Jika Hera mempunyai pilihan, dia sungguh tidak ingin pergi mengirimkan surat balasan Lizzy kepada Gideon. Perasaan pasrahnya kemarin menjadi sia-sia. Hera masih takut untuk memenuhi permintaan Lizzy karena Hera tahu bagaimana konsekuensinya bila Arthur tahu.
“Ingat, agar tidak ada yang curiga, kau harus membelikan beberapa makanan atau oleh-oleh untukku. Tapi, pastikan kau benar-benar mengirimkannya di kantor pos, ya,” ujar Lizzy untuk kesekian kalinya kepada Hera, sesaat sebelum Hera memasuki kereta kuda.
Hera memaksakan senyum. Tidak tahu berapa lama lagi dia bisa menanggung segala perasaan merinding yang hinggap di tubuhnya. “Tentu saja, nona. Saya tidak akan lupa dan akan melaksanakannya dengan baik.”
Lizzy tersenyum gembira, mengangguk semangat. “Baiklah, terima kasih, Hera. Aku akan menunggumu kembali. Hati-hati.”
Hera memasuki kereta kuda usai membungkuk sejenak, pamit. Wanita itu berusaha memantapkan diri memenuhi permintaan Lizzy. Jika perasaan ragu dan takut masih hinggap, wajah Hera akan mencurigakan. Dia harus berusaha tenang agar raut wajahnya terkendali. Hera ingat penjaga gerbang sangat teliti, dia tidak boleh kecolongan. Demi Lizzy juga.
Lizzy berbalik badan usai mengantar kepergian Hera. Gadis cilik itu melangkah memasuki rumahnya ditemani Ruri dan Marie. Lizzy berencana menuju ruang belajarnya, menunggu kedatangan gurunya berhubung hari ini Lizzy memiliki jadwal kelas.
Hera akan kembali di siang hari. Kelas akan selesai pukul dua belas. Selama itu, aku tidak memiliki rencana apa pun. Mungkin bermain dengan Pete akan menyenangkan, batin Lizzy di sepanjang langkahnya menuju ruang belajar.
Secara pribadi, Lizzy tidak begitu sering mengunjungi hewan peliharaannya; Pete si burung parkit dan Momo si burung kenari. Dua hewan itu ditempatkan oleh Hera di rumah kaca area taman belakang rumah Lizzy. Letaknya cukup jauh hingga Lizzy sering merasa malas untuk pergi ke sana. Jadi, Lizzy akan pergi hanya ketika dia tidak punya rencana apa-apa atau merasa bosan.
Terkadang, setiap kali Lizzy melihat Pete, ingatannya akan terlempar ke pertemuannya dengan Peter. Menumpuk rasa penasaran dan keinginan untuk segera bertemu kembali dengan lelaki itu. Lizzy tidak melupakan mata cokelat Peter. Mata yang tidak mengekspresikan apa-apa, namun menyembunyikan banyak hal di belakang.
Lizzy tidak tahu apakah dirinya bisa bertemu kembali dengan Peter. Namun, Peter berkata.
“Ya, mungkin kita akan bertemu lagi.”
Jadi, Lizzy memiliki kepercayaan bahwa dia akan bertemu Peter kembali.
“Apa yang sebenarnya kau lamunkan?”
“KYAA!”
Lizzy terkejut setengah mati merasakan dua tangan besar memegang pinggangnya dari belakang. Kemudian, tubuh Lizzy terangkat tinggi meninggalkan lantai. Lizzy sedikit bergetar ketakutan melihat ke bawah, merasakan betapa tinggi tubuhnya diangkat. Buru-buru Lizzy menoleh ke belakang, menemukan wajah datar Arthur.
“K—Kak Arthur? Apa yang kakak lakukan?” tanya Lizzy mencicit pelan karena ketakutan.
“Aku memanggilmu berulang kali, tapi kau diam saja,” jawab Arthur kasual tanpa berniat memutar tubuh Lizzy untuk menghadapnya. Mengangkat adik kecilnya seperti mengangkat boneka. “Apa yang kau lamunkan, huh?”
Lizzy menggeleng cukup kencang. “Tidak, aku hanya menantikan kelasku. Kira-kira Tuan Egard akan mengajarkan apa, begitulah.”
“Hari ini kau tidak ada kelas.”
“Huh? Apa?”
Arthur memutar tubuh Lizzy agar gadis itu berhadapan langsung dengannya. Tanpa mendekap gadis itu, Arthur menjawab. “Aku meminta izin pada seluruh guru di jadwalmu hari ini. Mereka tidak akan datang. Ada yang perlu kubicarakan denganmu.”
“Eh? Kenapa… tiba-tiba sekali?”
Lizzy mulai berkeringat dingin, paranoid mulai menguasai dirinya. Tanpa sadar, mata biru berlian Lizzy memutus kontak dengan mata biru Arthur. Astaga, Ya Tuhan. Jangan bilang Kak Arthur memergoki rencanaku dengan Hera. Makanya dia langsung meliburkan kelasku dan ingin mengajakku ‘berbicara’, oh tidak, matilah aku!
“Ada beberapa hal yang perlu kau ketahui dan kau lakukan. Ini juga mendadak darinya,” ujar Arthur gamang, membuat Lizzy kebingungan. Rasa paranoid gadis itu sedikit buyar.
“Darinya?” tanya Lizzy tidak mengerti.
“Hmm,” sahut Arthur tidak menjelaskan apa-apa. Pria itu mendekap Lizzy, membenarkan posisi gendongannya sebelum melangkah entah ke mana.
Lizzy, adik kecil yang telah melanggar perintah Arthur, berusaha bersikap senormal mungkin dengan mematuhi Arthur. Lizzy melingkarkan lengannya di leher Arthur dengan wajah sepolos mungkin.
Demi tidak menimbulkan kecurigaan pada diri Arthur. Demi menyelamatkan dirinya sendiri beserta Hera.
***
“Kunjungan rutin?” beo Lizzy melongo begitu saja usai Arthur menjelaskan inti topik yang ingin ia bicarakan dengan Lizzy.
“Ya, kunjungan rutin,” sahut Arthur tidak menjawab apa pun membuat Lizzy semakin melongo.
“Apa maksudnya? Satu bulan sekali, aku harus pergi ke istana kerajaan untuk menemui pangeran? Aku? Sendirian?”
Arthur mengangguk kecil. “Ya.”
Tubuh Lizzy membatu di sofa, tak mampu berkata-kata saking terkejutnya. Matanya membulat syok dengan lidah kelu tak mampu berkata. Sementara, benaknya tidak habis pikir memikirkan keinginan Marquis. Mungkin lebih tepatnya perintah daripada keinginan.
Apa yang sebenarnya Marquis pikirkan?
Dua minggu baru saja berlalu sejak Ian dan Lizzy resmi bertunangan, namun mengapa tiba-tiba saja Marquis mengajukan ‘keinginan’ tersebut?
Apa yang—
“Sebenarnya, dia ingin anak bodohnya yang datang mengunjungimu, tapi aku menolaknya,” ujar Arthur membuyarkan benak Lizzy yang berkecamuk hebat. “Dia tidak memiliki hak untuk menginjakkan kaki di wilayah Gilbert. Aku juga sudah menolak keinginan i***t Marquis, tapi begitulah, aku sangat malas berurusan dengannya.”
“Jadi, kakak membiarkanku pergi sendirian ke istana kerajaan sebulan sekali?”
“Ya, mau tidak mau. Sejak dulu, aku tidak pernah bisa melawan keinginan egoisnya. Dia seperti badai merepotkan.”
Badan Lizzy sedikit condong ke depan dengan raut protes. “Tapi, aku—“
“Aku tahu. Kau pun pasti tidak ingin melakukannya.”
“Ya, jadi—“
“Aku juga tidak ingin kau melakukannya. Tapi, aku mulai memikirkannya dari sudut pandang lain. Dan setelah kupikir-pikir, tidak begitu buruk juga untukmu. Daripada memikirkan pergi ke istana, ubah sudut pandangmu menjadi pergi ke ibukota. Kau menyukai ibukota, bukan?”
Lizzy terdiam. Mengerjap kaget mendengar Arthur menyebut ibukota. Satu kata sederhana itu langsung membawa Lizzy ke ingatan pertemuannya dengan Peter. Seluruh rasa tidak setujunya spontan mulai melebur setelah mengingat kenangan tersebut.
Arthur mengembuskan napas pelan. “Kau boleh pergi ke mana pun kau mau di ibukota setelah menuruti keinginan i***t Marquis. Aku tidak akan pernah menghalangimu. Kau juga boleh membeli apa pun di sana.”
Walau senang, ketidaksetujuan Lizzy belum sirna. “Kenapa tiba-tiba? Walaupun setelahnya aku boleh berjalan-jalan di ibukota, aku tetap tidak ingin melakukan kunjungan rutin.”
Alis Arthur langsung menaut, keningnya mengernyit tidak suka. “Ada apa? Bocah tengik itu mengganggumu? Menyakitimu?”
Dada Lizzy terasa berdenyut nyeri mendengar pertanyaan Arthur, tepat sasaran. Seiring nyeri itu menghujamnya, ingatan Lizzy dengan Peter langsung beralih ke Lizzy dengan Ian. Seluruh kenangan yang telah mereka lakukan, baik itu buruk maupun tidak, memenuhi kepala Lizzy. Yang paling Lizzy benci adalah ingatan terakhirnya dengan Ian kala mereka berangkat menuju gereja.
“Aku tidak akan mencintaimu.”
“Aku akan menikahimu dan menceraikanmu setelah kau melahirkan penerus tahta untukku.”
Lizzy sedikit menggigit bibir demi menahan air mata keluar. Tidak ingin Arthur mengetahui apa yang telah Ian lakukan padanya. Siapa yang tahu apa yang akan Arthur lakukan bila ia mengetahuinya? Sejauh perkiraan Lizzy, Arthur pasti akan melakukan hal buruk kepada Ian tanpa pandang bulu. Lizzy tidak ingin keluarganya berselisih dengan keluarga kerajaan.
Sudah cukup dengan keluarga Gilbert memiliki banyak musuh, jangan ditambah lagi dengan keluarga kerajaan. Secara pribadi pun, Lizzy tidak ingin menyakiti hati Victorique. Sang Ratu pasti tak ingin melihat putranya disakiti, bukan? Jadi, biarlah yang sudah berlalu. Lagipula, Lizzy tidak mengharapkan cinta dari Ian.
“Tidak, pangeran memperlakukanku dengan baik,” jawab Lizzy, memaksakan senyum ceria. “Aku hanya merasa akan merepotkan pangeran bila harus menemuinya sebulan sekali. Dia pasti memiliki banyak hal untuk dilakukan sebagai Pangeran Mahkota. Jadi, aku tidak ingin mengganggunya.”
Lizzy berharap, Arthur tertipu.
“Sungguh?” tanya Arthur sangsi.
Lizzy mengangguk. “Sungguh.”
Wajah menyeramkan Arthur mengendur, berganti menjadi ekspresi datar yang biasa dia pasang. Arthur menghela napas panjang seraya menyandarkan punggung ke kursi. “Di suratnya, tertera bahwa bocah tengik itu setuju untuk melakukannya. Jadi, dia tidak masalah dengan kau menemuinya rutin sebulan sekali. Maka, seharusnya dia tidak akan bersikap buruk padamu untuk ke depannya karena sudah menyatakan persetujuannya.”
Lizzy ternganga syok, spontan tergagap. “P—Pangeran setuju? Aku… mengunjungi… dia setuju?”
“Ya,” sahut Arthur lelah, “jika dia memperlakukanmu dengan buruk, kau sangat bisa dan boleh melaporkannya ke Marquis dan Victorique. Mereka akan selalu membelamu di sana.”
“Kenapa sampai sebegitunya… ?”
“Keidiotan Marquis. Ada saja yang dipikirkan pria tua itu.”
Padahal, Lizzy tidak mempertanyakan Marquis. Dia lebih mempertanyakan Ian yang setuju-setuju saja mengikuti keinginan aneh ayahnya. Tidak, Lizzy yakin pasti Ian menolak, namun entah bagaimana cara yang Marquis pakai hingga laki-laki itu pasrah setuju. Maksud Lizzy, Ian sudah jelas menyatakan tidak menyukai pertunangan ini. Maka, sangat aneh mendengar persetujuan Ian.
“Kau akan pergi setiap pertengahan bulan, tanggal dua puluh. Tidak peduli hari libur mau pun hari biasa, kalian akan saling bertemu. Jadi bila tanggal dua puluh jatuh di hari biasa, kelasmu libur,” ujar Arthur sambil memijat pelipisnya.
“Apakah kunjungan itu dimulai sejak… bulan ini?” tanya Lizzy luar biasa takut.
Tolong katakan tidak, katakan tidak! Besok tanggal dua puluh, tolong jangan! jerit Lizzy tidak kuasa.
Sayangnya, Lizzy lupa bahwa takdir tidak pernah berkompromi dengannya.
“Ya, mulai bulan ini. Artinya, besok.”
TO BE CONTINUED
[Happy saturday night, everyone!]