BAB 60

2053 Words
Jarum pendek telah menunjuk angka sebelas. Langit semakin gelap. Cahaya bulan semakin bersinar, merayap masuk melalui jendela kamar. Memberi sedikit penerangan dalam kamar unit kesehatan yang ditempati oleh Lizzy. Gadis berkulit seputih salju itu tidak bisa menutup mata. Masih saja bermasalah untuk pergi ke alam mimpi seperti siang hari sebelumnya. Lizzy sepenuhnya sadar bahwa kali ini dia harus tidur. Dia tidak boleh begadang. Tidak boleh mengikis jam tidur. Terlebih dalam posisi belum sepenuhnya pulih begini. Tapi, Lizzy tidak bisa apa-apa. Dia sungguh susah tidur. Semua ini karena Noah de Bloich. “Sungguh? Kau berkenan menemaniku pergi ke sana? Syukurlah, terima kasih, Nona Gilbert.” Pipi Lizzy bersemu untuk kesekian kalinya karena suara Noah kembali terngiang dalam benaknya. Lizzy menutup wajahnya, menahan teriakan yang ingin lolos dari bibir tipisnya. Astaga, apa yang kau lakukan, Elizabeth de Gilbert?! Pangeran Noah memang ramah dan baik, untuk kau sampai deg-degan hanya karena sifat ramahnya?! Ya, pada akhirnya Lizzy menerima ajakan mendadak Noah. Terlepas dari rasa bingung dan terkejutnya, Lizzy menyadari bahwa yang memintanya adalah seorang pangeran, anggota keluarga kerajaan. Akan menjadi hal yang lancang bila Lizzy menolak permintaan Noah. Lizzy harus lebih memerhitungkan tindak-tanduknya demi menjaga statusnya sebagai tunangan Ian. Sejak mengenal Noah, Lizzy telah paham bahwa Noah adalah kebalikan Ian. Pangeran kedua itu sangat ramah, murah senyum, dan perhatian kepada siapa pun. Maka, sudah sewajarnya Noah menjenguk dan membawakan buah-buahan untuknya. Sudah wajar pula bila Noah memilih Lizzy untuk menemaninya pergi ke ibukota karena Noah belum memiliki teman. Sebagai satu-satunya orang luar istana yang usianya tidak jauh, wajar-wajar saja melihat Noah memilih Lizzy. Lizzy tahu itu, dia sangat paham. Tapi… “Senyumannya sangat hangat dan menyilaukan. Benar-benar menakutkan,” gumam Lizzy pelan, masih menutup mukanya. Lizzy berhenti menutup mukanya seraya berguling ke kanan, menghadap jendela. “Dia sama seperti Gideon, tapi lebih menyilaukan.” Lizzy menarik selimut hingga menutupi setengah wajahnya. Hampir menenggelamkan tubuhnya ke dalam selimut. Wajah Lizzy masih bersemu karena suara dan wajah Noah setia terngiang. Lizzy mencebik, sebal sendiri. Padahal ini bukan pertama kalinya dia diperlakukan sehangat itu oleh laki-laki. Gideon telah memerlakukannya lebih dari yang Noah lakukan hari ini. Jadi, tidak seharusnya Lizzy merasa seaneh ini. Peter juga memerlakukan Lizzy dengan baik. Meski tidak seramah Gideon dan Noah, Peter tetaplah baik bagi Lizzy. Justru, Peter lebih dari Gideon dan Noah. Ia tidak mengenal Lizzy sama sekali, tapi berkenan membantu Lizzy. Peter hanyalah orang biasa yang tahu jati diri Lizzy, tapi memerlakukan Lizzy selayaknya orang biasa. Bagi Lizzy, itu lebih baik, sangat baik. “Maafkan aku.” Lizzy tersentak sendiri dalam lamunannya. Tiba-tiba saja suara Ian mengusir suara Noah dari angan Lizzy. Suara datar Ian kala mengucapkan sepatah maaf yang begitu sederhana, namun penuh dengan sirat penyesalan. Lizzy mengerjapkan mata, tidak paham mengapa tiba-tiba teringat Ian di saat memikirkan laki-laki lain. “Untuk apa?” “Membentakmu.” Sampai detik ini, Lizzy masih tidak tahu apakah Ian sungguh meminta maaf. Gadis itu tidak melihat raut wajah Ian ketika meminta maaf sehingga sedikit meragukannya. Dari nada datarnya saja membuat Lizzy tidak yakin atas keseriusan Ian. Ditambah pula Ian menghalangi tatapan Lizzy. Tidak membolehkan gadis itu untuk melihat wajahnya selama meminta maaf, entah atas alasan apa. Jika Lizzy tidak melihat raut muka Ian, Lizzy tidak bisa memastikan keseriusan Ian. Bisa saja Ian tidak bersungguh-sungguh sehingga menutup mata Lizzy. Siapa tahu raut semacam apa yang Ian pasang selama meminta maaf, bukan?   Lizzy mengembuskan napas panjang. Dia bukan tipe yang meminta maaf, melainkan memberikannya. Tapi hari ini, dia… minta maaf padaku. Apakah itu serius? Lizzy mengalihkan netranya dari jendela ke setumpuk buku bacaan di nakas. Buku-buku yang menemani Ian selama menjaga Lizzy seharian. Kursi yang diduduki oleh lelaki itu kini kosong tidak berpenghuni. Ian tidak menemaninya setelah berjaga selama sehari penuh. Entahlah. Ian belum kembali sejak tiba-tiba pergi saat Noah dan Lizzy sedang berbincang. Lelaki itu tidak berkata apa-apa selain menyuruh Lizzy segera tidur dan berkata akan kembali ke kamar Lizzy. Lizzy tidak berpikir panjang. Lizzy tidak ingin bertanya lebih jauh dan hanya mengiyakan Ian. Ian pasti memiliki urusan lain yang perlu diurus meski sedang mengambil cuti.   Sampai detik ini, Ian tidak kunjung kembali. Padahal ia berkata seolah dirinya tidak akan pergi lama-lama. Lizzy menggeleng cukup keras, emosi sendiri. Kenapa aku terlalu memikirkannya. Bukankah ini yang seharusnya terjadi? Ya, inilah yang seharusnya terjadi. Justru aneh kalau pangeran bodoh itu kembali menemaniku. Aktingnya menemaniku seharian pasti sudah lebih dari cukup untuk mengelabuhi Raja dan Ratu. Tidak perlu memikirkannya terlalu jauh, Lizzy. Yang seharusnya kau pikirkan adalah kakak-kakakmu tidak ada yang menjenguk. Lizzy dengar Arthur telah berada di istana sejak subuh. Kakak tertuanya itu sungguh berada di istana sejak pagi buta, tapi tidak menjenguk Lizzy sama sekali. Memberi kabar kepada Lizzy saja tidak, apalagi menjenguknya. Seolah-olah kedatangan Arthur ke istana bukan untuk menjenguk adiknya, melainkan urusan pekerjaan dengan Marquis. Seharusnya Lizzy tidak berharap banyak terhadap kakak-kakaknya. Arthur dan Alice memang sering memberi peduli, namun tidak lebih dari sekedar peduli atas citra dan status Lizzy. Peduli karena hubungan sedarah? Jangan harap, mustahil. Terutama Theo, kakak yang paling tidak bisa diharapkan. Sudah tidak memedulikan Lizzy, membencinya pula. Lizzy bangkit berdiri, duduk di pinggir ranjang sambil mengusap mata yang tidak kunjung mengantuk. Dia merenggangkan otot-otot tubuhnya, merasakan persendian yang kaku mulai rileks. Dengan bibir menguap cukup lebar, Lizzy melangkah menuju pintu kamar. Hendak meminta segelas s**u madu hangat dengan harapan dapat memicu kantuknya. Tangan Lizzy tidak mampu menggapai gagang sehingga dia langsung mendorong pintu. Setelah pintu sedikit terdorong, Lizzy bersuara, “Hera? Kau di sana? Aku ingin segelas s**u madu.” Tidak ada jawaban dari Hera. Suasananya pun terlalu hening. Lizzy mengernyit dilanda bingung. Dia kembali berusaha mendorong pintu agar memberi celah yang cukup untuk melongok ke luar. “Hera?” panggil Lizzy sambil menyusupkan kepalanya ke luar. Kerutan keningnya semakin dalam melihat tidak ada siapa pun yang siaga di depan pintu kamarnya. “Huh? Ke mana semua orang?” “Kulihat kau melanggar jam tidurmu.” Lizzy hampir meloncat, kaget setengah mati mendengar suara Arthur. Dia segera menoleh ke kiri. Mata biru bercoraknya membulat menemukan figur jangkung Arthur berdiri tak jauh darinya. “Ka—kakak?” cicit Lizzy kaget. Arthur berhenti tepat di hadapan Lizzy. Sorot iris hijaunya menghunus tajam kepada Lizzy tanpa ampun. “Apa yang kau lakukan?” “Aku mencari Hera untuk dibawakan s—s**u madu,” jawab Lizzy sedikit terbata karena terlalu kaget melihat kemunculan mendadak Arthur. Alis Arthur naik sebelah. “Kau tidak bisa tidur?” Rasa merinding langsung menjalari tubuh mungil Lizzy. Dia sangat ingin menyangkal klaim Arthur. Tapi kemudian dia sadar bahwa tidak ada gunanya mengelabuhi Arthur. Jadi, kepala Lizzy mengangguk, mengiyakan. Arthur tidak memberi tanggapan. Pria jangkung itu hanya menatap Lizzy selama beberapa detik sebelum kemudian menoleh ke belakang. Tangannya memberi isyarat kepada seseorang yang tidak bisa Lizzy ketahui posisinya sangat pas-pasan dalam celah pintu. Usai berurusan dengan orang tak dikenal itu, Arthur menarik pintu kamar, membebaskan Lizzy dari ancaman terjepit daun pintu. Lizzy berdiri dengan canggung dan kikuk di hadapan Arthur. Tidak menduga Arthur akan membuka pintu. “Kembali ke ranjangmu,” perintah Arthur dingin seperti biasa. Lizzy mengangguk kecil dan langsung berbalik badan tanpa menanggapi. Lizzy masih begitu takut terhadap Arthur meski Arthur tidak pernah memerlakukannya secara kasar. Walau Arthur tidak pernah berlaku kasar ataupun menghina, Lizzy tetap saja merasa takut. Aura Arthur terlalu mengintimidasi. Lizzy berbaring di ranjang. Sudah hilang seleranya untuk mendapatkan segelas s**u madu hangat. Mau tidak mau, Lizzy harus berusaha menidurkan diri karena Arthur duduk di kursi sisi ranjang—kursi yang telah diduduki seharian oleh Ian. Entah apa niat Arthur dengan menduduki kursi tersebut, Lizzy tidak mau bertanya. Lizzy harus segera tidur. Arthur bersedekap dengan kaki melipat. Punggungnya bersandar pada kursi. Netra hijaunya lurus menatap adiknya yang memejamkan kelopak mata. Beberapa titik di wajah Lizzy menyorotkan ketakutan meski gadis itu berusaha berwajah senormal mungkin. Netra tajam Arthur masih dapat menangkap sorot-sorot tersebut. Sejak pertemuan pertama mereka, Arthur telah menyadari ketakutan Lizzy kepadanya. Tubuh adik bungsunya itu akan selalu sedikit gemetar cemas. Iris birunya akan selalu tidak fokus membalas tatapannya. Lizzy juga selalu berusaha menghindari interaksi dengannya. Tapi, Arthur tidak pernah berniat membuat hubungan mereka membaik. Bukan karena Arthur memang tidak memedulikan Lizzy, namun karena Arthur tidak tahu bagaimana caranya bersikap kepada adik senormal Lizzy. “Kudengar bocah itu menjagamu selama dua hari,” cetus Arthur tiba-tiba membuka obrolan membuat Lizzy kaget. Dengan raut kaget yang cukup berlebihan, Lizzy mengerjapkan mata seraya menanggapi, “Ya. Aku telah merepotkan pangeran sejak kemarin.” “Itu bukan kesalahanmu.” “Eh?” “Itu kesalahan mereka yang tidak berpikir panjang atas kondisimu. Singkatnya, mereka tidak perhatian padamu.” Secara spontan, kepala Lizzy menggeleng tidak setuju. “Bukan, mereka tidak tahu kondisiku. Terlebih, mereka adalah keluarga kerajaan, sudah pasti mereka disibukkan dengan urusan kerajaan. Perkara kecil seperti—“ “Kau adalah calon Putri Mahkota, Ratu, dan anggota keluarga kerajaan. Kau bukan perkara kecil,” sangkal Arthur dingin membuat Lizzy mengatupkan bibir tak sempat menyelesaikan kalimatnya. “Tapi, pangeran sudah bertanggungjawab dengan menjagaku selama dua hari.” “Tetap saja itu tidak dapat membenarkan kesalahan mereka. Berhenti membela bocah tengik itu.” Tanpa disadari, sorot mata Lizzy memancarkan ketidaksukaan. “Kakak tidak boleh memanggilnya seperti itu. Kita berada di istana kerajaan.” Lizzy mulai berpikir betapa tidak tahu dirinya Arthur saat ini. Arthur menjadi kakak tidak bertanggungjawab yang tidak segera menemui adiknya setelah menginjakkan kaki di istana. Sehari penuh Arthur berada di istana, tapi pria itu baru mengunjungi Lizzy ketika menjelang tengah malam. Dibandingkan dengan Ian, Ian sangat berjasa kepada Lizzy. Jadi, Arthur tidak berhak komplain ataupun menjelekkan Ian. Ingin sekali Lizzy mengutarakan pendapat tersebut, tapi dia sadar bahwa dia tidak memiliki nyali untuk melawan Arthur. Arthur memutuskan tatapannya dari iris biru Lizzy. Kini, menatap jendela. Posisi duduknya yang sejajar dengan Lizzy membuat Lizzy tidak dapat melihat wajahnya. Arthur cukup tahu apa yang baru saja Lizzy pikirkan tentangnya. Dan Arthur tidak punya komplain, dia menerimanya. Jika bersangkutan dengan keluarga kerajaan, Arthur akan selalu memusuhi mereka bahkan jika mereka tidak melakukan kesalahan apa pun. “Begitu. Kulihat hubunganmu dengannya berjalan lancar,” cetus Arthur tanpa mengalihkan diri dari jendela. Lizzy sedikit bingung melihat Arthur tiba-tiba menyinggung perkara tersebut. Mengabaikan seluruh kebingungannya, Lizzy menanggap seadanya. “Ya. Kami baik-baik saja.” “Setelah dahulu kau sangat tidak mau bertunangan dengannya dan memiliki kesan sebagai korban perjodohan paksa, sekarang kau menjalaninya dengan lancar,” ledek Arthur dengan seringai kecil tersungging di bibirnya yang cukup tebal. Lizzy tidak mengerti maksud dari “lancar” yang Arthur katakan. Hubungannya dengan Ian berawal sangat buruk. Selanjutnya, penuh kebohongan dan akting menyesakkan. Tidak ada yang bagus dalam hubungan mereka. Lancar yang ada dalam hubungan mereka adalah lancar membohongi semua orang. Dalam sudut pandang Arthur, “lancar” yang ia maksud pasti bermaksud positif. Jadi, Lizzy mengiyakannya. “Ya, syukurlah semuanya berjalan baik.” Diam-diam, Arthur mendecak pelan. “Jadi, sekarang kau ingin menjadi seorang Ratu, huh?”    “Bukan ingin,” sangkal Lizzy, berwajah heran karena pertanyaan Arthur, “tapi kewajiban yang harus kupenuhi.” “Aku tahu dulu kau sangat menentangnya dan ingin melarikan diri. Apa yang membuatmu berubah pikiran secepat ini?” “Aku tidak berubah pikiran, saat itu aku masih egois dan pengecut. Aku paham posisi berat yang menungguku dan aku cukup menerimanya, tapi aku terlalu takut.” Arthur mendengus pelan. “Omong kosong.” Meski gumam hujatan Arthur nyaris sepelan bisikan, gendang telinga Lizzy masih mampu menangkapnya. Lizzy mencebik kesal dibuatnya. Mulai tidak habis pikir melihat ambiguitas Arthur. Sudah cukup Lizzy dibuat pusing oleh keanehan Ian, jangan ditambah lagi dengan Arthur. “Besok pagi aku akan pergi,” ujar Arthur kembali menyambung percakapan. “Pergi? Ke mana?” “Pennsylvania.” Lizzy terdiam, sedikit melongo selama beberapa detik sebelum melempar pertanyaan. “Kakak akan menemui tunangan kakak?” Pertanyaan polos Lizzy membuat Arthur langsung menoleh dengan sorot tertajamnya. Sangat tidak menyukai gagasan kesimpulan yang gadis itu lontarkan. Arthur tidak menyangka pikiran adiknya akan mengarah ke sana. Sudah cukup Arthur dicekoki oleh Charles perkara pertunangan bodoh itu, jangan ditambah lagi.   “Kenapa kau menyimpulkannya ke sana, huh?” tanya Arthur tajam, menciutkan Lizzy. “Ah, maafkan aku. Aku… spontan,” sahut Lizzy menciut, tubuhnya semakin tenggelam ke dalam selimut demi menghindari aura dan tatapan mengerikan Arthur. “Aku ingat Nona Rothbason merupakan perempuan bangsawan terbaik di Pennsylvania. Jadi, kupikir… begitu. Maaf.” Arthur melengos cukup kasar, membuat Lizzy panik sesaat. “Tidurlah. Pikiranmu tidak tenang.” “A—Ah, iya, baiklah,” sahut Lizzy terlalu kikuk akibat dikuasai secuil panik karena lengos kasar Arthur. Dalam sekejap, Arthur meninggalkan Lizzy begitu saja. Tanpa ucapan pengantar tidur, nasihat, maupun perhatian sebagai saudara kandung. Meninggalkan Lizzy dengan sekian heran atas sikap Arthur yang baginya cukup aneh. Pada dasarnya, Arthur tidak begitu memedulikan pertunangannya dengan Ian. Bahkan Arthur tidak pernah memberi perhatian atas hidup Lizzy. Jarang sekali pria itu membicarakan kehidupan Lizzy. Tapi kini tiba-tiba saja Arthur peduli. Entah mengapa, membuat firasat Lizzy sedikit tidak enak. TO BE CONTINUED Spesial double update karena besok saturday nite! :>
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD