“Kau tidak akan menjenguk anak-anak?”
“Tidak. Investigasi tim Albern sudah mendapatkan sedikit kemajuan.”
Marquis melengos. “Sekali-sekali beristirahatlah. Kau terlalu memforsir dirimu.”
Victorique ikut melengos. “Bagaimana bisa aku diam saja di sini sementara anak-anak tidak berdosa itu entah seburuk apa penderitaannya.”
Marquis merebahkan diri di sofa usai meletakkan cangkir di meja. Raja Ophelia itu berniat mengajak istrinya untuk menjenguk Lizzy. Berhubung sejak kemarin mereka tidak mengunjungi calon menantu mereka sama sekali, kini ada sedikit kesempatan untuk mengunjunginya. Memang sedikit khawatir, tapi mendengar Ian senantiasa di samping Lizzy membuat Marquis dan Victorique sedikit tenang.
Walau di saat yang bersamaan, mereka juga meragukan Ian.
Ian tidak mungkin bersikap baik kepada perempuan.
“Kudengar, sekarang Noah sedang menjenguk Lizzy,” celetuk Victorique di sela membaca laporan investigasi tim Brigadir Jenderal Albern, mengagetkan suaminya yang sedang rebahan.
Kening Marquis spontan mengernyit dalam, terkejut. “Apa? Noah?”
“Ya. Dia menjenguk Lizzy, sekarang.”
“Kau yakin?”
“Yakin. Ronald memberitahuku.”
Marquis bangkit, menoleh ke istrinya. “Setelah sekian lama dia tidak melanggar laranganku, kenapa baru sekarang?”
Victorique melengos pelan. “Entahlah. Aku juga bingung. Mungkin dia terlalu mengkhawatirkan Lizzy sampai-sampai mengabaikan laranganmu.”
“Ini tidak baik,” decak Marquis cukup kesal, “tidak ada yang berpapasan dengannya, bukan?”
“Kuharap begitu. Ronald tidak menginformasikan perkara itu. Noah datang secara mendadak sehingga tidak ada yang mengawalnya.”
Marquis mendecak. “Tampaknya pengawasan di Istana Sapphire harus diperketat secara maksimal.”
Victorique langsung menoleh, teralihkan dari laporan. “Kita sudah membicarakannya, Marquis. Kau tidak akan melakukannya.”
“Sayang, pertimbangkan resikonya. Aku juga berusaha menghindari keputusan itu, tapi Noah yang penurut dan tidak membangkang, tiba-tiba saja melanggar aturan. Sudah dipastikan akan ada pelanggaran-pelanggaran berikutnya.”
“Kau tidak akan memberi kesan mengisolasi dirinya, Marquis. Aku tahu kekhawatiranmu, tapi keputusan itu terlalu berat dan tidak adil bagi Noah.”
Marquis menghela napas panjang. “Dia akan mengerti, sayang.”
“Ya, tapi sekarang bukan saat yang tepat. Setidaknya, tunggu sampai dia berumur dua belas tahun.”
“Lalu membiarkannya melanggar peraturanku lagi sampai berpapasan dengan anggota faksi? Aku tidak suka bertaruh pada taruhan tinggi.”
“Maaf saja karena aku melahirkan dua putra.”
Sadar bahwa dirinya telah menginjak ranjau kecil, Marquis bangkit berdiri, melangkah menghampiri istrinya yang sudah mengeluarkan aura tidak mengenakkan.
Marquis berdehem, meredakan tenggorokannya yang tiba-tiba terasa kering. “Sayang, bukan itu maksudku. Aku hanya—“
“Ya, ya, aku tahu. Seharusnya aku melahirkan seorang putri, namun malah seorang putra. Mengundang petaka, bukan?” sahut Victorique datar, benar-benar datar. Menusuk d**a Marquis dengan kengerian yang nyata. “Kau juga menginginkan anak perempuan, tapi yang lahir justru laki-laki lagi. Aku ingat betapa redupnya wajahmu ketika menggendong Noah yang masih merah. Aku paham, sa-yang.”
Penekanan nada bicara Victorique membuat Marquis semakin bergidik.
“Memang benar saat itu aku sangat mengharapkan kelahiran seorang putri. Tapi, aku tidak menyalahkanmu. Ayolah, kita sudah sepakat, bukan?” bujuk Marquis bersamaa dengan kakinya berhenti di depan meja kerja Victorique.
Victorique menghela napas panjang, memilih tidak memermanjang perdebatan sepele. “Biarkan saja Noah untuk hari ini. Aku yakin dia tidak berpapasan dengan siapa pun. Dan kau tidak akan mengetatkan pengawasan Istana Sapphire sampai Noah berumur 12 tahun.”
“Baiklah, aku mengerti,” Marquis tersenyum tipis seraya berbalik badan hendak kembali rebahan di sofa. “Jadi, bagaimana investigasi Albern? Mereka sudah menemukan sesuatu?”
“Mereka menemukan petunjuk keterlibatan Duke Grissham dan Count Flow dalam kasus Felsham. Duke dan Count termasuk ke dalam daftar tamu tetap yang mengikuti berbagai pelelangan di dunia hitam. Arthur mengonfirmasinya. Tapi ini masih jauh dari harapan.”
Marquis manggut-manggut, mendudukkan diri di sofa. “Dunia hitam Ophelia memang mengasyikkan. Banyak sekali pelelangan yang terjadi di sana. Tampaknya, muncul pelelangan baru yang tidak terendus olehku.”
“Aku juga berpikir begitu. Kudengar pelelangan b***k, organ manusia, dan manusia hanya terjadi di Kerajaan Astana, Basseterre, Pennsylvania, Lusaka, dan Viennata, tapi sepertinya pelelangan itu mulai menginjakkan kaki di Ophelia.”
Marquis menghela napas panjang sambil merebahkan diri, merasa lelah. “Arthur tidak mau turun tangan. Seperti biasa semakin hari dia semakin melunjak padaku. Jika pelelangan semacam itu ada, berarti dia membiarkannya terjadi, bahkan mengizinkannya.”
“Atau mungkin pelelangan itu berkamuflase.”
“Ya, tampaknya begitu.”
Victorique menopang rahang. “Korban semakin meningkat meski aku telah mengerahkan tim Damarion untuk membantu pengamanan. Aku tidak habis pikir dengan mereka. Terlalu lihai.”
“Belum ada pergerakan yang signifikan dari Duke Grissham usai kehilangan investor dan sumber pemasukannya. Count Flow mulai kehilangan investor sejak Ian berhenti menyokongnya. Tidak ada yang aneh dari Count Jefford, dia hidup dalam damai. Tampaknya, kasus ini akan berjalan panjang.”
Victorique juga merasa demikian. Kasus Felsham ini menjadi kasus terumit yang menimpa kerajaan selama Victorique menjabat sebagai Ratu. Setelah 25 tahun menjadi Ratu, kasus Felsham merupakan kasus terumit yang ditangani Victorique. Tentu saja kasus penculikan bukanlah kasus pertama yang menimpa kerajaan, namun kasus kali ini sangat rumit dan memusingkan kepala.
Seharusnya Victorique berpikir dua kali untuk menolong Ian.
***
Untuk pertama kali dalam hidupnya, Ian merasa sangat kesal terhadap Noah, lagi-lagi entah mengapa. Sejak kedatangan Noah, perasaan tidak suka bergumul dalam d**a Ian. Mencubitnya berkali-kali hingga Ian merasa ingin meledakkannya keluar. Ian tidak mengerti. Padahal Noah hanya menjenguk Lizzy selayaknya keluarga yang perhatian. Tapi, Ian tidak suka.
Sungguh tidak suka!
“Wah, Anda telah menguasai teknik berpedang dan beberapa bela diri? Hebat sekali,” puji Lizzy takjub kepada Noah.
“Tapi, itu masih belum seberapa. Masih banyak yang belum kupelajari dan kukuasai. Jalanku masih panjang untuk disebut ahli,” elak Noah penuh rendah hati dan senyum hangat.
Lizzy sedikit terkekeh. “Bagi saya, Anda sangat hebat. Bila dibandingkan dengan saya, Anda jauh lebih hebat.”
“Jangan membandingkannya dengan perempuan, Nona Gilbert. Untuk perkara ini, perbandingannya adalah dengan sesama lelaki.”
“Ah, benar juga. Harga diri pria, benar?”
“Benar.”
Lalu Noah dan Lizzy tertawa kecil. Semakin menghidupkan suasana di antara mereka, penuh dengan bunga-bunga. Berbanding terbalik dengan suasana di balik punggung Lizzy. Penuh kesuraman dan aura mencekam yang anehnya tidak dirasakan oleh Lizzy, namun dirasakan oleh Noah. Noah sangat menyadari betapa gelapnya aura di belakang Lizzy. Sampai-sampai Noah berusaha menghindarinya.
“Saya dengar, Anda menyukai seni. Baik itu lukisan, pahatan, maupun musik. Apakah Yang Mulia pernah pergi ke kota? Saya menemukan toko seni terbaik di Ophele. Mungkin cocok untuk Anda.”
Noah menggeleng pelan. “Aku belum pernah keluar dari istana, tapi aku tahu toko seni yang kau maksud. Memang benar aku sangat tertarik untuk mengunjunginya. Tapi, aku sangat sibuk.”
Sibuk, huh? Lucu sekali, hujat Ian dalam hati.
Wajah Lizzy sedikit redup. “Ah, maafkan saya.”
“Tidak apa-apa, kau tidak salah. Kau tidak perlu meminta maaf,” senyum Noah melebar. “Jika kau berkenan, maukah kau menemaniku mengunjungi toko seni itu?”
Ian dan Lizzy kompak membulatkan mata kepada Noah. Ian yang telah mati-matian menahan diri dengan fokus ke kisah Sophie, kini tak mampu membendung diri karena ajakan dadakan Noah kepada Lizzy. Di lain sisi, Lizzy terlalu kaget mendengar ajakan Noah. Lizzy tidak bermaksud apa-apa selain menginformasikan adanya toko seni bagus di ibukota. Tetapi tak disangka, Noah justru mengajaknya pergi ke sana!
“Tentu saja tidak sekarang. Kau masih sakit dan aku belum memiliki kesempatan senggang,” ujar Noah kemudian, mengabaikan wajah menyeramkan Ian.
Lizzy mengerjap cepat, panik. “A—Ah, tentu saja, saya mengerti. Sebuah kehormatan bagi saya untuk mendapat kepercayaan menemani Anda. Tapi, apakah Anda yakin?”
Noah mengangguk, senyumnya semakin menyilaukan. “Tentu saja. Aku tidak memiliki teman dan aku tidak ingin mengganggu kesibukan kakak. Kau adalah orang yang tepat untuk menemaniku. Kau juga tahu toko itu. Sepertinya akan menyenangkan.”
Tanpa disadari oleh Ian, tangan kanannya telah mengepal sangat kuat. Amarah yang bergumul dalam dadanya pun semakin menumpuk dan seolah akan meledak kapan saja. Lagi-lagi dia merasakan emosi tanpa alasan yang jelas. Membuatnya semakin tidak mengerti. Sejak kapan Ian jadi mudah emosi seperti ini? Ian selalu tenang dan punya kendali atas dirinya. Ian bukanlah orang yang mudah emosi begini.
Tapi faktanya sekarang Ian kembali emosi tanpa alasan jelas. Lama-lama ini membuat Ian mengingat ucapan Chester.
“Anda cemburu.”
Ian menggertakkan gigi, lantas berdiri secara kasar. Suara decit kursi mengagetkan Noah dan Lizzy. Keduanya menoleh ke Ian yang tiba-tiba berdiri sambil menyampirkan jas panjangnya di pundak.
“Kakak, ada apa?” tanya Noah bersahabat dengan senyum menyilaukannya.
Ian tidak menjawab. Lelaki itu melangkah tanpa menoleh ke Noah maupun Lizzy, mengabaikan. Dia sadar bagaimana raut wajahnya sekarang. Jika Ian menoleh ke Lizzy dengan raut seperti itu, entah apa yang akan gadis itu pikirkan. Maka, Ian tidak menoleh.
“Karena kau sudah meminum obatmu, cepatlah tidur,” ujar Ian kepada Lizzy dalam langkahnya menuju pintu.
Lizzy mengamati Ian dengan sorot bingung. Namun, dia mengangguk. “Aku mengerti.”
Ian meraih pintu. Hidungnya menarik napas panjang, menahannya sejenak, lalu mengembuskannya perlahan. “Aku akan kembali.”
“Baik,” sahut Lizzy polos.
Tanpa menoleh ke belakang, Ian keluar dari unit kesehatan. Napasnya masih memburu meski sebelumnya telah berusaha menenangkan diri. Ian mendecak pelan, kakinya kembali melangkah. Mengabaikan pengawal serta Johan yang setia siaga di depan pintu unit kesehatan.
“Yang Mulia? Anda ingin ke mana?” tanya Johan seraya melangkah menyusul Ian yang tidak berkata apa pun diikuti oleh empat pengawal cilik.
Ian memasukkan kedua tangannya ke saku celana. Lagi-lagi bibirnya mendecak ketika merasakan angin menerpanya. “Jangan mengikutiku. Tetap berjaga di sana.”
Johan mengernyit, tidak ingin meninggalkan Ian sendirian tanpa pengawalan. “Tapi, Yang Mulia, setidaknya ada satu orang yang mengawal Anda.”
“Kubilang jangan mengikutiku,” desis Ian tajam penuh penekanan mutlak, membuat Johan dan para pengawal berhenti melangkah dalam sekejap. Terpaksa patuh.
Ben dan Dale menatap punggung Ian menjauh dengan sorot takut. Bertanya-tanya apa yang sebenarnya telah terjadi pada Ian hingga pangeran itu jadi semenakutkan itu.
“Bagaimana, Chester?” tanya Chloe meminta keputusan. Sangat tidak ingin membiarkan Ian sendirian meski itulah yang diminta oleh Ian.
Chester melengos pelan. “Kita tidak punya pilihan.”
“Kau serius, Chester? Bagaimana kalau terjadi sesuatu padanya?” tanya Ben memprotes.
“Tidak akan ada yang terjadi. Seisi istana sangat aman, ada ksatria kudus di titik-titik rawan. Yang Mulia tidak akan pergi jauh,” jawab Chester yakin.
Dale bersedekap, berpikir keras. “Kira-kira apa yang telah terjadi, ya? Tiba-tiba dia semarah itu.”
Johan menghela napas panjang. “Pikirkan belakangan, anak-anak. Kembalilah berjaga di kamar Nona Gilbert.”
Meski dirundung bingung, mereka mematuhi Johan. Melangkah kembali ke unit kesehatan sambil memikirkan alasan atas keanehan Ian. Walau tidak seluruhnya. Ada satu orang yang sudah menebak apa yang dirasakan oleh Ian beserta kemungkinan penyebabnya.
Chester melengos. Jika dia masih menyangkal setelah merasakan hal yang sama dua kali, aku tidak tahu lagi seberapa keras kepalanya dia.
TO BE CONTINUED
Awas kalian yang tim #IANLIZZY tiba-tiba oleng ke #NOAHLIZZY :>