkan dengan seluruh sikap Lizzy kepada Ian, semuanya berbanding terbalik. Padahal Ian adalah Pangeran Mahkota sekaligus calon tunangannya, namun Lizzy seolah benci dan tidak ingin bertemu dengan Ian. Bukankah seharusnya Ian-lah yang bersikap semacam itu? Di antara mereka berdua, Ian-lah yang paling berhak merasa dan bersikap demikian, alih-alih Lizzy. Yeah, tapi memangnya dia tahu apa. Dia tidak akan pernah mengerti, batin Ian sembari membuka kelopak mata. Ian menegakkan punggung, membenarkan posisi duduk. Tangannya meraih buku katalog, kembali mencari barang yang tepat untuk dijadikan kado. Merasa sudah cukup mendinginkan kepalanya. Tanpa dia sadari, bibirnya melengkung membentuk senyuman tipis. Sangat tipis hingga tidak disadari olehnya. Untuk perempuan jelek sepertimu, kau butuh satu butik dari desainer. *** “Lizbeth, sebentar lagi perjamuan teh akan dibuka. Kita harus segera ke sana,” ujar Gideon sesaat setelah turun dari bangku. Lizzy, lagi-lagi merasa malu karena nama panggilan buatan Gideon, mengangguk kaku. “Ya, tampaknya seperti itu.” sahutnya hampir sama kakunya. “Sebaiknya kita segera ke sana.” Lizzy mengangguk kecil, lantas turun dari bangku. Dia melangkah bersama Gideon meninggalkan area air mancur dan taman labirin. Bertepatan dengan salju mulai turun tidak begitu lebat. Lizzy sedikit tenggelam dalam angan-angannya. Menerka alasan sebenarnya Gideon mendekatinya. Lizzy belum mendapatkan jawabannya dari Gideon. Laki-laki itu langsung berbinar setelah Lizzy memanggil namanya, alih-alih menjawab pertanyaan Lizzy. Selanjutnya, Gideon sedikit membicarakan perjamuan teh Battenberg. Berkata, perjamuan teh ini cukup sukses dan sempurna untuk ukuran perjamuan yang diadakan oleh anak kecil berusia tujuh tahun. Gideon tidak menjawab pertanyaan Lizzy seolah tidak tahu atau tidak dengar. “Lizbeth.” Lizzy mendongak, menatap Gideon di depannya. “Ya?” “Ada apa? Kau melamun.” “Bukan apa-apa, aku hanya merasa sedikit kedinginan.” Gideon menghampiri Lizzy yang tertinggal di belakangnya. Tangannya terulur. “Mau kuhangatkan?” tawarnya tak lupa tersenyum. Lizzy mengedip bingung. “Eh?” “Tangan,” jawab Gideon, terkekeh kecil, “memang tidak seberapa, tapi setidaknya sedikit mengurangi.” Astaga, lagi-lagi dia bersikap penuh perhatian begini, rutuk Lizzy lagi-lagi pipinya dibuat memerah. Jika kutolak, sopankah? D—Dia mengajakku bergandengan tangan, bukan? Lizzy tidak pernah menggandeng tangan laki-laki selain Arthur, Charles, dan Caesar. Bahkan Lizzy belum bergandengan tangan dengan Ian. Jika Gideon menjadi laki-laki luar pertama yang menggandengnya, apakah etis? Astaga. Terlalu lama bersama Gideon membuat kepala Lizzy pening. Peka dengan kecanggungan Lizzy, Gideon menarik tangannya, tersenyum menyesal. “Ah, maafkan aku. Lagi-lagi aku lancang.” Lizzy menggeleng, tersenyum canggung. “Tidak apa-apa, aku tidak berpikir seperti itu. Terima kasih, tapi maaf aku tidak bisa menerimanya untuk sekarang.” “Ya, tidak apa-apa. Kalau begitu, kencangkan ikatan syalmu agar lebih menghangatkan lehermu.” Lizzy mengangguk paham, lantas menuruti ucapan Gideon. Kesempatan kecil untuk menghindar dari tatapan hangat Gideon. Mata amber Gideon yang selalu memancarkan kehangatan dan perhatian selalu berhasil membuat Lizzy salah tingkah. Seumur-umur Lizzy belum pernah ditatap seperti itu, jadi ini merupakan hal baru baginya. Usai membetulkan syal, Gideon dan Lizzy kembali melangkah bersisihan. Tanpa bergandengan, berjarak sekian senti. Terkadang Gideon akan menyeletuk sesuatu sebagai pengisi keheningan. Kadang Gideon akan membuyarkan lamunan Lizzy demi menghindarkan gadis itu dari kemungkinan terpeleset salju. Dan itu semua membuat Lizzy semakin malu. Bisa-bisanya Lizzy bersikap sebodoh itu di hadapan laki-laki. “Untuk sekarang aku masih belum sebebas anak-anak bangsawan lain dalam menghadiri pesta teh. Jadi, aku cukup senang hari ini dapat menghadiri pesta teh sekelas Battenberg,” ujar Gideon. Lizzy mengerjap polos. “Kenapa seperti itu?” “Ya, keluargaku baru saja bangkit kembali setelah sembilan tahun melalui masa-masa buruknya. Kau pasti mengerti tanpa perlu kujelaskan bagian itu, bukan?” Lizzy mengangguk kecil tanpa bersuara. “Meski sekarang ibuku menerima undangan pesta Battenberg, belum tentu akan ada lagi undangan-undangan pesta selanjutnya untuk ibuku. Intinya seperti itu, aku sulit menjelaskannya. Dunia orang dewasa itu rumit sekali.” Lizzy tersenyum. “Tidak apa-apa, aku paham. Aku mengerti apa yang kau rasakan. Orang dewasa itu rumit.” “Kau tidak merasa aku pembawa sial?” “Huh? Pembawa sial?” Gideon menoleh sekilas ke Lizzy, tersenyum tipis. “Keluarga Weasley, kau tahu. Anak-anak di sini menjauh dariku karena aku dari keluarga Weasley. Beberapa sempat kudengar mereka melabeliku pembawa sial.” “Ah, mereka keterlaluan. Aku tidak merasa Gideon seperti itu. Gideon bukan pembawa sial dan sangat baik.” Gideon tersenyum lebar kepada Lizzy. “Benarkah? Jadi, tidak apa-apa bagiku untuk berteman denganmu, Lizbeth?” Aish, akhirnya justru seperti ini. Kakak-kakak, maafkan aku yang tidak mematuhi perintah kalian, rutuk Lizzy pasrah saja. “Tentu, aku senang berteman dengan Gideon,” balas Lizzy membuat Gideon semakin senang. Untuk pertama kalinya, Lizzy si bungsu tidak mematuhi kakak-kakaknya. Sekujur tubuhnya seketika merinding memikirkan tindakannya sendiri. Sudah dapat membayangkan bagaimana reaksi kakak-kakaknya jika tahu. Aku tak ingin membayangkannya! rutuk Lizzy. Ketika Gideon dan Lizzy sampai di ujung jalan, langkah mereka berhenti saat melihat seorang wanita berdiri tidak jauh dari mereka. Wanita itu menatap pohon plum yang memekarkan bunga-bunganya. Berdiri sendirian, hanya menatap pohon plum. Ini membuat Lizzy sedikit bingung, tidak mengenali wanita tersebut. Saat Lizzy datang bersama Alice, Lizzy tidak menemukan figur wanita itu. “Selamat siang, Nyonya Irina Battenberg,” sapa Gideon tiba-tiba, membuat Lizzy kaget melihatnya mengenali wanita itu. “Sebuah kehormatan bagi saya untuk dapat bertemu dengan Anda. Saya harap Anda juga menikmati pesta teh hari ini.” Tidak ingin tampak tidak sopan, Lizzy memberi salam. “Selamat siang, Nyonya Irina Battenberg.”   Irina Battenberg menoleh, memperlihatkan raut dingin dan sorot mata tajam kepada dua anak kecil di hadapannya. Wanita itu bergantian menatap Gideon dan Lizzy. Terkesan tidak menyukai kehadiran mereka. Sesaat kemudian, Irina melangkah mendekat. Membuat Lizzy sedikit gugup menunggu apa yang akan dilakukan Irina. Lizzy tidak terpikirkan apa pun. Hera tidak memberitahu apa-apa tentang Irina Battenberg. Bahkan Hera tidak menyebutkan namanya. Sehingga sekarang Lizzy tidak tahu apa-apa tentang wanita di hadapannya. Jika saja tidak ada Gideon, Lizzy tidak akan mengenali Irina dan bersikap tidak sopan pada anggota keluarga Battenberg. “Halo, anak-anak manis,” ujar Irina setelah berhenti di hadapan Gideon dan Lizzy. “Bunga plum mekar dengan indah hari ini,” ujar Gideon berbasa-basi, tanpa diketahui oleh Lizzy, senyuman Gideon mengandung makna tertentu. “Benar, aku senang bunga-bunga itu mekar dengan indah,” sahut Irina berkata pada Gideon, namun matanya menatap Lizzy yang sedikit menundukkan kepala. Irina diam sejenak sebelum tiba-tiba berkata pada Lizzy. “Gadis manis, apakah kau yang bernama Elizabeth de Gilbert?” Lizzy mendongak, spontan mengangguk kecil. “Benar. Maafkan ketidaksopanan saya yang tidak memperkenalkan diri.” Irina tersenyum manis. “Kau benar-benar manis seperti yang dibicarakan para bangsawan.” “Terima kasih, Anda terlalu memuji.” Tiba-tiba saja siku kanan Gideon menyenggol Lizzy pelan. Seolah menegurnya. Lizzy, si polos, tentu tidak menyadari maksud sikutan Gideon. TO BE CONTINUED[Gemes sama Ian, pengen tak hiiihh. Omong-omong cover TQQ baru, lho. Di cover itu adalah Ian dan Lizzy, ya meski penggambarannya seperti manhwa, anime begitu. Kuharap kalian suka dengan covernya]
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD