“Empat mobil pesanan anda telah tiba pagi ini, Tuan Muda. Seluruhnya dalam kondisi sempurna, berikut juga dengan perekrutan sopir pribadi.”
Arthur berdehem mengiyakan tanpa menoleh ke Charles, fokus mengerjakan tugasnya. “Bagaimana kabar rumah itu?”
“Pembangunannya sudah selesai. Tersisa sedikit polesan dan merapikan perabotan, sore ini rumah baru keluarga Gilbert bisa ditempati.”
“Jelaskan hasil jadinya, apakah memang sesuai dengan kemauanku atau tidak.”
Charles berdehem untuk melancarkan tenggorokannya yang terasa kering hanya karena mengingat detail rumah baru Gilbert. “Semua sesuai dengan perintah anda, Tuan Muda. Rumah baru keluarga Gilbert menguasai gunung Kuujira, letaknya sangat terpelosok. Gerbang utamanya terdiri dari tujuh gerbang setinggi sembilan puluh meter, terbuat dari beton seberat dua ton pada gerbang terkecilnya dan akan meningkat berkelipatan hingga gerbang ketujuh. Sebagai pengecoh untuk penyusup, tersedia pintu kecil samping gerbang utama terbuat dari kayu biasa lengkap dengan pos penjaga. Ditempatkan ratusan hyena liar di area pintu penyusup.
“Untuk rumah, berjarak 30 km dari gerbang utama. Belum termasuk jarak dari bawah gunung ke puncak gunung yang menjadi area rumah. Seluruh fasilitas disesuaikan dengan yang ada di istana Alterius. Ruang bawah tanah, ruang tahanan, ruang penyiksaan, ruang isolasi, penjara, gudang senjata serta racun, dan perabotan-perabotan dengan bobot tinggi. Tidak ada yang terlewatkan.”
“Perekrutan pelayan?”
“Sudah dilakukan. Kini, telah terdaftar lima puluh pelayan berkompeten yang memenuhi kriteria anda.”
Arthur mendongak, alisnya naik sebelah. “Hanya lima puluh?”
Charles mengangguk. “Benar, kriteria anda memang terlampau tinggi. Cukup sulit bagi kami untuk mendapatkan orang-orang yang sesuai.”
“Mau bagaimana lagi,” dengus Arthur sedikit kasar, “dalam empat belas tahun sejak ayah menjadi bangsawan, nama Gilbert berubah menjadi marga pembunuh. Tanpa diminta, sejak aku dan Alice lahir, mereka resmi memanggil kami dengan sebutan keluarga pembunuh. Setidaknya, inilah harga yang harus kubayar untuk melindungi keluarga Gilbert.”
“Saya tidak menyalahkan anda sama sekali, Tuan Muda,” tandas Charles hangat, “saya sangat memahami beban anda.”
“Ayah juga sudah mengantisipasinya dengan menyiapkan rumah baru itu. Sayangnya, rumah itu baru selesai dibangun hari ini,” tanpa sadar Arthur mematahkan pena di tangan kanannya, keningnya mengernyit dalam dengan tatapan penuh kemarahan, “aku tidak akan membiarkan siapapun menyentuh keluargaku.”
Charles membungkuk hormat. “Sesuai keinginan anda, Tuan Muda.”
Arthur menghela napas panjang, meredakan amarah yang sempat meluap. Dia menyingkirkan lembar kerjanya. Patahan pena di tangan kanannya dibuang begitu saja ke pinggir meja kerja. Hanya mengingat kematian orang tuanya mampu membuat perasaan Arthur bergejolak penuh dendam. Sudah jelas, sesungguhnya membuktikan betapa lemahnya hati Arthur.
Mungkin bila dibandingkan dengan Alice dan Theo, Arthur-lah yang paling lemah. Hingga saat ini tak ada yang tahu seberat apa beban yang dipikul oleh hati dan pundak Arthur. Seberapa seringnya Arthur menahan air mata. Seberapa seringnya Arthur mencoba tetap tegak di hadapan semua orang. Terutama di hadapan Theo.
Arthur cukup menyesali banyak hal. Penyesalan dan kesal yang mungkin terbesar dibandingkan milik Alice dan Theo. Pertama, takdir keluarga mereka. Kedua, pembangunan rumah baru yang disiapkan oleh Eugene sangat terlambat selesai hingga merenggut nyawa Eugene dan Ellie. Ketiga, Elizabeth lahir di keluarga Gilbert. Keempat, Arthur tidak bisa menjadi kakak yang baik bagi Alice dan Theo, mungkin pula ditambah dengan Elizabeth di masa yang akan datang.
Banyak sekali sesal dan kesal dalam diri Arthur yang tak akan pernah diungkapkannya.
TOK TOK
Ketukan pintu membuyarkan lamunan Arthur. Membawanya kembali ke kenyataan yang pahit. Sekaligus untuk kesekian kalinya menyadarkan Arthur bahwa tak ada gunanya terus-menerus mengingat penyesalan dan kesal tersebut.
“Saya Hans, melaporkan kedatangan tamu penting yang ingin menemui anda, Tuan Muda.”
Laporan Hans dari balik pintu ruang kerja membuat Arthur dan Charles mengernyit heran. Hari ini tidak terjadwal pertemuan apa pun. Tidak ada pula tamu yang membuat janji temu dengan Arthur. Dapat disimpulkan tamu yang datang itu tidak mengikuti prosedur umum kalangan bangsawan alias tak beretika. Orang-orang seperti itu biasanya dari kalangan bangsawan baru rendahan dan orang biasa bukan bangsawan.
Arthur benar-benar malas meladeni karena perasaannya masih belum membaik.
Charles sigap membukakan pintu, membiarkan Hans masuk. Ketika Hans memasuki ruang kerja, ia langsung memahami kondisi Arthur sedang tidak ingin berurusan dengan apa pun. Maka, Hans menghadap Charles selaku kepala pelayan keluarga Gilbert.
“Pihak gereja St. Church datang, terdiri dari tiga orang. Kepala Uskup Benedictus, Victor Grandine, dan Helenina Wyne. Mereka ingin bertemu dengan Tuan Muda untuk membahas rencana pertunangan Nona Elizabeth.” lapor Hans.
Alis Charles menukik tajam, sedikit tersinggung. “Saya bisa memaklumi sikap lancang mereka yang sebagai akibat mengisolasi diri dari hubungan sosial. Tapi, bukankah ini mulai melewati batas dengan terjun ikut campur.”
Hans mengangguk kecil. “Tindakan mereka tampaknya atas keputusan sendiri, bukan dorongan pihak kerajaan.”
“Mereka hanya ingin komplain?” celetuk Arthur bertanya dengan hembusan napas lelah.
Hans menghadap Arthur, mengangguk. “Iya, Tuan Muda.”
“Apakah saya perlu menangani mereka, Tuan Muda?” tawar Charles mengajukan diri.
Arthur menghela napas pendek. “Tidak perlu, aku akan—“
“Tuan Muda, anda mendapatkan berkas-berkas tambahan terkait laporan dan seluruh pengajuan kerja sama untuk Phantom dan Gilbert Group.” lapor Aiden—salah satu pelayan tertinggi yang berpotensi menjadi penerus kepala pelayan—dengan membawa satu kardus berisi berkas.
Kedatangan mendadak Aiden membuat seisi ruang kerja membatu kaku, terutama Arthur. Arthur yang barusan hendak beranjak menemui tamu, dibuat mematung di tempat karena kedatangan Aiden dengan membawa sekardus tugas tambahan untuk Arthur. Bagaikan badai yang menghancurkan kewarasan mental Arthur, untuk pertama kalinya Arthur tercengang kaku menghadapi segunung tugas dan masalah.
Sudahkah Arthur menjelaskan seberapa banyak beban tanggung jawab yang dipikul pundaknya?
Ah, kepala Arthur ingin pecah.
***
“Pertama-tama, tolong maafkan kelancangan kami karena datang bertamu tanpa memberi atau membuat janji temu dengan anda, Grand Duke. Sebuah kehormatan bagi kami karena anda bersedia menyisihkan waktu untuk bertemu dengan kami.” ujar Kepala Uskup Benedictus hangat diikuti gestur sedikit membungkuk hormat dari Helenina dan Victor.
Arthur melipat kaki seraya mengambil secangkir teh. “Tidak masalah, Kepala Uskup. Saya memakluminya, mengingat bagaimana latar belakang pihak gereja St. Church. Saya juga meminta maaf karena tidak bisa menyambut kalian dengan hangat sesuai prosedur kediaman Gilbert karena tidak memiliki waktu cukup untuk menyiapkannya.”
Sebuah langkah awal Arthur yang sangat menusuk ketiga pihak gereja di hadapannya. Sindiran halus itu membuat mereka menahan napas sejenak karena rasa tercekat akibat dari menerima efek sindir secara tiba-tiba. Dan tidak ada yang bisa mereka lakukan karena sudah sewajarnya Arthur melempar sindiran.
Dari sini, Kepala Uskup Benedictus mendapatkan kesimpulannya.
Arthuria de Gilbert lebih berbahaya dari Eugene de Gilbert.
Ruang tamu yang ditempati oleh tiga pihak gereja dan Arthur merupakan salah satu ruangan di area Grand Palace. Letaknya sangat dekat dengan ruang kerja Arthur dan ruang biliar. Hal yang sedikit mengganggu Arthur karena biasanya Alice menempati ruang biliar. Daripada memikirkan bagaimana caranya mengatasi pihak gereja yang bersikukuh memertunangkan Elizabeth, Arthur lebih memikirkan nasib pihak gereja bila kehadirannya terendus oleh Alice.
Di dunia ini, satu-satunya yang tidak bisa Arthur kendalikan adalah temperamennya Alice. Sungguh. Lebih baik Arthur tenggelam dalam tumpukan tugas berhari-hari daripada harus berurusan dengan temperamen Alice.
“Jadi, ada sesuatu yang ingin kalian bicarakan dengan saya hingga repot-repot datang kemari?” tanya Arthur membuka pembicaraan usai menyesap teh Darjeeling.
“Sebagai pembuka, kami akan menjelaskan detailnya terlebih dahulu agar tidak terjadi kesalahpahaman,” ujar Victor sambil berdehem untuk menetralisir tenggorokannya. Usai mendapat anggukan dari Arthur, ia mulai menjelaskan, “tiga minggu lalu, tepatnya pada tanggal 25 Desember 1912, pihak gereja mengadakan pertemuan pribadi dengan keluarga kerajaan, instansi pemerintah, dan seluruh kepala keluarga bangsawan tertinggi Ophelia. Dalam pertemuan itu, Kepala Uskup menyampaikan pesan mimpi yang beliau dapatkan dari Tuhan Maha Pengasih.
“Berisi tentang perintah-Nya yang langsung menunjuk kandidat calon Ratu Ophelia kedelapan, Elizabeth de Gilbert. Dalam pertemuan itu, tentu menimbulkan pro dan kontra antara pihak gereja dengan para bangsawan yang hadir. Yang Mulia Raja dan Ratu tidak memberi banyak tanggapan maupun pertanyaan. Justru, Yang Mulia Ratu langsung menyatakan persetujuannya untuk memertunangkan Pangeran Mahkota dan Nona Gilbert.”
Arthur melengos pelan. Berusaha memberi kesan menyimak penjelasan Victor, meski kurang lebih ia sudah mengetahuinya sejak surat perintah pertama Raja datang. Mungkin ada beberapa celah yang belum Arthur ketahui, jadi ia berusaha terkesan menyimak.
“Menurut penjelasan Ronald Galilei, keesokan harinya Yang Mulia Raja langsung mengirimkan surat perintah berisi pengajuan lamaran pertunangan disertakan alasan yang mendasarinya ke kediaman Gilbert. Surat pertama itu diperkirakan sampai di hari pemakaman Tuan dan Nyonya Gilbert, sebuah perkara yang tidak diketahui oleh Yang Mulia Raja. Alhasil, cukup menyinggung perasaan anda sehingga tidak memberi tanggapan apa-apa sampai di surat perintah kesepuluh.”
Arthur mendengus pelan. “Ya, benar. Aku tidak memberikan tanggapan apa-apa sampai sepuluh kali.”
Perubahan gaya bicara Arthur membuat pihak gereja mulai was-was.
“Bila dipikir-pikir, sebuah kebetulan yang menguntungkan bagiku, pihak gereja sekalian. Cukup banyak hal yang ingin kutanyakan pada kalian mengenai rencana pertunangan ini,” Arthur menyunggingkan senyum formal yang memberi kesan tidak baik-baik sama sekali kepada pihak gereja, “kuharap, kalian berkenan menjawabnya terlebih dahulu sebelum kita membahas inti permasalahan.”
Kepala Uskup, Helenina dan Victor saling melempar lirik. Ragu-ragu terpancar jelas dari mata mereka tiap kali mencuri lirik pada Arthur yang duduk tenang di hadapan mereka. Mereka sama-sama tahu, menghadapi Arthur sama saja siap menghadapi resiko besar yang siap mengintai dari belakang. Namun, tidak ada pilihan lain bagi mereka selain berusaha memberanikan diri demi menjalankan perintah Tuhan.
Selayaknya umat beragama yang selalu sigap mematuhi perintah Tuhan, hal seperti ini wajar. Tapi, bagi sudut pandang Arthur, tindakan mereka tidak lebih dari sebuah pemaksaan konyol.
Kepala Uskup mengangguk menyanggupi. “Tentu saja. Silahkan ajukan pertanyaan. Kami akan berusaha menjawabnya semampu kami, Grand Duke.”
“Baiklah,” Arthur mulai menyeringai, punggungnya mundur bersandar pada sofa, “atas dasar apa Kepala Uskup sangat meyakini mimpi berisi pesan Tuhan itu bukan sekedar bunga mimpi belaka?”
Pertanyaan pertama Arthur mengundang kernyitan tidak suka muncul di kening Helenina dan Victor. Tampaknya, sedikit menyinggung.
Benar-benar anak kecil yang mengerikan, batin Helenina menahan geram.
Berbeda dari dua pendeta di sampingnya, raut hangat Kepala Uskup tidak berubah sedikit pun. Aura hangat dan wajah penuh gurat tua khas lansia pada umumnya itu tidak menunjukkan kesan tersinggung sama sekali. Cukup membuat Arthur kecewa karena tidak berhasil mengganggunya.
“Pertama, saya mempercayai keberadaan Tuhan. Segala sesuatu yang ada di dunia ini merupakan milik-Nya semata dan akan selalu kembali pada-Nya. Alasan ini mungkin terdengar klasik karena saya seorang Kepala Uskup dan bagi sudut pandang anda terdengar klise, mengingat keluarga Gilbert bukanlah penganut kepercayaan katolik.
“Kedua, saya sudah membicarakan perihal mimpi ini dengan Yang Mulia Paus selama satu minggu penuh. Dalam pengawasan dan bimbingan Yang Mulia Paus, mimpi itu terus datang secara berpotong-potongan dan mulai menjadi satu-kesatuan utuh. Yang Mulia Paus pun sudah mendapatkan petunjuk yang shahih terkait mimpi ini. Jadi, telah kami pastikan ini bukan hanya sekedar bunga mimpi belaka.” ungkap Kepala Uskup dengan pembawaan penuh kasih hangat.
Alis Arthur naik sebelah, wajahnya masih datar terkesan bersangsi keras-keras. “Paus?”
“Pimpinan tertinggi Gereja Katolik, Grand Duke. Bila mimpi pesan Tuhan ini tiba pada Yang Mulia Paus, keshahihannya tidak perlu diragukan lagi.”
Arthur manggut-manggut kecil. “Baiklah, aku paham. Maafkan kelancanganku, kalian pun tahu mengapa aku benar-benar tidak punya pengetahuan tentang struktur keagamaan ini, bukan?”
Kepala Uskup mengangguk dengan senyum lebar. “Tentu, Grand Duke. Tidak perlu sungkan, saya berharap anda dan segenap keluarga Gilbert menemukan jalan yang tepat bagi kalian.”
“Apakah masih ada yang ingin anda tanyakan, Grand Duke?” tanya Victor.
“Aku cukup mempertanyakan keputusan kalian yang ikut terjun ke perpolitikan kerajaan,” jawab Arthur tenang, “bagaimanapun juga ini sedikit mengejutkan melihat pihak gereja turun tangan ke perpolitikan, bukan?”
Helenina mengangguk, maju mewakili. “Tentu, kami pun memikirkannya dengan matang-matang. Perpolitikan bukanlah jangkauan kami, kami memilih untuk tidak ikut campur sama sekali. Tapi kali ini berbeda, Grand Duke. Tuhan menurunkan titah-Nya terkait kandidat calon Ratu Ophelia pilihan-Nya melalui Kepala Uskup sehingga kami berusaha menjalankannya sebaik mungkin. Maka dari itu, kami ingin memastikan apakah kedua belah pihak bersedia mematuhi perintah-Nya.”
Sekilas, Victor menangkap seringai kecil tersungging bibir Arthur. Sebuah seringai merendahkan diikuti dengus geli sepelan kain satin. Sepersekian detik berikutnya, wajah merendahkan itu kembali menjadi wajah datar. Terkesan menyimak segalanya dan berusaha memahami maksud mereka, padahal aslinya tidak ada niat sama sekali. Benar-benar memancing amarah Victor.
“Kuasumsikan kalian sudah menemui pihak kerajaan sebelum datang kemari,” ujar Arthur setelah menyesap teh.
Kepala Uskup mengangguk. “Kemarin kami bertemu dengan Yang Mulia Raja untuk membahas hal ini. Kurang lebih, kami sudah mengetahui kronologi penyebab rencana pertunangan ini tidak kunjung dilaksanakan.”
“Kami ingin membicarakannya dengan anda selaku pihak yang menolak rencana pertunangan ini,” tandas Helenina tegas, “kami benar-benar ingin perintah ini dapat berjalan dan tidak diabaikan begitu saja oleh umat-Nya. Kita tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi bila kita melanggar perintah-Nya.”
Arthur meletakkan cangkir teh di meja dengan kepala mengangguk-angguk kecil, paham. “Jadi, akhirnya kita sudah sampai untuk membahas inti permasalahannya, huh.”
“Grand Duke, kami mulai khawatir dengan permasalahan ini. Sebelumnya, Yang Mulia Ratu menyetujui rencana pertunangan. Namun satu minggu lalu, tiba-tiba beliau berubah pikiran atas dasar alasan pribadi yang tidak kami ketahui. Ditambah pula dengan penolakan dari anda, kami—“
“Yang Mulia Ratu berubah pikiran karena menyadari adikku tidak pantas menjadi kandidat calon Ratu, Uskup Benedictus,” celetuk Arthur langsung memotong begitu saja membuat tiga pihak gereja di hadapannya membulatkan mata, “aku sudah menduga hal seperti ini akan terjadi, maka kuberikan bantuan untuk mendukung keputusan kedua Ratu.”
Pernyataan Arthur menimbulkan kontradiksi. Ini tentu bertentangan dengan sikap Victorique yang langsung menyetujui pertunangan. Victorique juga melemparkan pernyataan yang mengatakan ia menyetujuinya demi memenuhi perintah Tuhan, meski memang ia tidak memberi statement mempercayai kebenaran dari mimpi Kepala Uskup. Dikatakan Victorique berubah pikiran seminggu lalu, maka jangka waktu dua minggu sebelum perubahan pikiran itu cukuplah panjang. Banyak kemungkinan yang bisa terjadi.
Salah satunya pernyataan dari Arthur tersebut.
Sayangnya, pihak gereja tidak mendapatkan penjelasan detail penyebab Victorique berubah pikiran. Semua pecahan masih berkontradiksi satu sama lain. Terasa tidak ada yang pas. Hal ini menjadi pertanda rencana pertunangan atas perintah dan restu Tuhan ini tidak akan berjalan lancar ke depannya.
“Memang benar aku memandang Raja dan Ratu mulai tidak waras saat surat perintah pertama itu datang, tepat di hari pemakaman orang tuaku. Siapa juga orang waras yang mengajukan pertunangan pada bayi baru lahir?” Arthur menyeringai cukup lebar, “siapa juga orang waras yang membiarkan adik baru lahirnya ditunangkan begitu saja?”
Ya, ini akan menjadi permasalahan terpanjang yang pernah ditangani oleh gereja St. Church.
TO BE CONTINUED