Kaki Ian tidak bisa berhenti bergerak. Dia duduk di sofa dengan tidak tenang. Matanya mengamati Dokter Damaresh memeriksa kondisi Lizzy ditemani empat dokter istana. Selain mengamati kinerja Dokter Damaresh, Ian juga mengamati wajah pucat Lizzy. Raut datar yang biasa Ian kenakan terganti dengan raut khawatir yang tidak dibuat-buat.
Ian sangat mengkhawatirkan Lizzy.
Ian tidak tenang melihat gadis itu tiba-tiba pingsan di hadapannya. Panik, khawatir, dan takut yang dia rasakan sekarang bukanlah akting. Dia sungguh ketakutan merasakan tubuh Lizzy sedingin es, wajah gadis itu memucat, dan detak jantungnya sangat lemah. Ian merasakannya sendiri dalam dekapannya, Lizzy seolah akan meregang nyawa. Lantas, bagaimana bisa Ian berusaha untuk tidak merasa ketakutan?
Pertemuan mereka dingin, tidak ada interaksi yang berarti. Tidak ada dari keduanya yang ingin berhubungan satu sama lain. Hubungan mereka dipaksakan, sangat dipaksakan. Saking dipaksakannya, bahkan mereka tidak ada usaha untuk menjalin hubungan selayaknya teman.
Elizabeth de Gilbert tidak ada bedanya dengan perempuan bangsawan lain. Ia masih kekanakan, tidak berpikir panjang, dan lancang. Ian tidak menyukainya. Bahkan mereka bertengkar sebelum semua ini tiba-tiba terjadi.
Ya, Ian dan Lizzy bertengkar mendebatkan hal sepele. Saat itu Lizzy masih baik-baik saja. Tidak ada yang salah darinya. Pipi dan bibirnya masih merona merah, tidak pucat. Sorot matanya tidak kosong, sangat kuat, dan berbinar. Namun kemudian, tiba-tiba saja semua itu berubah dalam sekejap. Membuat hati Ian mencelos seketika.
Ketika ksatria Gilbert, pelayan istana, Johan, dan pelayan pribadi Lizzy datang usai mendengar denting lonceng, Ian panik memerintahkan mereka membawa Lizzy ke unit kesehatan istana. Dia menyuruh seorang ksatria Gilbert—Caesar—yang tampaknya ksatria pribadi Lizzy untuk membawa Lizzy dan berlari secepat mungkin. Tidak memedulikan tergesa-gesanya akan menciptakan kerusuhan seisi istana.
Ian tidak memikirkan apa yang akan dilakukan ayah dan ibunya bila mengetahui kondisi Lizzy. Ian tidak memikirkan keluarga Lizzy. Tidak terlintas dalam benaknya untuk memikirkan masalah-masalah yang mungkin terjadi. Yang dia pikirkan hanyalah Lizzy.
“Baik, sudah selesai,” ujar Dokter Damaresh sembari melepas stetoskop dari lehernya.
Tim dokter istana menyingkir dari Lizzy. Para pelayan segera menyamankan Lizzy yang masih belum sadarkan diri. Tatapan Ian masih setia kepada Lizzy seolah tak ada yang lebih menarik dari gadis itu. Ian, orang idealis non agamis, memanjatkan doa untuk pertama kalinya. Dalam batinnya, Ian telah merapalkan seribu doa dan permohonan kepada Tuhan agar Lizzy segera membuka matanya.
Tatapan Ian kepada Lizzy baru terputus saat Dokter Damaresh menghampirinya.
Kepala Tim Dokter Istana itu membungkuk sejenak kepada Ian sebelum berujar, “Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Nona Gilbert hanya tidak sadarkan diri. Saya tidak tahu pasti penyebab nona pingsan, dugaan saya adalah tubuh nona sangat sensitif terhadap udara dingin dan sedikit stres.”
“Memangnya ada kondisi semacam itu?” tanya Ian dengan wajah dan nada sangat sinis seolah meragukan kinerja Dokter Damaresh.
“Ada, Yang Mulia. Bagi seseorang yang memiliki kekebalan tubuh lemah, tubuh mereka sangat sensitif pada apa pun, terutama suhu ekstrem. Berdasarkan keterangan Anda, awalnya tidak ada masalah pada nona tapi tiba-tiba saja nona pingsan saat cuaca di luar memburuk, bukan?”
Ian mengangguk kaku, tak tahu lagi harus bagaimana. Seluruh tenaga dan akalnya terkuras habis.
“Saya masih belum tahu diagnosis yang tepat atas penyebab pingsannya nona. Saya butuh keterangan riwayat kesehatan nona dari Grand Duke Gilbert agar lebih jelas lagi. Untuk sekarang, biarkan nona beristirahat senyaman mungkin dalam suhu hangat. Jika nona telah sadar, jangan terlalu menekannya dan segera panggil saya, Yang Mulia.”
Ian mengembuskan napas panjang. “Ya, aku mengerti. Kau boleh pergi.”
Tim dokter istana undur diri usai membungkuk kepada Ian. Diikuti pula oleh para pelayan dan ksatria. Menyisakan Ian sendirian bersama Lizzy di kamar unit kesehatan istana. Ian menatap Lizzy kembali, mengamati wajah pucat gadis itu perlahan memudar. Walau Dokter Damaresh berkata tidak ada yang perlu dikhawatirkan, rasa takut Ian tidak hilang sedikit pun.
Adegan Lizzy menutup mata dan terhuyung lemah masih berputar jelas dalam kepala Ian. Tubuh dingin gadis itu masih terasa di tangan Ian. Suara lirih gadis itu pun masih berputar di kepala Ian seperti bisikan mengerikan.
Kala itu, Ian sempat berpikir dia telah ‘membunuh’ Lizzy dan Tuhan akan merenggutnya. Memang gila, tapi demikian yang dia pikirkan.
Ian melangkah menuju kursi di sisi ranjang. Dia duduk di sana, menghadap Lizzy. Memindai kondisi gadis itu lagi seolah tak pernah lelah memastikan kondisinya. Rambut Lizzy terurai tanpa aksesoris. Gaun ungu yang ia kenakan telah diganti dengan piyama agar lebih nyaman. Penampilan sederhana yang baru pertama kali Ian lihat, gadis itu tampak jauh berbeda.
Dibandingkan Lizzy yang selalu tampil formal dengan memancarkan keanggunan serta wibawa, kini gadis itu tampak sangat rapuh.
“Apa maksudmu tiba-tiba seperti ini,” gumam Ian lirih tanpa mengalihkan irisnya dari wajah Lizzy. “Apakah aku yang membuatmu menjadi seperti ini? Damaresh bilang mungkin kau sedikit stres. Itu salahku, bukan? Hei, katakan sesuatu.”
Ian tidak peduli bila ada yang mendengar atau melihatnya meracau sendirian. Ian tidak peduli bila mereka menganggapnya gila karena meracau kepada orang pingsan. Ian tidak peduli apa pun. Yang dia inginkan adalah kelopak mata Lizzy segera berhenti menyembunyikan sepasang iris biru berlian. Dan bibir tipis Lizzy segera membiarkan suara lembutnya keluar dari peraduannya.
Entahlah. Bukankah Ian tidak peduli kepada Lizzy? Dirinya sepakat dengan Lizzy untuk tidak mencampuri kehidupan satu sama lain. Dirinya juga mengatakan secara gamblang bahwa dia tidak akan mencintai Lizzy, begitu pula sebaliknya. Di hari pertunangan mereka, mereka menyepakati hal-hal yang tidak seharusnya terjadi di antara sepasang tunangan.
Ayolah, bahkan Ian sangat terpaksa berperilaku menyayangi Lizzy di hadapan semua orang. Lantas, melihat Lizzy jatuh sakit pun tidak ada bedanya, bukan? Seharusnya Ian tidak sekacau ini, bukan?
Dia pingsan di hadapanku dan dia tunanganku, sudah sewajarnya aku begini karena aku adalah tunangannya. Akan menjadi masalah jika ayah dan ibu melihatku tidak perhatian, batin Ian mencoba memikirkan alasan logisnya. Ya, ini semua demi menyelamatkan diriku dari ocehan ayah.
Tidak, alasan itu tidak menuntaskan kebingungan Ian. Entah mengapa, tidak terasa pas. Kebingungan Ian masih berlanjut seolah memberitahu Ian bahwa itu bukanlah jawaban yang tepat.
TOK TOK
Tanpa menunggu izin Ian, pintu dibuka oleh Chester. Pengawal pribadi Ian itu melongok dari daun pintu dengan wajah hangat ke arah Ian. Ian menatapnya datar tanpa berkata apa-apa, lalu kembali memusatkan perhatiannya ke Lizzy. Ini membuat Chester melangkah masuk, paham bahwa Ian memersilahkannya masuk walau tidak menyuarakannya.
Di antara empat pengawal pribadi Ian, Chester-lah yang paling dewasa; baik secara mental maupun pikiran. Dibandingkan Ben, Chloe, dan Dale, Chester lebih banyak menghabiskan waktu pribadi bersama Ian. Chester juga yang paling banyak tahu tentang Ian karena Ian terbuka kepadanya. Ian menjadikannya tempat curhat karena Chester sangat bisa diandalkan.
Kadang-kadang, situasi semacam ini terjadi. Ian tertimpa masalah, menyuruh semua orang untuk pergi, namun Chester akan mendatanginya tanpa diminta. Siap menjadi tempat curhat dan mendengarkan segala keluh kesah Ian.
“Semoga Nona Gilbert baik-baik saja,” ujar Chester usai ambil posisi dengan berdiri di belakang kursi Ian.
Ian masih enggan bersuara. Seluruh adegan pingsannya Lizzy dan dinginnya tubuh gadis itu masih menghantui Ian. Ian masih ketakutan meski dokter berkata tidak ada masalah.
Ian takut Lizzy tidak akan bangun lagi.
Tanpa perlu diberitahu, Chester memahami apa yang Ian rasakan dan pikirkan. Bagi Chester, Ian sangat mudah dibaca selayaknya buku yang terbuka lebar. Mungkin dari seluruh orang di dunia, hanya Chester yang dapat memahami Ian.
“Nona Gilbert pasti akan baik-baik saja, Yang Mulia. Anda harus mempercayainya,” ujar Chester hangat lengkap dengan senyuman walau Ian tidak akan melihat senyumannya.
“Kami bertengkar,” ujar Ian sedikit pelan seolah sedang berbicara sendiri.
“Apakah Anda sudah meminta maaf kepada nona?”
Kepala Ian menunduk, berhenti menatap wajah Lizzy. “Bertengkar cukup hebat. Mendebatkan hal konyol. Dia komplain kepadaku karena aku tiba-tiba menyinggung debut sosialnya saat sedang bermasalah dengan Count Flow. Dia pikir, masalah debut sosialnya bukan menjadi urusanku. Ya, benar, kami memang sepakat untuk tidak ikut campur kehidupan satu sama lain.
“Aku menjawab bahwa itu hanya akting berhubung Count termasuk anggota faksi. Tapi kemudian beberapa hal terjadi hingga aku berkata bahwa masalah debut sosialnya tidak akan terjadi jika dia tidak berteman dengan bocah Weasley. Lalu dia marah, tidak terima dengan klaimku. Akhirnya, itu semua berujung pada aku membentaknya.”
Wajah hangat Chester tidak pudar sama sekali seolah dia tahu kronologinya. “Mengapa Anda membentak nona? Saya ingat Anda juga bersikap sedikit aneh saat mendengar kabar tidak enak setelah debut sosial nona.”
“Aku tidak tahu.”
“Anda tidak tahu?”
Ian sedikit menggigit bibir, mulai tertekan. “Ya, ini semua dimulai sejak hari itu. Sejak aku mendengar kabar dia bermasalah di debut sosialnya karena berteman dengan bocah Weasley. Tidak tahu kenapa, ada perasaan marah terpendam dalam diriku. Aku tidak tahu aku marah karena apa. Sejak aku tahu dia berteman dengan bocah itu, aku menjadi sedikit marah setiap bertemu dengannya.”
“Saat itu Anda mematahkan kuas tepat setelah mendengar kabar nona dan Weasley. Mari kita lihat, apa yang salah hingga Anda reflek mematahkan kuas?”
“Aku tidak menyangka dia akan membuat masalah pertama di pergaulan sosial. Lebih tidak menyangkanya lagi, itu karena dia berteman dengan Weasley. Aku kesal karena tidak habis pikir dengan jalan pikirannya. Dia adalah calon Putri Mahkota dan Ratu, seharusnya dia tidak berhubungan dengan kriminal kerajaan. Kabar itu akan memberi efek buruk pada istana.”
Chester sedikit mengembuskan napas pelan. “Baik, jika begitu, mungkin itulah penyebab dari rasa marah yang terpendam dalam diri Anda. Sekarang, mari kita lihat, mengapa Anda membentak nona?”
“Aku… tidak tahu. Aku reflek membentak.”
“Apa yang nona katakan sebelum Anda membentaknya?”
“Dia bilang, pertemanannya dengan Weasley tidak mendapatkan komplain dari ayah dan ibu.”
Chester mengangguk kecil. “Benar. Yang Mulia Raja dan Ratu tidak memermasalahkan hal itu sama sekali. Setahu saya, mereka membiarkan nona berteman dengan siapa saja, termasuk Weasley.”
Ian menggertakkan gigi, kesal. “Tapi, aku tidak bisa menerimanya. Apa yang akan semua orang pikirkan melihat calon Putri Mahkota sekaligus Ratu berteman dengan anggota keluarga kriminal kerajaan. Kami memang sepakat untuk tidak ikut campur urusan masing-masing, tapi kami juga menyepakati untuk saling menjaga citra satu sama lain. Setidaknya, jika dia sebegitu tidak sudinya, anggap saja dengan menjaga citra keluarga—“
Chester mengerjap bingung melihat Ian tiba-tiba berhenti berbicara, tidak menyelesaikan kalimatnya. Chester sedikit melongok maju untuk melihat kondisi Ian. “Yang Mulia? Ada apa? Mengapa berhenti?”
Ian terkena efek bom kesadaran. Benaknya yang berkecamuk mulai berangsur membaik seolah bom kesadaran itu telah meruntuhkan dinding-dinding yang menghalangi jalan otak. Otak Ian mulai mencerna segalanya dengan baik hingga menemukan satu keanehan pada dirinya.
Lizzy sepakat untuk menjaga citra baik Ian. Namun Lizzy juga punya pilihan untuk tidak menjaga citra baik Ian dan Ian memerbolehkannya. Lantas, keputusan Lizzy untuk berteman dengan Gideon didasarkan pada citra baiknya sendiri, bukan Ian. Lizzy tahu konsekuensi dalam berteman dengan Gideon dan dia tetap melakukannya. Lizzy tidak memedulikan citra Ian. Jika iya, Lizzy akan menjauhi Gideon. Kalau begitu bukankah pertemanan Lizzy dan Gideon memang bukan menjadi urusan Ian?
Ini bukan salah Lizzy. Lizzy benar, Ian ikut campur.
“Itu bukan urusanku,” gumam Ian cukup lirih namun masih dapat ditangkap oleh telinga Chester.
“Apa yang bukan menjadi urusan Anda?”
“Hubungannya dengan Weasley.”
“Mengapa demikian? Sesaat lalu, Anda mengkhawatirkan pertemanan mereka memberi efek buruk kepada istana. Bukankah itu juga benar?”
Kedua tangan Ian mengepal kuat-kuat. Menyadari bahwa dirinya sangat bodoh. “Tidak. Aku terlalu beralasan. Dia memutuskan untuk berteman dengan Weasley itu menunjukkan bahwa dia tidak menjaga citraku. Aku bilang, jika dia tidak sudi menjaga citraku, anggap saja dia sedang menjaga citra keluarganya. Maka, bagi keluarga Gilbert, tidak salah untuk berteman dengan Weasley. Aku ikut campur.”
“Apakah seperti itu? Saya tidak tahu seluk beluk keluarga Gilbert, jadi saya tidak dapat berkata lebih jauh tentang mereka. Apakah Anda ingin menanyakannya ke pelayan pribadi nona?”
“Tidak.”
Chester tersenyum. “Baiklah. Sekarang mari kita kembali ke pertanyaannya, mengapa Anda membentak nona?”
“Aku masih tidak tahu.”
Ya, begitulah. Bila aku tidak sedikit lancang, Yang Mulia tidak akan menyadarinya sendiri, batin Chester maklum, sudah menduga.
“Baiklah, Yang Mulia. Tolong Anda pikirkan dan rasakan, bagi Anda, apakah pertemanan nona dengan Weasley sangat buruk?” tanya Chester.
“Ya. Sekarang aku tahu dia tidak menjaga citraku dengan memilih berteman dengan Weasley, aku memikirkan apa yang harus kulakukan di hadapan semua orang nantinya.”
“Baik. Tapi, saya menanyakan secara pribadi Anda. Tolong pikirkan ulang, kali ini jangan memikirkan hal-hal lain terkait kerajaan.”
Ian mengerjap, kembali dibuat bingung. Dia menoleh ke Chester. “Apa maksudmu?”
“Saya menanyakan bagaimana pertemanan nona dan Weasley bagi Anda secara pribadi. Apakah Anda merasa kesal, tidak masalah, atau apa pun itu.”
Tanpa pikir panjang, Ian spontan menjawab, “Kesal.”
Benar, bukan? Aku kesal karena nantinya pertemanan mereka akan berefek buruk pada citraku maupun citra ayah dan ibu. Para bangsawan akan menggunjingkannya dan aku harus berurusan dengan hal merepotkan itu, batin Ian yakin.
“Saya sudah berkata untuk tidak mengaitkannya dengan kerajaan, Yang Mulia. Tolong Anda menjawabnya sesuai apa yang Anda rasakan secara pribadi,” ujar Chester dengan senyum hangat khasnya membuat Ian mengernyit heran.
“Secara pribadi, dikaitkan dengan kerajaan atau tidak, itu sama saja, Chester. Kesal. Kenapa kau mulai berbelit-belit?” sahut Ian sedikit sewot karena Chester seakan sedang membuatnya kembali bingung. Sudah cukup kepala Ian membingungkan hal-hal aneh.
Chester menghela napas pendek, mengerti bahwa tidak akan ada habisnya bila dia tidak langsung mengutarakannya. Lelaki bermata cokelat madu itu maju dua langkah, berdiri di samping kursi Ian. Dia membungkuk, tanpa aba-aba mengarahkan tangan kanan Ian untuk menyentuh tangan kiri Lizzy.
Ian kaget setengah mati melihat kelakuan Chester. Dia menarik tangannya menjauh dari tangan Lizzy. Sekelebat takut kembali menghantui Ian, mengingat betapa dinginnya tangan gadis itu di gazebo.
“Apa yang kau lakukan, bodoh?” tanya Ian kesal.
Chester tersenyum. “Sedikit berkompromi dengan saya, Yang Mulia. Anda ingin mengetahui jawaban yang benar, bukan?”
“Memangnya jawaban itu akan datang jika aku menyentuh tangannya? Kau gila?”
Begini-begini, Chester bukan tipe penyabar. Sedewasa apa pun dirinya, Chester tetap memiliki sumbu pendek. Jadi, tidak mau mendebatkannya, Chester kembali menarik tangan Ian dan menyatukannya dengan tangan Lizzy. Memaksa sang pangeran untuk menggenggam tangan tunangannya. Dengan sedikit usaha dan adu otot, Chester memertahankan posisi tangan Ian dan Lizzy.
“Baik, sekarang Anda bayangkan bila tangan Nona Gilbert digenggam oleh Weasley. Tidak hanya Weasley, namun juga laki-laki lain. Jika laki-laki lain, tidak ada urusannya dengan kriminal kerajaan, bukan? Baik, bayangkan seperti itu,” ujar Chester sedikit tegas.
Alih-alih segera membayangkan skenario buatan Chester, benak Ian terhisap sepenuhnya oleh tekstur halus nan lembut yang dimiliki oleh tangan Lizzy. Tangan mungil itu terasa sangat halus dan lembut. Berbeda dari sebelumnya, tangan itu menghangat. Membuat seluruh rasa takut Ian meluruh. Bayang-bayang Lizzy tidak akan membuka matanya lagi pun berangsur sirna.
Ian cukup takjub merasakan tangan Lizzy. Ini adalah kontak fisik langsung pertama mereka. Sebelumnya, tangan mereka selalu terlindungi sarung tangan. Jadi, merasakan langsung struktur tangan Lizzy tanpa penghalang membuat Ian gugup.
Merasakan betapa halus dan hangatnya tangan Lizzy membuat benak Ian membayangkan skenario buatan Chester. Jika tangan ini digenggam langsung oleh Weasley maupun laki-laki lain… menyebalkan.
Ian tidak terima.
“Aku… kesal juga,” ujar Ian pada akhirnya seraya tanpa sadar mengeratkan genggamannya pada tangan Lizzy.
Chester tersenyum puas, menarik tangannya dari tangan Ian karena merasakan Ian mau menggenggam tangan Lizzy. “Anda cemburu.”
TO BE CONTINUED
[Yap, mantap. Siapa yang ikut bingung sama Ian? Sama, aku juga, kok :""" ]