BAB 53

1654 Words
Lizzy membuka matanya. Kelopak matanya terasa sangat berat hingga dia sedikit kewalahan untuk membukanya. Pandangannya buram, belum beradaptasi dengan cahaya. Lizzy mengerjap beberapa kali untuk mengadaptasikan mata biru berliannya. Pandangannya yang memburam pun mulai sirna, berfungsi normal. Dalam sudut pandang Lizzy, dia langsung mengernyit bingung melihat langit-langit kamar yang sungguh asing. Langit-langit itu bercorak awan keemasan dengan lampu gantung sangat mewah. Berbanding jauh dari langit-langit kamar serta lampu milik kamar Lizzy. Gadis itu pun menggerakkan kepalanya, lagi-lagi terasa sangat berat seolah dia telah berada dalam posisi terbaring dalam waktu lama. Mata Lizzy lagi-lagi mengerjap menemukan dinding, jendela, dan interior kamar yang sangat asing. Didominasi oleh warna emas dan cream, interior mewah nan elegan, dan arsitektur kamar yang klasik namun tetap elegan. Ini bukan kamar Lizzy. Dilanda bingung, Lizzy mencoba mengingat apa yang telah terjadi sebelum dirinya terbaring lemah di kamar asing tersebut. “Kita harus pindah.” “Ya…, tampaknya begitu.” Kepala Lizzy kembali mengarah lurus. Mata biru berliannya menatap langit-langit dengan tatapan kosong. Lizzy mulai ingat apa yang terjadi sebelum dirinya terbaring lemah. Tubuhnya memburuk sesaat setelah Ian berkata mereka harus pindah tempat dikarenakan cuaca memburuk. Lizzy menghela napas panjang. Cukup tidak menyangka akan secepat itu tubuhnya memberi reaksi. Sebelumnya, Lizzy memiliki waktu setidaknya lima belas menit sebelum tubuhnya ambruk. Jika Lizzy telah mengamankan diri dari suhu ekstrem, tubuhnya akan kembali membaik tanpa perlu kehilangan kesadaran. Namun di hari itu, tubuhnya langsung bereaksi sesaat setelah cuaca memburuk. Lizzy tidak bisa membayangkan apa yang terjadi selanjutnya setelah dia kehilangan kesadaran. “Hei, kau baik-baik saja?” Suara Ian terngiang dalam lamunan Lizzy. Lelaki itu menyadari ada yang tidak beres dalam diri Lizzy dan langsung bertindak. Saat itu, Lizzy tidak dapat melihat wajah Ian dengan jelas karena pandangannya telah memburam. Jadi, Lizzy tidak tahu bagaimana raut muka pangeran itu. Namun, satu hal yang dapat Lizzy pastikan bahwa nada suara Ian sarat kekhawatiran yang tidak dibuat-buat. “Apa yang baik-baik saja, bodoh.” Ya, meski dia masih mengolokku. Satu hal itu tidak akan pernah berubah, batin Lizzy sedikit tergelitik. Ketika Lizzy sedikit bergerak, dia tersentak merasakan ada sesuatu yang menempel di keningnya. Terasa basah dan lembab, permukaannya lembut bersentuh langsung dengan kulit keningnya. Tangan kanan Lizzy bergerak menyentuh benda tersebut. Dia cukup terperangah mengetahui sebuah kain mengompresnya. Tampaknya, reaksi kali ini lebih parah dari yang Lizzy kira. Tidak hanya kehilangan kesadaran, tapi juga terserang demam. Ah, aku telah merepotkan seisi istana. Aku harus minta maaf kepada Raja dan Ratu, rutuk Lizzy seraya berhenti menyentuh kain kompres tersebut. Tunggu, kenapa tangan kiriku terasa agak berat? Respon Lizzy terhadap sekitarnya sungguh lambat akibat efek demam. Dia baru menyadari tangan kirinya terhalang sesuatu ketika tubuhnya sedikit bergerak usai menyentuh kain kompres. Kepala Lizzy menoleh ke kiri. Matanya membulat melihat figur Ian tertidur di sisi ranjang. Lelaki itu menggenggam tangan kiri Lizzy cukup erat hingga Lizzy takut bila bergerak sedikit saja akan membuat Ian terbangun. Ian tertidur dalam posisi tidak nyaman sama sekali. Lelaki berhidung mancung itu duduk di kursi, bersandar dengan kaki melipat. Tangan kirinya bersandar di sandaran tangan guna menyangga kepalanya. Sementara, tangan kanannya tergeletak di pangkuannya sambil menggenggam tangan kiri Lizzy. Posisi tubuh Lizzy yang tidak di tengah ranjang membuat jaraknya dengan Ian sangat dekat. Tak heran lelaki itu masih dapat menggenggam tangannya walau jatuh terlelap. “Yang Mulia…,” panggil Lizzy sangat lirih, nyaris tidak bersuara akibat tenggorokannya begitu kering. Ian tidak terjaga dari buaian mimpi. Kelopak matanya masih menutup dengan aliran napas teratur. Tidurnya sungguh damai hingga Lizzy tidak tega membangunkan ataupun mengganggu. Melihat wajah Ian saja membuat Lizzy tahu bahwa lelaki itu sangat lelah. Tampaknya, Ian telah menemaninya selama dirinya tidak sadarkan diri. Tapi, kenapa? Kenapa Ian melakukan hal itu? Kenapa Ian peduli? Tentu saja, bagian dari aktingnya, batin Lizzy menjawab kebingungannya. Tapi, untuk apa dia menggenggam tanganku dalam tidurnya? Apakah harus sedetail ini agar tidak ada yang curiga? Lizzy menoleh ke kanan, kini menemukan setumpukan buku yang sepertinya merupakan tugas-tugas Ian tertumpuk di meja. Selain tugas Ian, ada pula piring dan beberapa cangkir kosong yang telah digunakan. Dia mengerjakan tugas dan makan di sini? Totalitas sekali, batin Lizzy cukup takjub seraya kembali menoleh ke Ian. Lizzy menahan ringis kala mengarahkan kepalanya ke posisi semula, lurus. Seluruh sisi dalam tubuhnya terasa nyeri. Memerburuk keadaan, suhu panas yang masih melanda membuat nyeri itu menjadi-jadi. Tidak ada tenaga yang tersisa dalam tubuh Lizzy. Lizzy harus segera memakan sesuatu agar dapat meminum obat. Semakin cepat Lizzy makan, semakin cepat Lizzy dapat minum obat dan kembali sembuh. Lizzy menoleh ke Ian, mendapati tunangannya masih terlelap. Genggaman Ian memang cukup kuat, namun Lizzy masih dapat melepaskan diri dari genggaman itu. Baik, baiklah, Lizzy. Kau pasti bisa. Kau hanya perlu menarik tanganmu pelan-pelan, tanpa suara, dan dalam satu gerakan cepat, batin Lizzy memantapkan niat sebelum kemudian berusaha menarik tangan kirinya dari kungkungan Ian. Dalam percobaan pertama, Lizzy berhasil menarik sedikit tangannya dari genggaman Ian. Ian masih belum bergeming. Memastikan situasi terkendali, Lizzy kembali menarik tangannya. Di percobaan kedua itulah Ian bereaksi. Laki-laki berumur sebelas tahun itu sedikit mengernyit dengan anggota tubuh lain bergerak masing-masing, menggeliat kecil. Lizzy sudah panik duluan. Buru-buru diam di tempatnya lagi agar Ian tidak terbangun. Daripada memerhatikan tubuhnya yang butuh asupan serta obat, Lizzy lebih memerhatikan tidur Ian. Bukan apa-apa. Dalam sudut pandang Lizzy, Ian tampak sangat jauh berbeda dibanding ketika ia tidak tidur. Gurat wajah Ian menjadi begitu polos selayaknya anak sebelas tahun. Tidak ada kesan dingin dan aura menyeramkan. Ian menjadi mirip dengan adiknya, Noah. Saking polosnya hingga membuat Lizzy tidak tega mengganggu tidurnya. Bibir Lizzy sedikit mengerucut, lalu berbisik menggumamkan, “Tapi, aku harus segera makan agar bisa minum obat.” Secara mengejutkan, kelopak mata Ian membuka. Memamerkan sepasang bola mata semerah batu ruby. Ian mengerjap beberapa kali untuk beradaptasi dengan cahaya sebelum kemudian mengarahkan tatapannya ke Lizzy. Mata ruby Ian sedikit membulat bertemu dengan mata safir Lizzy. Mereka bertatapan dalam waktu beberapa detik sebelum Ian mengerjap dan mulai bersuara. “Kau sudah sadar,” ujar Ian datar seperti biasa. Lelaki itu memindahkan kain kompres ke baskom air, lalu mengecek suhu kening Lizzy. “Panasmu masih tinggi. Bagaimana perasaanmu? Ada yang sakit?” Lizzy sungguh terperangah melihat sikap Ian penuh perhatian kepadanya. Walau berwajah dan bernada datar, Lizzy menangkap nada lega dalam suara Ian. Beberapa sudut dalam wajah Ian pun memancarkan kelegaan. “Elizabeth, kenapa diam?” panggil Ian membuyarkan benak Lizzy. Lizzy menggeleng kecil, langsung meringis kecil merasakan pening. “Aku tidak apa-apa. Tidak ada yang sakit.” “Akan kupanggilkan Damaresh. Panasmu masih tinggi. Kau banyak berkeringat, tidak? Ingin membersihkan diri?” Lizzy mengangguk canggung. “Ya, sebaiknya begitu.” Ian bangkit berdiri, mengambil baskom air yang tergeletak di nakas. “Kau bisa makan?” “Bisa.” “Akan kupanggilkan pelayan untuk menyiapkannya. Jangan banyak bergerak dulu.” Lizzy mengangguk kecil, menjadi pengantar Ian sebelum Ian pergi meninggalkan Lizzy. Lelaki itu sungguh perhatian hingga membuat Lizzy takjub sendiri. Saking perhatiannya hingga tampak mustahil terjadi. Tidak, Lizzy tidak keberatan. Hanya saja terasa sangat aneh dan mendadak. Kuharap dia tidak akan meminta imbalan atas segala akting dan perhatian yang dia lakukan selama aku pingsan, batin Lizzy lelah sebelum berguling ke kanan untuk menatap jendela. “Chester panggilkan Damaresh untuk segera memeriksa Elizabeth. Dia sudah sadar,” perintah Ian sesaat setelah keluar dari kamar unit kesehatan. Empat pengawal pribadi Ian kompak menoleh dengan wajah berbinar. Menyambut kabar dengan sukacita. “Sungguh? Nona Gilbert telah sadar?” tanya Ben senang. “Bagaimana keadaannya? Apakah demamnya telah menurun?” tanya Chloe khawatir. “Saya ingin segera menemuinya. Apakah nona sudah bisa menerima besukan?” tanya Dale penuh haru ala keibuan. Ian mendecak keras, menegur para pengawalnya yang sudah bertingkah bodoh di pagi buta. “Tidak ada dari kalian yang masuk ke dalam sebelum kuizinkan.” Nada tegas Ian membuat Ben, Chloe, dan Dale menciut lalu kompak menyahut, “Baik, maafkan kami.” “Chester, lakukan,” perintah Ian kala melihat Chester tidak kunjung pergi memanggil Dokter Damaresh. Ketika Chester telah pergi, Ian beralih ke pelayan yang setia berjaga bersama pengawalnya. Ian menyerahkan baskom air sambil memerintah, “Dia ingin membersihkan diri dan berganti pakaian. Siapkan sarapan untuknya.” “Baik, Yang Mulia,” tanggap pelayan patuh, menyingkir untuk segera melaksanakan perintah sang pangeran. Ian menghela napas panjang sambil merenggangkan otot-otot tubuhnya. Posisi tidurnya semalam sangat tidak nyaman. Membuat seluruh otot dan sendinya terasa kaku. Sepanjang hidupnya, baru pertama kali Ian tidur dalam kondisi tidak nyaman sama sekali. Anehnya, dia bisa terlelap seolah tidak ada masalah dalam posisi tidurnya. Mau bagaimana lagi, bukan? Ian harus siaga merawat dan menjaga Lizzy. “Yang Mulia, saya rasa Anda juga perlu membersihkan diri dan makan. Sejak kemarin, Anda belum makan,” ujar Ben mencemaskan Ian. Chloe mengangguk setuju. “Benar. Anda belum mengganti pakaian dan tidak makan sama sekali. Anda harus menjaga kesehatan juga.” “Aku tahu. Panggil Johan dan Maria untuk segera menyiapkannya di kamarku,” sahut Ian patuh membuat tiga pengawalnya lega. “Chloe kau berjaga di sini.” Chloe membungkuk patuh, mengantarkan kepergian Ian bersama Ben dan Dale. Bukan rencana Ian untuk terus-terusan tidak makan dan berpenampilan jelek. Ian tidak sekacau itu karena Lizzy. Dia tahu batasannya. Walau pagi ini Lizzy masih tidak sadarkan diri, Ian akan tetap memerhatikan dirinya sendiri. Syukurlah Lizzy telah sadar, tidak ada yang membebani Ian lagi. Di tikungan koridor, Ian berpapasan dengan Arthur. Grand Duke of Alterius itu berpenampilan serba hitam dengan aura menyeramkan menguar dari tubuhnya. Dalam sudut pandang Ian, Arthur jauh menyeramkan daripada ayahnya, entah mengapa. Auranya sungguh mengintimidasi. “Jadi, akhirnya kau mau keluar dari kamar itu,” celetuk Arthur datar tanpa berniat memberi salam kepada Ian. “Elizabeth sudah sadar,” ujar Ian memberitahu, berharap Arthur akan segera pergi dari hadapannya karena Ian sungguh tak mau berurusan dengan pria itu. Arthur menyeringai tipis. “Ada beberapa hal yang perlu kita bicarakan. Kuharap kau berkenan empat mata denganku.” Sesuai dugaanku, sialan. Bahkan dia tidak tampak senang mendengar kabar adiknya, rutuk Ian kesal bercampur sedikit takut. “Tidak masalah. Tapi, aku harus membersihkan diri dahulu. Kau berkenan untuk menunggu?” Arthur mengedikkan pundak. “Aku memang berniat demikian.” Semengerikan apa pun yang telah Ian lalui dan saksikan, Arthuria de Gilbert tetap menjadi satu-satunya objek sekaligus orang yang mampu membuatnya bergidik. TO BE CONTINUEDWelcome November! Dengan begini, The Queen Quality kembali update tiap jam 9 pagi dan diusahakan daily update ya, guys!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD