BAB 32

2032 Words
Irina Battenberg adalah adik Nicholas Battenberg. Dikenal sebagai wanita bangsawan terpandang dengan julukan Kupu-Kupu Sosialita. Sejak kecil, dia telah menorehkan prestasi dan kecantikannya sangat memukau hingga menjadikannya sebagai panutan para wanita baik dari kalangan bangsawan dan rakyat biasa. Sembilan belas tahun telah berlalu, namun Irina masih tetap mempertahankan posisinya sebagai wanita bangsawan terpandang. Hanya saja perbedaannya telah terasa. Irina tidak lagi selalu menjadi sorot utama di pergaulan sosial seiring pergantian era. Telah banyak perempuan-perempuan bangsawan yang mulai mencolok dan Irina sedikit tersingkir. Namun, bukan berarti Irina lengser. Irina memiliki sebutan baru selain Kupu-Kupu Sosialita, yaitu Si Mawar Putih.   Disebabkan oleh Irina tidak pernah menikah. Di masa lalu, Irina dikenal sebagai perempuan yang sangat mencintai Eugene de Gilbert. Irina tidak pernah menutupinya dari siapa pun. Bahkan itu menjadi rahasia umum di kalangan bangsawan, saking terlalu jelas untuk dilihat. Irina sudah mengejar cinta Eugene selama tiga tahun sampai akhirnya pria itu menikahi perempuan lain, Elliana Efran. Hal ini menjadi alasan yang dipikirkan oleh para bangsawan, mengapa Irina tidak kunjung menikah sampai saat ini. Patah hati terdalam. Sekarang, sebuah spekulasi telah menjadi rahasia umum di kalangan bangsawan. Menyebut bahwa Irina Battenberg membenci anak-anak keluarga Gilbert. Bagaimanapun, Lizzy tidak tahu apa-apa tentang hal ini karena tidak ada yang memberitahunya. “Bagaimana menurutmu, gadis manis? Apakah pesta teh yang diadakan keponakanku sangat indah?” tanya Irina masih dengan senyum manisnya kepada Lizzy. Lizzy mengangguk, tersenyum simpul. “Ya, saya sangat menyukai pesta teh yang diadakan oleh Nona Battenberg. Saya harap, di masa yang akan datang, saya dapat menyelenggarakan pesta teh sebagus ini.” “Kau sangat pintar dan sopan sekali.” “Terima kasih atas pujian Anda, Nyonya Battenberg.” Gideon tidak bisa menahannya lagi. Laki-laki itu menyikut lengan Lizzy cukup keras agar Lizzy peka. Ketika Lizzy akhirnya menoleh, Gideon maju satu langkah, lalu sedikit membungkuk. “Kami senang bertemu dengan Anda, Nyonya. Sayangnya, kami harus segera pergi ke taman utama karena perjamuan akan segera dibuka,” ujar Gideon, secara tersirat bermaksud menegur Irina agar tidak menghalangi mereka lebih lama lagi. Raut terkejut terpasang di wajah Irina, raut yang sangat dibuat-buat bagi mata Gideon. “Astaga, maafkan aku, anak-anak. Aku menghambat kalian.” “Tidak apa-apa, Nyonya. Kami mengerti Anda tidak bermaksud demikian,” balas Gideon. Irina tersenyum simpul sebelum menyingkir dari hadapan Gideon dan Lizzy. Wanita itu melenggang pergi menyusuri jalanan yang mengarah ke air mancur dan taman labirin sembari berkata, “Nikmati waktu kalian, anak-anak.” Lizzy, si polos, tidak mengerti sikutan Gideon sama sekali. Gadis itu justru menyempatkan diri untuk memberikan bungkuk hormat kepada Irina yang telah berjalan menjauh. Tindakan polos itu membuat Gideon gemas ingin membeberkan segala hal kepada Lizzy. Sayangnya ia juga paham betapa polosnya gadis cantik itu, jadi ia mencoba menahan kegemasannya. Gideon dan Lizzy kembali bergegas ke taman utama yang tidak jauh dari pohon plum favorit Irina. Kedatangan mereka nyaris terlambat. Melihat Irene sudah berdiri di tengah taman didampingi Ainsley. Sementara para tamu telah berkumpul untuk menantikan Irene membuka perjamuan. Gideon berpisah dari Lizzy sesaat setelah Alice menghampiri gadis itu. Tanpa diminta, Gideon paham bahwa dia harus menjauh dari Lizzy. Dia paham Alice tidak menyukainya, namun dengan alasan yang berbeda dari para bangsawan. “Selamat siang, para tamu terhormat yang telah berkenan hadir di pesta teh kecil saya pada hari ini. Saya, Irene Battenberg, menyampaikan rasa terima kasih dan rasa syukur saya karena dapat menyelenggarakan pesta ini dengan lancar. Semua itu tidak lepas dari dukungan dan berkat dari orang tua saya serta para tamu yang mempercayai saya hingga bersedia untuk hadir. “Saya paham pesta kecil ini masih jauh dari kata sempurna. Namun, saya harap Anda dapat menikmati dan harap memaklumi. Saya harap pesta kecil pertama saya dapat memberikan kesan yang bagus bagi Anda. Pesta teh resmi saya buka.” ujar Irene lancar, membuatnya mendapatkan sambutan tepuk tangan. Pesta teh resmi dibuka. Untuk konsepnya, tidak jauh berbeda dari pesta teh pada umumnya. Berhubung ini adalah pesta teh biasa yang menjadi wadah pembelajaran bagi Irene, jadi tidak semewah kelas Battenberg. Para wanita akan duduk bersama di meja, bercengkrama membicarakan banyak hal. Sementara, anak-anak memiliki tempatnya sendiri untuk saling bercengkrama. Biasanya dekat dengan area kudapan. “Lizzy, kau sudah menyapa anak-anak Trancy dan Phantomhive?” tanya Alice sebelum bergabung ke meja para wanita. Lizzy menggeleng kecil. “Tadi aku mencari mereka, tapi tidak kunjung bertemu.” “Setelah ini carilah mereka, beri salam dan kesan yang bagus. Jika ada apa-apa panggil pelayan atau hampiri aku. Aku berada di meja wanita-wanita itu. Kau mengerti?” Lizzy mengangguk, membuat pita biru mudanya bergoyang, memberi efek menggemaskan. “Aku mengerti.” “Usahakan untuk tidak terlalu menarik perhatian anak-anak lain. Jangan bicarakan apa pun tentang statusmu, keluarga Gilbert, dan keluarga kerajaan. Jika mereka mengganggumu dalam bentuk apa pun, segera beritahu aku, mengerti?” Lizzy hanya mengangguk. Alice mengelus puncak kepala Lizzy, tersenyum simpul. “Nikmati waktumu.” Dengan begitu, Alice pergi menuju meja teh, tempat berkumpulnya para wanita dewasa. Meninggalkan Lizzy tanpa menoleh lagi. Lizzy menarik dan mengembuskan napas, menyiapkan diri untuk menjalani pesta teh dengan nyaman. Lebih tepatnya, menyiapkan diri untuk menghadapi anak-anak seusia maupun lebih tua sedikit darinya. Singkatnya lagi, bersosialisasi. Lizzy si putri mansion, harus menyiapkan diri seperti itu demi menjaga citra baiknya sebagai calon tunangan Ian, sang Pangeran Mahkota. Walau tak dapat dipungkiri juga, betapa tidak sukanya Lizzy dengan gagasan menjaga citra sebagai calon tunangan Ian. Seolah-olah Lizzy berusaha menjaga citra baik Ian juga. Dia sedikit tidak sudi. Ya, Lizzy masih dendam atas perlakuan Ian. “Lizbeth,” panggil Gideon dari kejauhan, dia melangkah mendekati Lizzy. “Apakah kau ingin kembali ke bangku di air mancur?” Lizzy tersenyum kecil seraya mengangguk. “Tentu, tapi setelah aku menghabiskan satu cangkir teh.” “Tidak masalah. Aku tahu udaranya semakin dingin,” sahut Gideon tepat dengan kakinya berhenti di hadapan Lizzy. Mata ambernya menatap syal Lizzy, kembali gemas ingin mengomeli Lizzy. “Lizbeth, syalmu.” Lizzy mengerjap beberapa kali sebelum menunduk untuk menatap syalnya. Buru-buru dia merapikannya, menahan malu pula. Kenapa, sih, setiap kali di dekat Gideon, ada-ada saja kebodohanku?! “Huh? Mereka dekat?” “Calon tunangan Pangeran Mahkota itu dekat dengan Weasley si pembawa sial?” “Ya ampun, bagaimana bisa dia seperti itu?” “Aku yakin tidak ada yang memberitahunya.” Gendang telinga Lizzy menangkap bisik-bisik di sekitarnya. Kalimat-kalimat yang tidak enak didengar itu membuat kening Lizzy mengernyit, heran. Dia menoleh, menatap lirikan dan tatapan anak-anak tertuju padanya. Lirikan sinis dan tatapan terkejut. Beberapa terang-terangan menatap meski dipergoki Lizzy, beberapa langsung membuang muka saat Lizzy menoleh. Kening Lizzy semakin mengernyit menyadari suasana di sekitar mulai berubah. Yang tadinya penuh keceriaan, kini terasa mendingin seolah mereka terpengaruh oleh dinginnya cuaca. “Lizbeth,” panggil Gideon, mengalihkan mata biru berlian Lizzy dari anak-anak di sekitar mereka. “Ya?” sahut Lizzy langsung berwajah polos. “Kau sudah selesai merapikan syal?” Lizzy hanya mengangguk, sibuk merapikan sarung tangan yang melekat di kedua tangannya. Berusaha menghalau hawa dingin. Gideon tersenyum. “Kalau begitu ayo pergi mengambil tehmu, Tuan Putri.” Lizzy membelalak, wajahnya memerah dalam sekejap. “T—Tuan Putri?” “Apakah aku salah?” tanya Gideon, mengerjap polos, membuat Lizzy semakin memerah malu. T—Tidak salah. Aku calon tunangan pangeran, jadi wajar bagi Gideon memanggilku seperti itu. Tapi, walau sudah bertunangan pun, statusku belum menjadi Putri Mahkota! batin Lizzy berkecamuk sendiri. “Tidak salah, tapi tidak benar juga. Aku bukan tuan putri. Aku hanya nona kecil dari keluarga bangsawan biasa,” jawab Lizzy setelah berhasil menguasai debar jantungnya. Tak diduga, Gideon sedikit nyengir. “Bagiku, kau adalah tuan putri.” Pipi Lizzy menggembung kecil, cemberut. “A—Apa-apaan, huh? Berhenti mengejekku.” Gideon tertawa pelan sambil berbalik badan. Sinyal bagi Lizzy untuk segera pergi ke area kudapan. Lizzy tidak punya ide mengapa Gideon yang sebaik ini dijauhi oleh anak-anak lain. Hanya karena dia dari keluarga Weasley, bukan berarti Gideon memiliki andil dalam kejahatan Alfredo Weasley. Lizzy sudah mempelajari teori labeling di kelas Sosiologi, tidak dia sangka sekarang dia menemukan bukti nyata terkait teori tersebut. Tidak ada yang berbeda dari bangsawan lain, Lizzy juga mendapatkan perintah untuk menjauhi Weasley. Hanya saja, Lizzy tidak mematuhinya. Lizzy pun sadar, cepat atau lambat kabar kedekatannya dengan Gideon akan merebak luas karena anak-anak. Maka, Alice pun akan segera tahu juga. Lizzy harus menyiapkan alasan yang bagus. “Lizbeth, kau ingin Darjeeling atau Jackson Earl Grey? Mungkin teh s**u?” tanya Gideon sesaat setelah mereka sampai di area kudapan. Lizzy mengerjap. “Darjeeling. Kau juga ingin minum teh?” “Tidak, aku akan mengambilkannya untukmu. Tunggu aku di sofa.” “Tidak perlu, Gideon. Aku bisa mengambilnya sendiri,” tolak Lizzy, kaget. Gideon tersenyum. “Sudahlah, tidak masalah bagiku. Anggap saja bentuk rasa terimakasihku karena kau mau berteman denganku.” Jika Gideon sudah memasang senyum secerah itu, susah bagi Lizzy untuk menolak. Akhirnya, gadis itu pasrah mengikuti kemauan Gideon. Lizzy pergi ke salah satu sofa, menunggu Gideon mengambilkan teh. Dengan senyum tipis dan perasaan sungkan, Lizzy duduk sendirian di sofa. Sama seperti saat dia baru datang, dia mengamati anak-anak lain bercengkrama dengan kelompok masing-masing. Masih belum ada yang berani mengajak Lizzy bergabung. Mungkin mereka sudah tidak ragu mengajak Lizzy berbicara dan menyapa dengan santai. Hanya saja masih belum ada yang berniat mengajak Lizzy bergabung sehingga kini Lizzy masih sendirian bersama Gideon. Gideon pun seharusnya berkumpul bersama kelompok anak laki-laki, tapi begitulah, Gideon dijauhi. “Hei.” Lizzy menoleh, bertemu tatap dengan tiga anak perempuan yang menatapnya sinis. Dari wajah mereka, Lizzy mengenalinya sebagai putri dari keluarga bangsawan menengah. Yang menyapanya barusan adalah Alysa Flow, putri Count Flow. Menurut kabarnya, dia berwatak sombong dan semena-mena hanya karena berpotensi menduduki peringkat teratas dalam pergaulan sosial. Alysa seusia Lizzy, jadi Lizzy tidak perlu terlalu formal padanya. Lizzy turun dari sofa, tersenyum. “Halo, Nona Flow. Senang bertemu denganmu. Aku Elizabeth de Gilbert.” “Aku tahu. Kau yang menjadi calon tunangan Yang Mulia Pangeran, bukan?” sahut Alysa ketus. Lizzy masih mempertahankan senyumannya. “Benar. Ada apa?” “Kau ini calon tunangan Yang Mulia Pangeran, tapi kenapa kau kecentilan dengan laki-laki pembawa sial itu? Kau tidak punya rasa malu, kah?” Senyuman Lizzy langsung memudar mendengar hinaan Alysa. Wajah cerahnya meredup, tergantikan oleh raut tidak suka. Perubahan raut wajah Lizzy tidak diindahkan oleh ketiga perempuan di hadapannya. Mereka semakin melontarkan kalimat yang tidak enak didengar. “Seharusnya kau bersyukur karena keluarga kerajaan menerimamu yang penampilannya pas-pasan. Tapi, lihatlah, di debut sosialmu, kau sudah pergi merayu laki-laki lain,” hujat Alysa tajam tanpa gentar. “Aku tidak merayu Gideon,” sangkal Lizzy membela diri. Alysa beserta dua temannya menganga syok dengan gaya berlebihan. “Astaga! Bahkan kau memanggilnya dengan nama kecilnya!” ujar Alysa terkesan tidak habis pikir dengan Lizzy. “Alysa, dia tidak punya rasa malu. Pikirkan saja, dia mendekati laki-laki pembawa sial itu saja sudah menunjukkan betapa bodohnya dia,” ujar Beatrice, teman Alysa yang paling modis. “Ah, kira-kira apa yang akan terjadi bila semua orang tahu hal memalukan ini, ya? Terutama, keluarga kerajaan,” timpal Rose membuat dua temannya menyeringai, bermaksud mengancam. Lizzy tidak pernah menduga dirinya akan terkena perundungan semacam ini. Dia tidak berekspektasi ini akan terjadi, tetapi dia sudah memikirkan kemungkinannya. Lizzy pikir, selama dia bersikap baik-baik saja kepada semua orang, maka tidak akan ada hal-hal semacam ini. Ternyata, salah besar. “Aku tidak mengerti apa maksud kalian berbicara seperti itu padaku, tapi kalian benar-benar keterlaluan,” ujar Lizzy tegas, namun tidak berhasil membuat mereka gentar. “Gideon Weasley bukan pembawa sial. Dia sangat baik dan berwawasan luas. Dia memang berasal dari keluarga Weasley, tapi bukan berarti dia juga tersangka.” Beatrice tertawa. “Kau ini naif sekali, ya. Memangnya kau tahu apa tentang keluarga itu sampai berani menyimpulkan seperti itu? Kau ini baru masuk pergaulan sosial, tapi bertingkah seolah tahu segalanya.”   “Aku mulai bersimpati dengan Yang Mulia Pangeran. Pasti sulit baginya untuk bertunangan dengan perempuan tidak beretika,” sindir Rose dengan wajah sedih yang dibuat-buat. Seharusnya aku yang menyesal bertunangan dengan pangeran bodoh itu, bukan dia! Memangnya kalian tahu apa tentang pangeran yang kalian puja-puja itu?! jerit Lizzy ingin sekali mengutarakannya. “Alysa, apakah kau tidak penasaran dengan reaksi semua orang bila kabar memalukan ini tersebar?” tanya Beatrice mulai memprovokasi situasi. Alysa menyeringai kecil. “Aku sangat penasaran, Beatrice. Haruskah kita bicarakan ini dengan anak-anak lain sebagai topik perjamuan hari ini? Ini kabar besar!” Lizzy mengerti maksud mereka. Jadi, dia maju selangkah. “Kalian pikir ancaman kalian dapat menakutiku?” Gideon, melihat segalanya dari kejauhan, tersenyum bangga. TO BE CONTINUED[Bagi kalian yang sudah lupa dengan tokoh Irina Battenberg, dia adalah antagonis di The King's Lover. Di sequel ini, tokoh-tokoh yang ada di series sebelumnya akan kembali hadir. Sesuai dengan penjabaran di BAB ini, Irina tuh yang dulunya suka sama Eugene. Terus tiba-tiba kuhilangkan, kan? Nah, di sequel ini benang-benangnya akan kuluruskan. Masih banyak yang belum kuselesaikan di TKL, maka akan diselesaikan di sini. So, ya, ini bakal panjang banget kisahnya, hehe]
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD