BAB 61

2085 Words
“Baik, Anda telah sembuh, Nona,” ujar Dokter Damaresh usai memeriksa kondisi Lizzy. “Tapi, tolong Anda jangan terlalu berlama-lama di suhu dingin lagi. Metabolisme Anda tergolong lemah daripada manusia pada umumnya, jadi jika Anda kembali terpapar terlalu lama, Anda akan kembali jatuh sakit.” Lizzy mengangguk. “Saya akan mengingatnya, Dokter. Terima kasih banyak.” Ian mengembuskan napas lega melihat Lizzy telah pulih. Ian duduk di sisi kiri Lizzy sambil menyentuh tangan kiri gadis itu. Memamerkan kontak fisik penuh perhatian kepada seluruh pelayan, pengawal Ian, ksatria Gilbert, tim dokter istana, Johan, dan Hera. Semata-mata demi menjaga citranya dan Lizzy sebagai sepasang tunangan. Ian melengos pelan seraya menoleh ke Lizzy. “Elizabeth.” Lizzy menoleh. “Ada apa, Yang Mulia?” “Karena kau sudah sehat, ingin sarapan di luar?” “Di luar?” “Ya. Cuacanya cerah dan cukup hangat. Aman untukmu.” Bibir Lizzy sedikit menipis, angannya menimbang-nimbang ajakan Ian. Mata biru bercoraknya melirik jendela. Benar kata Ian. Pagi ini cuacanya cerah, tidak ada salju yang turun. Udaranya pun tidak begitu dingin. Mungkin ajakan Ian menjadi ide bagus untuk Lizzy. Lagipula, Lizzy cukup bosan berada di kamar selama memulihkan diri. Lizzy kembali menoleh ke Ian. Mengangguk kecil diiringi senyuman manis. “Jika kau tidak keberatan denganku, kuterima dengan senang hati.” Ian menyeringai kecil. “Bersiaplah. Kutunggu di depan.” Sebelum berdiri, Ian mengetuk kening Lizzy dua kali menggunakan jari telunjuknya. Spontan saja membuat gadis itu menatap penuh kebingungan dan langsung meraba keningnya, berpikir ada yang salah di sana. Ian masih menyeringai usai mengetuk kening Lizzy, tidak berkata apa-apa. Lantas kemudian menyingkir dari kamar Lizzy. Meninggalkan sejuta pertanyaan dalam benak Lizzy. Ian pergi diikuti oleh tim dokter, ksatria Gilbert, para pelayan, pengawal pribadinya, serta Johan. Menyisakan beberapa pelayan dan Hera yang menetap untuk menyiapkan Lizzy. “Apa-apaan itu tadi?” gumam Lizzy bingung dengan masih mengelus area yang diketuk oleh jari telunjuk Ian. Lizzy mendengus pelan, “Kenapa dia semakin aneh?” Hera menghampiri Lizzy, berdiri di hadapan nona mudanya. “Nona, air hangatnya telah siap. Untuk hari ini, Anda ingin mengenakan gaun berwarna apa?” Lizzy turun dari ranjang. Dia menatap tiga gaun yang digenggam oleh pelayan. Dari ketiga gaun tersebut, ada satu gaun berwarna putih dengan sentuhan warna merah. Lizzy jadi ingat jas panjang berwarna merah yang selalu tersampir di pundak Ian. Dari pertemuan pertama sampai hari ini, jas itu tidak pernah absen dari pundak Ian. “Yang itu,” ujar Lizzy sambil menunjuk gaun putih-merah yang menarik perhatiannya. Hera dan para pelayan membungkuk. “Dimengerti.” Di lain sisi, Ian berdiri di salah satu jendela lorong. Memerhatikan taman bunga Istana Ratu yang terlihat dari tempatnya berdiri. Pangeran Mahkota itu bersedekap tanpa bersuara ditemani oleh Johan dan keempat pengawalnya. Wajah tampan Ian tidak menunjukkan ekspresi apa-apa, seperti biasa. Tapi, Johan dan pengawal Ian dapat menyadari adanya sorot yang menyiratkan emosi di sana. Ian masih teringat adegan tidak mengenakkan kemarin malam. Adegan yang entah mengapa begitu tidak enak dipandang. Adegan yang membuat Ian pergi dari kamar Lizzy dan berakhir di ruang kerja yang telah dia tinggalkan selama dua hari. Adegan yang membuat Ian hampir tidak tidur semalam penuh karena tersiksa oleh gejolak amarah. Adegan Noah dan Lizzy berbincang satu sama lain. Jujur saja, Ian masih tidak tahu mengapa dia jadi semarah itu hanya karena melihat Noah dan Lizzy berbincang riang. Rasanya dia tidak terima melihat keduanya saling bertukar senyum dan tertawa bersama. Tentu saja bagi Ian itu sangat aneh. Mengapa pula dia merasa tidak suka dan tidak terima? Apa yang salah dari Noah dan Lizzy berhubungan baik? Wajar bagi Noah untuk memerlakukan Lizzy demikian karena mereka akan menjadi satu keluarga, bukan? Tidak, bahkan jika alasannya seperti itu, Ian tetap tidak suka. Ian tidak ingin Lizzy berhubungan dengan Noah. Noah tidak boleh mendekati Lizzy. Ian mulai di luar akal sehatnya sendiri. Apa sih yang kupikirkan? Semalam aku sudah sepakat bahwa itu semua efek dari kurang istirahat sampai jadi berpikir aneh-aneh. Hentikan omong kosong ini, Ivander de Bloich, batin Ian merasa sedikit stres. “Yang Mulia, apakah Anda baik-baik saja? Anda tampak sedikit pucat,” tanya Johan menarik Ian dari lamunannya. Ian mendecak pelan, mengenyahkan beban pikirannya. “Aku baik-baik saja.” “Benarkah? Jika Anda merasa sedikit tidak sehat, tolong jangan ditahan. Anda telah menjaga Nona Gilbert selama dua hari, kemungkinannya besar bagi Anda tertular demamnya.” “Tidak, aku baik-baik saja.” “Yang Mulia, jika boleh tahu, Anda ingin mengajak Nona Gilbert sarapan di mana?” tanya Ben mengubah topik karena menyadari Ian akan tetap kukuh pada pendiriannya. “Rumah kaca,” jawab Ian seadanya. Jawaban Ian membuat Johan dan pengawalnya melongo kaget. Tidak menduga sama sekali. Mereka pikir Ian akan mengajak Lizzy sarapan di taman bunga Istana Ratu. Sebab tidak ada area luar di istana yang disukai oleh Ian selain taman tersebut. Lebih-lebih rumah kaca. Ian tidak pernah menginjakkan kakinya di sana. Rumah kaca berada di Istana Ruby, area bagi selir kerajaan. Istana itu telah kosong sejak masa pemerintahan Alexander de Bloich, kakak kandung Marquis. Selepas Izekiel de Bloich—ayah Alexander dan Marquis—tiada, para selir angkat kaki dari Istana Ruby karena mereka tidak melahirkan satu pun keturunan beliau. Setelah itu, tidak ada lagi wanita yang terpilih menjadi selir kerajaan. Baik Alexander maupun Marquis sama-sama tidak mengangkat seorang selir. Menyebabkan kekosongan penghuni di Istana Ruby. Ian tidak membenci Istana Ruby. Dia hanya malas pergi ke sana karena cukup jauh dari Istana Emerald. Bahkan lebih jauh dari jarak antara Istana Emerald dan Istana Sapphire. Seakan menjadi area yang terisolasi. Satu-satunya hal menarik di Istana Ruby adalah keberadaan rumah kaca. Ian tidak pernah pergi ke sana, hanya mengetahui. Ian dengar rumah kaca itu sangat indah dan nyaman. Ian pikir rumah kaca adalah satu-satunya area luar di istana yang paling aman untuk Lizzy. Lizzy tidak akan langsung terpapar udara dingin karena terlindungi oleh atap dan dinding kaca. Jadi, akan menjadi ide bagus untuk mengajak Lizzy sarapan di sana. “Rumah kaca itu berarti… Anda akan pergi ke Istana Ruby?” tanya Ben syok, terlalu syok. Ian berdehem mengiyakan. “Ya.” “Anda yakin?” Ian mendecak pelan, kini menoleh ke belakang untuk menatap Ben. “Apa masalahnya?” Ben dan Dale terkesiap kaku di tempat. Keduanya berusaha tetap tegak, tapi tetap saja tak mampu menyembunyikan gemetar takut yang menggerayangi sekujur tubuh mereka. Keanehan mereka tidak luput dari mata merah Ian. “Apa?” tanya Ian heran. Ben dan Dale saling melirik serta menyikut satu sama lain seolah angan mereka sedang bertelepati, “Kau yang jawab! Jangan aku! Kau yang memulai!” Chester dan Chloe melengos lelah melihat kebodohan rekan mereka. Akhirnya, lagi-lagi Chester yang mengalah. “Tidak ada masalah, Yang Mulia. Ben dan Dale hanya terlalu berlebihan jika menyangkut Istana Ruby.” Ucapan Chester membuatnya mendapat pelotot tak terima dari Ben dan Dale. Dua anak itu kompak protes tidak terima. “Kami tidak berlebihan. Kami memang sering mendengar dan pernah menjadi saksi langsung!” cetus Ben membela diri diikuti anggukan Dale. Chloe memutar bola mata kuningnya, jengah. “Itu semua hanya bualan para pelayan dan yang kalian saksikan hanyalah halusinasi berlebihan.” Dale menoleh ke Chloe, menggeram kesal. “Kami benar-benar melihatnya! Itu bukan halusinasi! Istana Ruby telah menjadi penghuni para hantu, tidak sedikit pelayan dan ksatria istana yang mengalami hal mengerikan di sana!” Ian dan Johan melengos lelah melihat keributan Ben dan Dale. Sama-sama memahami betapa paranoidnya mereka terhadap Istana Ruby setelah tiga tahun lalu berkata telah melihat penampakan di sana. Ian tidak akan berkomentar apa-apa tentang rumor penghuni tak kasat mata Istana Ruby. Bisa saja apa yang dialami pekerja istana itu benar, bukan halusinasi. Bisa pula tidak, hanya halusinasi. Bagi Ian yang telah bertemu langsung dengan roh Elliana de Gilbert, Ian tidak ingin berkomentar atas Istana Ruby. “Yang Mulia, maaf telah membuatmu menunggu lama.” Ben dan Dale berhenti berdebat dengan Chester dan Chloe kala mendengar suara lembut Lizzy. Para pengawal itu langsung sigap siaga di samping Johan lalu membungkuk hormat kepada Lizzy yang datang ditemani Hera dan Caesar. Ian maju mendekati Lizzy. Secara spontan iris merahnya memindai penampilan Lizzy. Gadis itu mengenakan gaun putih dengan sentuhan warna merah yang panjangnya mencapai sebatas lutut. Potongan gaunnya memamerkan tulang selangka Lizzy. Heels merah dengan renda pita putih melingkari pergelangan kaki Lizzy. Menyokong tinggi badan gadis itu jadi naik beberapa inci. Rambut panjang Lizzy terurai indah. Topi fedora putih menaungi puncak kepalanya. Mempermanis penampilan Lizzy. Ian, seorang laki-laki normal, mengakui kecantikan Lizzy. “Kau cantik,” puji Ian seraya mengulurkan tangan kanannya kepada Lizzy, “bolehkah laki-laki biasa sepertiku menemanimu yang secantik ini?” Puji dan rayuan manis Ian menggegerkan orang-orang di sekitarnya. Ben dan Dale melotot syok, begitu pula Chester, Chloe, dan Johan. Seumur hidup mereka, mereka tidak pernah melihat Ian semanis itu terhadap perempuan. Ayolah, bahkan membayangkannya saja terasa sangat mustahil, tidak terbayangkan. Lizzy, bertindak sebagai tunangan Ian, tersenyum manis sambil menerima uluran tangan lelaki itu. “Terima kasih, tapi kau terlalu merendah. Kau sangat tampan, Yang Mulia.” Ucapannya sangat lancar seolah terbiasa, padahal mati-matian Lizzy berusaha memertahankan sikap tenangnya. Itu adalah pertama kalinya dia memuji laki-laki lain, tentu saja tidak mudah. Wajah Lizzy seolah akan meledak karena sensasi malu yang menjalar kedua pipinya. Ian menggandeng tangan Lizzy, menariknya mendekat. Seringai terpasang di wajah tampannya. “Oh, sungguh? Aku tersanjung menerima pujian dari gadis secantik dirimu.” Lizzy terkekeh lembut. “Berhentilah, Yang Mulia. Kau membuatku malu di depan semua orang.” Lizzy mengatakannya seolah dia tidak malu, padahal kalimatnya itu sungguhan! Lizzy malu! Ah, Lizzy ingin melompat ke lubang dunia agar terhindar dari tatapan orang-orang sekarang! “Baiklah. Maafkan aku, tunanganku,” ujar Ian tanpa melepaskan seringainya seraya mulai melangkah bersama Lizzy. Diam-diam, dia puas melihat betapa malunya gadis itu sekarang. *** Mata biru Lizzy berbinar melihat taman bunga dan air mancur yang dinaungi oleh rumah kaca. Bunga hyacinth mekar indah dalam berbagai warna. Bunga-bunga itu memang tetap mekar di musim dingin, tidak terhalau sama sekali. Bagi Lizzy, menanam bunga hyacinth di dalam rumah kaca merupakan ide cemerlang. Area terbagus untuk menghabiskan waktu selama musim dingin sambil menikmati bunga hyacinth yang bermekaran. Rasanya jadi seperti tidak sedang melalui musim dingin. Ian dan Lizzy duduk di meja teh yang berada di ujung jalan dalam rumah kaca. Meja teh itu sejalur dengan jalan setapak. Dari meja, dapat terlihat air mancur bundar yang berada di tengah-tengah rumah kaca dikelilingi oleh kotak bunga hyacinth. Cahaya emas dari lampu pun menyinari seisi rumah kaca. Menambah keeleganan ruangan. Pemandangan yang indah. “Aku tidak menyangka bunga hyacinth ditanam di rumah kaca,” ujar Lizzy senang, tidak kunjung berpaling dari bebungaan hyacinth di sekitarnya. Ian menyesap tehnya sejenak sebelum menyahut, “Mereka tetap mekar di musim dingin. Pilihan yang tepat untuk ditanam di rumah kaca.” Lizzy mengangguk riang. “Benar. Kenapa tidak terpikirkan olehku? Bunga hyacinth di kediaman Gilbert ditanam bebas di taman. Walau mekar, salju menghalau mereka.” Tangan Lizzy terulur hendak mengambil selembar roti panggang. Akan tetapi, tangannya kalah cepat dari tangan Ian. Lizzy sedikit tersentak lantas menoleh ke Ian yang telah mengambil jatah rotinya. Ian cuek-cuek saja, kini sibuk mengoleskan mentega pada roti yang sebelumnya ingin Lizzy ambil. “Mungkin kau harus mengajukan pembangunan rumah kaca kepada kakakmu,” ujar Ian datar, tampaknya tidak menyadari dirinya telah merebut roti Lizzy. Lizzy mengangguk canggung tanpa dia sadari saking merasa bingung melihat Ian merebut jatah rotinya. “Ya, sepertinya itu ide yang bagus.” Ian berhenti mengoles mentega. Dia menoleh ke Lizzy sambil menunjukkan roti panggang tersebut. “Segini cukup?” “Eh?” sahut Lizzy tak paham. “Menteganya. Apakah bagimu kurang?” Wajah bingung Lizzy memudar usai memahami maksud Ian tiba-tiba mengambil jatah rotinya. Lizzy mengangguk, tak lupa tersenyum. “Cukup. Terima kasih banyak, Yang Mulia.” Ian memberikan roti panggang Lizzy yang telah dia oleskan mentega. Lizzy menerimanya dengan senang hati, walau sedikit sungkan juga. Lagi-lagi Ian bersikap perhatian walau tidak ada orang di sekitar mereka. Bagi Lizzy, rasa-rasanya Ian sedikit berlebihan berakting. “Kudengar Damaresh belum mengizinkanmu makan makanan manis,” celetuk Ian di sela menyantap oatmeal. Lizzy mengangguk kecil di sela mengunyah roti. Usai menelannya, Lizzy menanggapi. “Ya. Dokter bilang aku baru saja pulih, langsung makan makanan manis tidak baik. Aku harus banyak melahap makanan berprotein dan buah-buahan.” “Buah-buahan, huh,” beo Ian mengulangi ucapan Lizzy membuat gadis itu menatapnya. “Apa pun tidak apa-apa selama ada buah di dalamnya, bukan?” Kepala Lizzy sedikit miring ke kanan dengan alis naik sebelah, tidak mengerti maksud Ian. “Mungkin?” “Ada restoran enak yang menyajikan parfait di ibukota.” “Ya?” Ian mendongak, membalas tatapan Lizzy. “Ada restoran enak yang menyajikan parfait di ibukota.” Lizzy dibuat semakin bingung melihat Ian malah mengulangi kalimatnya, bukan menjelaskan maksudnya. Ian melengos pelan, kini sepenuhnya sadar betapa lelet dan tidak pekanya Lizzy. “Maukah gadis secantik dirimu kutemani ke restoran itu?” Tubuh Lizzy kaku di tempat. Kehabisan kata-kata dan suara. Pikirannya pun mendadak kosong melompong, otaknya berhenti berjalan. Lizzy cukup melongo menatap wajah datar Ian. Ajakan Ian berputar sekaligus menggema keras dalam kepalanya bagaikan hantu teror. “Apa?” adalah satu-satunya respon Lizzy. Saking tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar.    TO BE CONTINUED Maaf gengs sedikit telat, lagi sarapan, hehe. Happy weekend for us!      
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD