BAB 52

1773 Words
“Akhirnya kau datang juga.” “Di mana Lizzy?” Marquis mengembuskan napas pelan. “Unit kesehatan. Dia baik-baik saja.” “Aku tahu,” Arthur mendengus kesal. “Kurang lebih, ini salahmu karena tidak memedulikan peringatanku.” “Peringatan yang mana, huh? Kau hanya menentang pertemuan ini dan terus-terusan mengolokku.” Kerutan di kening Arthur mendalam. “Karena itulah aku mengolokmu. Kau tidak tahu bagaimana kondisi Lizzy dan tetap memaksakan pertemuan ini. Kupikir kau cukup pintar dengan tidak membiarkan mereka bertemu di luar ruangan dalam situasi musim dingin, ternyata aku terlalu berharap.” “Seharusnya kau memberitahuku, i***t. Kau pikir aku cenayang yang tahu segala hal tanpa perlu diberitahu?” “Merepotkan sekali. Orang sepertimu harus tertimpal masalahnya dulu agar percaya. Kau tidak akan percaya sebelum merasakannya sendiri.” Marquis tidak membantah. Diam dengan helaan napas panjang, mau tidak mau mengakui ucapan sinis Arthur. “Ayolah kalian berdua. Sekarang bukan saatnya untuk berdebat,” tegur Victorique sama lelahnya. Dia meletakkan cangkir teh sebelum menatap Arthur, “Kau harus menemui Dokter Damaresh. Dokter tidak bisa mendiagnosis Lizzy tanpa tahu riwayat kesehatannya darimu.” Arthur melengos pelan seraya bangkit berdiri. Tidak menyahut sang ratu sama sekali seakan terkesan marah kepadanya juga. Victorique tidak akan mengeluh. Hal ini terjadi karena dia sama cerobohnya dengan Marquis. Sama-sama tidak memerkirakan kemungkinan buruk ini terjadi. Ketika Arthur sampai di ambang pintu. Pria itu bersuara tanpa berniat menghadap Raja dan Ratu. “Kukatakan pada kalian agar omong kosong ini tidak terjadi lagi. Kondisi tubuh Lizzy sama seperti ibu, tidak tolerir suhu dingin sama sekali. Sejak tahun lalu, dia sudah diperkirakan menderita hipotensi, turunan dari ibu.” Marquis dan Victorique tersentak di tempat. Terlalu terkejut hingga tak mampu bersuara. Mereka hanya menatap punggung Arthur, menunggu kalimat lain. “Jika kalian masih bersikeras melanjutkan temu rutin ini, ingat baik-baik apa yang kukatakan tentang kondisi tubuh adikku. Aku bukan pria welas asih, jangan harap ada kesempatan kedua.” Mengakhiri peringatannya, Arthur pergi dari ruangan Marquis. Meninggalkan Marquis dan Victorique dalam situasi tidak nyaman. Memicu lubang rasa bersalah mereka semakin dalam dan lebar. Tanpa perlu Arthur katakan secara tak tersirat pun Marquis dan Victorique sama-sama sadar bahwa ini tidak luput dari kecerobohan mereka. Mereka tidak memertimbangkan kemungkinan terburuknya, pun menduganya. Tidak ada yang menduga bahwa Lizzy sakit. Gadis kecil itu sangat ceria nan riang hingga mampu menipu semua orang. Tidak ada yang akan percaya jika seseorang berkata Lizzy mengidap penyakit. Oleh karena itu, Arthur membiarkan Marquis dan Victorique terkena getahnya dahulu agar mereka paham. “Marquis,” panggil Victorique cukup lirih membuat Marquis menghampirinya. “Apa, sayang?” tanya Marquis dalam langkahnya. “Aku mulai berpikir ini adalah jalan yang salah, sesuai dengan firasatku tujuh tahun lalu ketika kita memperdebatkan pertunangan ini.” Marquis duduk di samping Victorique. Tanpa berkata apa-apa dia mengangkat tubuh kecil istrinya dan memosisikannya dalam pangkuannya. Victorique memutar badannya, kini sepenuhnya menghadap Marquis. Wanita itu memeluk suaminya erat-erat guna menyembunyikan wajah sedih dan mata berairnya. Dan Marquis paham, ia membalas pelukannya. “Victorique, kita sudah membahasnya,” ujar Marquis lembut. Victorique mengangguk kecil. “Aku tahu. Aku tahu, tapi… entahlah.” “Ini memang tidak luput dari kecerobohan kita, aku akui itu. Tapi, kau juga paham bagaimana karakter Arthur. Dia sengaja tidak memberitahu agar kita terkena getahnya.” “Kita tidak akan terkena getahnya jika kita memerkirakan hal ini akan terjadi.” Marquis mengembuskan napas pelan. “Benar.” “Marquis, kau pasti paham apa yang sebenarnya terjadi di antara Ian dan Lizzy.” Usapan lembut Marquis di punggung Victorique spontan berhenti. Pria itu tercekat dengan ucapan Victorique. Victorique menghela napas pendek, langsung paham bahwa ucapannya telah ‘menangkap’ Marquis. “Aku tahu. Aku juga sadar. Tidak mungkin anak itu tiba-tiba bersikap sebaik itu kepada perempuan,” ujar Victorique datar. “Itulah yang kumaksud, Marquis. Tampaknya kita telah mendorong Lizzy ke jurang kesengsaraan.” Marquis menahan geramannya. “Aku tidak akan mengelak.” “Tanpa perlu tahu lebih jelasnya, aku paham apa yang telah terjadi di antara mereka. Dari karakter Ian, aku sangat paham apa yang telah dia katakan kepada Lizzy. Lagipula dia adalah anakmu, segala hal dalam dirinya berasal darimu.” Kali ini Marquis sedikit terkekeh. “Aku tidak akan mengelak.” Kekehan Marquis membuat Victorique kesal. Dia berhenti memeluk Marquis, lalu mendongakkan kepala agar dapat menatap wajah pria itu. “Aku serius, Marquis de Bloich. Bisa-bisanya kau masih tertawa.” “Aku juga serius, Victorique de Bloich,” kekeh Marquis lagi membuat Victorique mencebik kesal. “Marquis, jika kau masih tertawa, aku bersumpah aku akan—“ Marquis mengeratkan rengkuhannya pada pinggang ramping Victorique. Membuat ibu dari dua pangeran itu mengerjap kaget dan tidak sempat menyelesaikan kalimatnya. “Justru karena dia anakku, aku tahu suatu saat dia akan sepertiku. Takluk pada satu perempuan di antara milyaran perempuan di dunia.” Pipi Victorique menggembung. Tangan mungilnya mengepal dan memukul d**a bidang Marquis. “Marquis! Bagaimana bisa kau dengan mudahnya memilih Lizzy untuk bersama Ian?! Kau pikir Lizzy sekuat itu untuk meladeni seluruh sifat jelek Ian?! Kalau Lizzy menangis, aku akan menceraikanmu!” “Wah, sudah lama sekali aku tidak mendengar candaan cerai-menceraimu,” kekeh Marquis menjadi-jadi, meledek istrinya agar pipi istrinya semakin menggembung seperti ikan buntal. “Aku membencimu, Marquis.” Marquis mencium kening Victorique. “Aku mencintaimu juga, Victorique.” *** “Anda perlu beristirahat, Yang Mulia,” ujar Johan khawatir melihat Ian tidak berhenti bekerja sejak Lizzy selesai diperiksa oleh Dokter Damaresh. “Aku tidak akan mengerjakan tugasku sampai Elizabeth pulang. Jadi, aku harus menyelesaikan tugas-tugas hari ini,” sahut Ian datar tanpa menoleh ke Johan. “Saya mengerti, setidaknya Anda harus beristirahat sejenak. Anda belum memakan makan siang dan makan malam Anda, istirahat pun tidak. Tolong Anda juga memerhatikan kesehatan Anda.” Ian melengos pelan. “Aku tahu kondisi tubuhku dengan baik, Johan. Aku memahami niatmu, tapi berhentilah menggangguku. Semakin cepat aku menyelesaikan ini, semakin cepat juga aku dapat beristirahat.” Johan membungkuk sejenak. “Saya mengerti, maafkan saya. Saya akan membawakan camilan yang baru. Apakah ada yang ingin saya bawakan?” Ian berhenti menulis, selesai mengerjakan laporan kesekian. Dia meletakkan laporan itu di tumpukan tugas yang telah usai digarap. Ian memijat pangkal hidungnya untuk menghalau lelah dan kantuk. Kemudian, menoleh ke Lizzy yang masih terlelap. Kekhawatiran dan ketakutan Ian telah sirna sejak Chester pergi meninggalkannya. Benaknya yang terlalu fokus ke Lizzy pun mengendur hingga mampu membuat Ian mengalihkan fokusnya dari Lizzy. Percaya bahwa Lizzy baik-baik saja dan akan segera membuka mata. Walau kini ada masalah lain yang mengganggu pikiran Ian. “Anda cemburu.” Chester sialan. Kupikir dia sedewasa yang kupikirkan, ternyata sama saja. Mana ada aku merasa seperti itu, rutuk Ian lagi-lagi menghujat Chester untuk kesekian kalinya. “Yang Mulia?” panggil Johan bingung melihat Ian tidak kunjung bersuara. Ian menoleh, mengerjap sejenak. “Aku sudah cukup dengan sandwich sebelumnya. Bawakan saja teh hitam.” “Sungguh? Tidakkah Anda ingin kue kering atau kue seperti biasanya?” “Kue kering?” gumam Ian pada dirinya sendiri membuat Johan sedikit khawatir melihat Ian tampak seperti orang linglung. “Kau yang membawa kue ini?” “Aku membuatnya.” Benak Ian teringat kue kering buatan Lizzy. Kue kering tradisional itu masih belum dihabiskan oleh Ian. Kurang lebih, Ian hanya memakan dua scone dan satu kue welsh selama mengerjakan tugasnya di gazebo. Setelah itu, Ian tidak memiliki kesempatan untuk menyantapnya kembali karena terganggu oleh Count Flow. Setelah urusan Count selesai, Lizzy justru tidak sadarkan diri. Tidak ada waktu bagi Ian untuk menghabiskan kue buatan tunangannya tersebut. “Kue kering Elizabeth. Kalian menyimpannya, bukan?” tanya Ian sedikit was-was. Johan mengerjap kaget. “Saya kurang tahu karena para pelayan yang membereskannya. Saya khawatir pelayan telah—“ Ian membanting penanya di meja, membuat atmosfer kamar mencekam. “Aku tidak mau tahu, Johan. Bawakan sisa-sisa kue kering itu padaku sekarang juga. Jika mereka tidak menyimpannya, pecat mereka saat itu juga tanpa pesangon dan surat rekomendasi, tidak berkompeten sama sekali.” “Dimengerti, Yang Mulia.” Ian melengos kasar usai Johan pamit undur diri. Dia berpindah duduk ke kursi di sisi ranjang Lizzy. Memutuskan untuk menunggu Johan kembali sembari mengistirahatkan diri sesuai kemauan Johan. Ian mengambil kain basah di kening Lizzy, mencelupkannya ke baskom air, memerasnya, dan menaruhnya kembali di kening Lizzy. Sore hari pukul lima, tubuh Lizzy tiba-tiba memanas. Dalam kondisi belum sadarkan diri, gadis itu terserang demam yang cukup tinggi. Dokter Damaresh masih berkata tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Demam yang diderita adalah reaksi dari suhu dingin berlebih yang Lizzy terima. Ian yang mulai kalap ketakutan pun kembali tenang meski tidak sepenuhnya tenang. Ian setia menemani Lizzy. Dia tidak berniat meninggalkan sisi gadis itu meski hanya sedetik. Ian mengerjakan seluruh tugasnya di samping Lizzy. Bergantian merawat Lizzy dan mengerjakan tugas-tugas. Tidak ada waktu baginya untuk melakukan hal lain, termasuk melahap jatah makan siang dan makan malamnya. Ian memutuskan untuk terus berada di sisi Lizzy hingga gadis itu membuka kelopak mata. Keputusan Ian tidak dibuat-buat. Tak ada akting di dalamnya. Dia tulus merawat dan menemani Lizzy. Semata-mata didasarkan rasa bersalah karena telah membentaknya. Ian juga berpikir bahwa kondisi Lizzy tidak luput dari kesalahannya karena kurang memerhatikan Lizzy. Jika saja terbesit dalam pikiran Ian bahwa Lizzy tidak tahan suhu dingin berlebih, Ian tidak akan menerima taman bunga Istana Ratu sebagai tempat pertemuan. Betapa tidak pedulinya Ian terhadap Lizzy, bukan berarti Ian setega itu mengabaikan kondisi tertentu Lizzy. Bukan berarti Ian setega itu membiarkan Lizzy jatuh sakit dan terluka.   Namun kemudian, semua sudah berlalu. Lizzy sudah jatuh sakit, tidak ada yang bisa diubah. Ian mengambil tangan kiri Lizzy yang tergeletak di hadapannya. Digenggamnya erat-erat, kembali merasakan betapa panasnya suhu tubuh gadis itu. “Maafkan aku. Aku ceroboh.” ujar Ian pelan. Tentu saja tidak ada sahutan. Lizzy masih terlelap damai dalam kungkungan demam. Ian menatap cincin berlian yang melingkar di jari manis Lizzy. Cincin mewah dengan hiasan berlian biru muda itu merupakan cincin pertunangan. Salah satu cincin dalam perhiasan Royal Treasure. Turun-temurun dikenakan oleh generasi calon Ratu sebelumnya sebagai cincin pertunangan. Kini, cincin itu sampai pada Lizzy selaku tunangan Pangeran Mahkota. Ian cukup tahu Lizzy enggan mengenakan cincin tersebut. Tanpa perlu Lizzy beritahu, Ian tahu. “Kau mungkin bosan mendengarkan kata maafku, tapi aku tidak peduli. Maafkan aku,” ujar Ian kembali bersuara tanpa mendapatkan sahutan. “Kau tidak salah, aku yang salah. Kau benar, aku ikut campur. Hubunganmu dengan Weasley tidak memerhitungkan citra baikku. Kau memang tidak sudi untuk menjaga citraku. Padahal aku sendiri yang mengatakannya, tapi aku juga yang melupakannya. Maaf. “Aku akan mengatakan seribu maaf padamu. Kau mungkin mendengar banyak kabar dan rumor buruk tentangku, jadi kau pasti berpikir barusan aku hanya membual. Tidak, Elizabeth, aku bersumpah aku akan memohon maaf darimu. Jika kau ingin, aku akan berlutut padamu. Kau pasti ingin memarahi, memukul, atau menyiksaku, bukan? Terserah, lakukan sesukamu. Aku tidak akan mengeluh. Jadi, kumohon buka matamu sekarang.” Bahkan Ian pun tidak percaya bahwa dirinya seputus asa ini di hadapan Lizzy; perempuan feminin, sedikit kekanakan, dan merepotkan bagi Ian. Ian pikir dia tidak akan sejauh ini hanya karena Lizzy.  Salah besar, sungguh salah. TO BE CONTINUED Happy saturday night, guys! Semoga malam minggu kalian menyenangkan! Kalau aku, sih, cuma di rumah sambil makan indomie gara-gara hujan (dan jomblo). Tapi menyenangkan, kok. Nggak kerasa Oktober sudah habis dan bentar lagi masuk November. Kuharap The Queen Quality semakin membaik dan tidak membuat kalian bosan. See you in November!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD