“Johan, kau sudah mengurus permintaanku kemarin?”
Johan mengangguk. “Sesuai permintaan Anda, Yang Mulia. Investasi Anda di perusahaan milik Count Flow dan Count Jefford telah ditarik kembali. Para investor di perusahaan tambang milik Duke Grissham telah saya tangani, kita tinggal menunggu mereka berpaling dari Duke.”
“Tampaknya aku harus sedikit mengurus perusahaanku agar para investor itu memiliki tempat untuk mengalihkan uang mereka,” keluh Ian tanpa mengalihkan perhatian dari lembaran laporan perusahaan manufaktur dan industri miliknya.
“Anda telah lama memercayakan Royal Ophelia ke Duke Achilles. Duke menjalankan perusahaan dengan baik.”
Alis Ian naik sebelah. “Begitukah? Di laporan tahunan ini, tertera Royal Ophelia mengalami kerugian.”
Johan sedikit membulatkan mata. “B—Benarkah? Separah apa kerugian yang dialami?”
“Dua puluh persen, di industri tekstil dan makanan. Tampaknya musim dingin tahun lalu memperparah pabrik karena kekurangan pasokan.”
“Yang Mulia, dua puluh persen masih berada dalam tingkat kewajaran.”
Ian mendengus. “Tidak bagi para investor. Dua puluh terlalu banyak. Atur pertemuanku dengan Duke Achilles di minggu depan.”
“Baik, Yang Mulia.”
Menjelang minggu keempat bulan Januari, tidak banyak yang terjadi. Kehidupan Ian masih seputar kewajiban sebagai Pangeran Mahkota; mengurus tugas kerajaan atas kepercayaan Raja dan Ratu, menyelesaikan kelas pendidikannya, menemani ayahnya menghadiri pertemuan atau menyambut tamu kerajaan, dan melatih teknik berpedangnya. Terkadang, Ian mengunjungi Noah untuk mengatur kelas dan pelatihannya. Sisanya, berkutat di ruang kerja.
Bosan? Tidak. Berbeda dari Noah yang suka menghabiskan waktu di luar ruangan, Ian tidak tertarik berada di luar ruangan. Jika tidak ada urusan, Ian akan selalu berada di ruang kerja, ruang belajar, dan perpustakaan. Tak pernah terlintas dalam pikirannya untuk bermain ke luar istana. Padahal Ian bebas pergi ke luar istana, tidak ada yang melarangnya.
Akan tetapi, beginilah Ian, si perfeksionis yang hanya tertarik bertugas.
Mungkin terkadang pernah terlintas dalam benak Ian, bagaimana rasanya hidup menjadi orang biasa. Tidak mengemban tanggung jawab besar dan hidup bebas. Mungkin masa kecil Ian tidak akan dihabiskan untuk belajar, melainkan bermain dan menggembala di padang rumput. Ian tidak perlu mempelajari politik, filsafat, hukum, dan mengingat seluruh nama buyutnya beserta bangsawan kerajaan. Dan Ian tidak akan bertunangan dengan Elizabeth de Gilbert.
“Ya, aku juga tidak akan mencintaimu.”
Wajah menyesakkan itu, batin Ian geram mengingat raut Lizzy ketika mengatakannya.
Melihat wajah Ian sedikit geram, Johan menegur. “Ada masalah, Yang Mulia?”
“Tidak,” jawab Ian ketus sebelum menghela napas panjang, menenangkan diri. Dia menutup buku laporan perusahaan, lalu menopang rahangnya. “Dia datang hari ini, huh.”
Awalnya Johan tidak mengerti siapa yang Ian maksud. Pria itu memindai seluruh tamu yang akan hadir di istana hari ini. Lantas, menyunggingkan senyum. “Nona Gilbert akan hadir sebentar lagi. Menurut Yang Mulia Raja, Nona Gilbert dijadwalkan berangkat tiap pukul delapan pagi. Jadi, kurang lebih nona akan sampai di istana pukul sebelas.”
Ian mendecak. “Kenapa aku harus menuruti keinginan konyol Raja Bodoh itu.”
“Mungkin Yang Mulia ingin hubungan Anda dengan Nona Gilbert dipupuk sejak dini agar kalian perlahan saling terbiasa satu sama lain. Terlebih, Nona Gilbert baru saja keluar dari kediamannya di umur tujuh tahun. Pasti tak mudah baginya untuk beradaptasi di istana kerajaan.”
“Omong kosong. Dia sudah ke sini beberapa kali dan sangat baik-baik saja. Aku tidak punya kewajiban untuk membantunya.”
Johan tersenyum canggung. “Tapi, Yang Mulia, Anda adalah tunangannya.”
“Lagipula, kudengar dia berteman dengan anak-anak Phantomhive dan Trancy. Merekalah yang seharusnya membantu.”
“Tapi—“
“Oh, aku melupakan anak Weasley. Dia yang paling dekat dengan perempuan itu, jadi seharusnya dia juga yang seharusnya membantu. Bukan aku.”
Apa ini? Kecemburuan? batin Johan bingung berpadu kaget.
TOK TOK
“Saya Ronald. Yang Mulia, Anda harus segera pergi ke taman bunga di Istana Ratu untuk menemui Nona Gilbert. Nona telah menunggu kehadiran Anda.”
Ian menghela napas panjang seraya bangkit berdiri meninggalkan meja kerja. Dia membenarkan jas panjang berwarna merah yang tersampir di pundak. Diikuti oleh Johan dari belakang, Ian melangkah menuju taman bunga di Istana Ratu, taman favoritnya. Dia mendecak pelan di sepanjang jalan, mengingat perdebatannya dengan Marquis. Membicarakan segala hal tentang pertemuan rutin satu bulan sekali ini.
Ian menolak habis-habisan. Tidak ada satu pun yang dia setujui. Tentu saja, Marquis melawannya dengan sangat ketat. Tidak ada dari mereka yang mau mengalah. Lantas, seperti yang sudah-sudah, perdebatan Marquis dan Ian berakhir setelah Victorique datang. Melerai secara paksa. Akhirnya, lagi-lagi Ian pasrah mengikuti kemauan Marquis karena Victorique merasa tidak ada salahnya dengan temu rutin tersebut.
“Tidak ada salahnya, bukan? Sebagai sepasang tunangan, sudah seharusnya kalian sering-sering bertemu,” ujar Victorique kala itu usai melerai suami dan putranya.
“Aku sangat sibuk, Bu! Aku harus memastikan waktuku digunakan dengan benar agar bisa tetap mengerjakan tugasku tanpa memengaruhi kesehatanku. Jika aku harus bertemu dengannya, sekian waktu akan terbuang sia-sia.”
“Huh? Jadi, menurutmu, menemui dan menemani Lizzy itu tidak penting?”
Nada suara dingin Victorique membuat Ian susah menelan ludah. “Bukan seperti itu maksudku. Maksudku, ini terlalu mendadak. Aku harus mengatur ulang waktuku karena jadwalku bertambah dengan acara temu rutin itu. Sebab, lusa aku berniat mengurus perusahaanku karena di hari itu aku cukup senggang. Aku tidak tahu kapan lagi aku bisa cukup senggang. Jadi, setidaknya, bisakah dimulai bulan depan saja?”
“Ian, Royal Ophelia sudah diurus oleh Duke Achilles. Kau tidak perlu terlalu memikirkannya.”
Ian memutar bola matanya kesal. “Ini terkait rencana kita untuk menjebak Duke Grissham. Aku yang mengajukan ide itu, maka aku juga harus melakukannya.”
Marquis mendengus keras. “Sudah kubilang, kau masih memiliki banyak waktu untuk mengurusnya. Kenapa kau sangat buru-buru, huh? Aku yakin itu hanya alasanmu saja karena tidak mau bertemu dengan tunanganmu sendiri.”
Ingin sekali Ian berkata “ya, benar!”, meski percuma saja karena pada akhirnya ketidaksetujuannya tidak akan diindahkan oleh Marquis.
“Sudahlah, Ian. Lagipula kau tidak akan menemani Lizzy seharian penuh, hanya beberapa jam. Beberapa jam tidak akan begitu berpengaruh padamu,” ujar Victorique lelah meladeni pertengkaran keluarganya.
Ian, si anak patuh pada ibu, terpaksa pasrah untuk kesekian kalinya.
Ketika Ian sampai di anak tangga gazebo beton di taman bunga Istana Ratu, Ian menemukan figur Lizzy sedang duduk di kursi meja teh, membelakanginya. Gadis itu mengenakan gaun berwarna ungu dengan cape berwarna hitam. Aksesoris topi kecil berwarna hitam tersemat di sisi kanan kepalanya. Rambut pirang madunya dikuncir ekor kuda menggunakan pita biru muda yang merupakan salah satu kado Ian.
Pita biru yang sangat biasa, namun anehnya merupakan salah satu koleksi desain Madam Red, desainer kondang kerajaan. Mana mungkin Ian melupakan pita itu.
Lizzy menoleh ke belakang sejenak sebelum turun dari kursi, usai diinformasikan kedatangan Ian oleh Hera. Gadis itu menuruni tangga gazebo untuk menyambut Ian. Dengan gerakan feminim namun sedikit kekanakan, Lizzy seolah mengeluarkan aura menggemaskan yang mampu menyihir siapa pun.
Lizzy sedikit mengangkat gaun seraya membungkuk hormat. “Salam untuk Sang Matahari Kerajaan, Yang Mulia Pangeran Mahkota Ivander. Maafkan ketidaksopanan saya karena terlambat menyambut Anda.”
Dari sudut pandang Ian, tidak ada perubahan dalam diri Lizzy. Kesan gadis itu masih anggun dan sedikit kekanakan. Aura cemerlangnya masih menyilaukan. Parasnya masih sama saja, menyesakkan.
“Berdiri,” perintah Ian seraya maju selangkah membuat Lizzy sedikit mundur.
Lizzy memasang senyum simpul menatap Ian, seolah tidak pernah terjadi hal buruk di antara mereka. Ian juga memasang wajah khasnya yang selalu datar, membalas tatapan mata biru berlian Lizzy. Hanya berjarak lima belas sentimeter, tidak ada dari mereka yang membuka suara. Menjadi tontonan Hera, Johan, dan para pelayan istana.
Dalam pandangan orang lain, Ian dan Lizzy tampak manis bersanding satu sama lain meski tidak melakukan apa pun, sekedar saling menatap. Padahal, jauh dalam benak keduanya, Ian dan Lizzy sama-sama memikirkan akting semacam apa yang harus mereka lakukan sekarang.
Johan memang loyal padaku, tapi dia tidak akan berpaling dari ayah. Ayah dan ibu pasti akan menanyainya soal ini, batin Ian lelah, mulai merasa pening memikirkan hidupnya yang telah berubah tanpa kemauannya.
Ian mengulurkan tangan kanannya kepada Lizzy. Memberi gestur meminta tangan gadis itu, sukses membuat Lizzy kaget. “Ayo, salju mulai turun.” ujar Ian.
Baik, tenangkan dirimu, Lizzy. Ini hanyalah akting, akting! batin Lizzy sambil menerima uluran tangan Ian menggunakan tangan kiri.
Ian melangkah menaiki anak tangga dengan menggandeng Lizzy di belakangnya. Sebuah etika pria bangsawan yang sudah seharusnya Ian lakukan, tapi Ian sangat enggan melakukannya. Dia berusaha keras memertahankan sikap tenangnya terhadap Lizzy di hadapan para pelayan demi menyembunyikan duri dalam hubungannya dengan Lizzy.
Lizzy sepenuhnya paham apa yang dilakukan oleh Ian tidak lebih dari akting. Gadis bertubuh mungil itu mengikuti alur sesuai kemauan Ian. Jangan kira Lizzy ikhlas melakukannya. Jika dia bisa kabur pun dia akan melakukannya sejak awal.
Ian dan Lizzy duduk di meja teh gazebo beton. Tempat yang menjadi pertemuan pertama mereka. Tidak ada yang memulai percakapan usai masing-masing duduk. Para pelayan menyusun kue dan cemilan manis di meja serta menyeduh teh. Semuanya tutup mulut, tidak berani menginterupsi keheningan.
“Tinggalkan kami,” perintah Ian usai pelayan menyeduhkan teh.
Para pelayan, Hera, dan Johan undur diri sesuai perintah Ian. Meninggalkan Ian dan Lizzy berdua di gazebo. Dari gazebo, mereka dapat melihat ksatria istana dan ksatria Gilbert berdiri di koridor, siaga berjaga. Para pelayan juga berdiri di dekat mereka. Tidak sepenuhnya meninggalkan Ian dan Lizzy, namun jarak yang mereka berikan lebih dari cukup untuk keduanya.
Lizzy tidak berani bersuara. Lebih tepatnya, tidak ingin memulai percakapan. Percakapan terakhirnya dengan Ian meninggalkan luka dalam hatinya. Luka dan rasa menyakitkan itu masih setia bersarang sehingga Lizzy tak mau menambahnya lagi. Ian yang harus membuka percakapan. Lizzy akan merespon, apa pun yang lelaki itu bicarakan nantinya.
Ian menatap kue jaffa, kue welsh, dan scone yang sangat asing di matanya. Kue-kue tradisional itu tidak pernah disajikan oleh koki istana. Koki istana selalu menyajikan varian kue mewah yang dimodifikasi bahan dasarnya menjadi cokelat hitam untuk Ian. Maka, Ian yakin kue-kue itu dibawakan oleh Lizzy.
Tapi, masa seorang perempuan bangsawan memakan kue tradisional?
“Kau yang membawa kue ini?” tanya Ian akhirnya memecah hening, membuat Lizzy menatapnya.
“Aku membuatnya,” jawab Lizzy seadanya membuat Ian teringat dengan cookies manis buatan gadis itu. “Setelah mendengar tempat pertemuannya di luar ruangan, kupikir akan lebih cocok membawa kue kering. Kue yang dilapisi krim akan terpengaruh udara dingin dan membuatnya tidak nyaman disantap bersama teh hangat.”
Ian tidak memberi tanggapan. Lelaki beriris merah darah itu masih mengamati kue kering buatan Lizzy. Tidak dipungkiri dia cukup trauma memakan kudapan buatan Lizzy. Cookies dan kue Lizzy terlalu manis di lidah Ian hingga Ian merasa akan mual memakannya. Ian sampai repot-repot menyuruh koki mencairkan dua mangkuk cokelat hitam agar dapat menghabiskan cookies dan kue manis tersebut.
Kini melihat kue kering buatan Lizzy membuat Ian ragu memakannya.
“Kue-kuenya tidak semanis cookies dan kue buatanku dahulu,” tutur Lizzy menyadari keraguan Ian, menginterupsi tatapan tajam lelaki itu ke arah kue.
Ian melirik Lizzy. “Sungguh?”
Lizzy mengangguk kecil. “Kue jaffa dilapisi cokelat hitam cair. Kue welsh berisi blueberry kering dan kismis. Sementara, scone tidak terisi apa pun. Normalnya, scone tidak manis, tapi entahlah, aku tidak tahu apakah akan sesuai dengan seleramu.”
Ian tidak percaya, setrauma itulah dirinya terhadap kue manis buatan Lizzy sampai-sampai Lizzy menyadarinya.
TO BE CONTINUED
[Yap, dipotong dulu sampai sini biar nggak kepanjangan. Sabar dulu, ya, guys!]