Niat Baik yang Tak Dianggap

1022 Words
Sepanjang perjalanan, Gendhis merasa ada hal yang tak bisa ia temukan saat kembali pulang ke Mojokerto. Selain kenangan yang hanya ada di Pasuruan, ia juga ingin melihat banyak hal yang tersisa di Malang. Terbersit rasa ingin menolak keinginan ayah untuk kembali ke rumah lamanya. Namun, Gendhis tak berdaya. Ia ingat, tak ada yang menerimanya di Malang. Lantas, harus tinggal di mana jika ia akan membuka tabir misteri kematian Putra nantinya? Berbagai kecamuk membuat Gendhis makin pusing tak keruan. Nyeri sebab terjatuh dan terguling dari anak tangga di rumah mertuanya belum juga hilang. 'Apa yang harus kulakukan sekarang?' pikir Gendhis. Sembari menatap jalanan yang penuh dengan lalu lalang kendaraan, ia kembali memikirkan tentang nama baik suaminya. Ia memejam sebentar, menghalau banyak fakta yang dibeberkan orang-orang mengenai perselingkuhan suaminya. "Yah," panggil Gendhis. Setelah kejadian di lampu merah tadi, baru kali ini Gendhis kembali buka suara. "Kenapa?" tanya Jatmiko. Diangsurkannya tangan ke arah dahi sang anak, memeriksa suhu tubuh putri sulungnya. "Aku baik-baik saja, Yah." Jatmiko mengangguk, lantas kembali fokus pada jalanan yang masih padat merayap. "Akhir pekan begini, banyak orang mau pergi ke Malang. Padahal, berkumpul bersama keluarga di rumah lebih menyenangkan." Gendhis tertohok dengan pernyataan ayahnya. Untuk sesaat ia lupa mengenai Putra. Namun, di detik berikutnya ia mendapat ide cemerlang. "Yah, jika kamu difitnah. Kira-kira apa yang dilakukan oleh ibu?" Sontak saja, Jatmiko mengernyit. Ia menatap Gendhis dengan heran. "Siapa yang berani memfitnahku?" Melihat Jatmiko meninggikan suara, Gendhis akhirnya menegakkan duduk. "Bukan begitu, Yah. Aku hanya bertanya. Apa yang ibu lakukan? Apa pergi meninggalkan Ayah dengan nama tercemar menjadi solusi yang tepat jika itu terjadi?" "Apa yang sebenarnya ingin kamu tanyakan, Nduk?" Gendhis meraih lengan sang ayah, lantas menggenggamnya erat. "Aku yakin, ibu akan tetap berada di sisi Ayah, membantu Ayah bangkit, membersihkan nama Ayah, juga tetap mencintai sepenuh hati, bukan?" Mendengar ungkapan Gendhis, Jatmiko merasa tersanjung. Ia tersenyum, lantas mengangguk. Ia ingat, anak pertamanya itu memang lebih sering memuji saat menginginkan sesuatu. "Apa yang kamu inginkan?" Gendhis mengembangkan senyumnya, lantas mulai berkata, "Aku harus melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan ibu, Yah. Aku ... harus membersihkan nama Putra." Senyum Jatmiko lenyap. Ia kembali fokus pada jalanan, enggak memberi respons atas apa yang diinginkan sang anak. "Ayah, Putra difitnah. Ia tak melakukan hal buruk sekali pun saat bersamaku. Ia memperlakukanku seperti Ayah yang terus memanjakanku. Aku ... tak bisa kembali ke rumah, Yah." Jatmiko mengetatkan rahang. Matanya memelototi jalanan. "Dengar, Gendhis. Ayah dan ibu menikah atas restu keluarga. Hubungan kami bahagia dari kedua belah pihak. Jangan samakan kehidupan kami denganmu yang penuh lika-liku sebab menikah tanpa restu. Itu jelas berbeda jauh." "Sama, Yah. Pernikahanku dan Putra sama seperti pernikahan pada umumnya. Kami menikah atas dasar suka sama suka, sama cinta, saling berjanji untuk sehidup semati. Aku dan Putra sela--" "Cukup, Gendhis, cukup!" Kali ini, suara Jatmiko benar-benar naik lima oktaf. Ia meneriaki anak sulung yang dulu selalu dibangga-banggakan. Sebelum berbicara, Jatmiko kembali menghela napas. "Katakan, apa yang terjadi sebenarnya? Tuduhan apa yang dilayangkan orang-orang pada suamimu itu?" Mendengar pertanyaan Jatmiko, tentu saja nyali Gendhis menciut. Belum tahu faktanya saja sang ayah enggan menerima Putra sebagai menantu. Apalagi jika harus membongkar apa yang dituduhkan banyak orang. "Itu hanya tuduhan tak berdasar, Yah," gumam Gendhis. Telinga Jatmiko menajamkan pendengaran. Untuk sesaat ia berdeham. Ia tahu, ada yang disembunyikan Gendhis. Terlebih sikap Abisatya tadi terus mengusik. "Katakan!" Gendhis termegap. Untuk kedua kalinya, ia kembali dibentak setelah lima tahun silam saat meminta restu setelah dinikahi Putra secara diam-diam. "Putra meninggal. Dia ... bergandengan dengan temannya, Ayah." Sontak saja, wajah Jatmiko memerah menahan amarah. Kini, ia tahu apa yang sebenarnya disembunyikan Gendhis saat Abi menggedor jendela mobil di pertigaan jalan lintas Surabaya - Malang. "Dengan istri pria yang tadi? Apa aku salah?" Pertanyaan Jatmiko berhasil membuat Gendhis kembali terperenyak. Ia bahkan tak berpikir jauh mengenai kejadian tadi akan langsung dihubungkan oleh sang ayah. Tanpa menjawab, Gendhis berdeham demi mengusir jengah. "Aku ... harus kembali, Yah." Jatmiko masih enggan menjawab. Ia memegang kendali setir dengan erat, mencoba menyalurkan kemarahannya pada setir bundar. "Yah ...." Di dekat taman, di perempatan Pasuruan, Jatmiko menepikan Jazz kuning milik anaknya. "Jadi, keputusanmu sudah bulat?" Pertanyaan Jatmiko terdengar begitu bergetar. Bukan getar sebab khawatir atua tangis yang ditahan, melainkan amarah yang memuncak. Untuk kedua kalinya ia kalah oleh pesona Putra. Gendhis mengangguk. Ia mencoba meraih tangan Jatmiko, tetapi diempas. "Ayah, maaf. Bukan maksudku untuk tak ingin kembali ke rumah, ta--" "Aku bukan ayahmu lagi. Kamu bukan keluarga Ambarwati." Sontak saja, pernyataan Jatmiko membuat Gendhis berlinang air mata. Ia terluka entah untuk yang keberapa kalinya. Hatinya perih, sebab terasa dikucuri jeruk nipis pada luka yang menganga. "Ayah, aku butuh Ayah, aku butuh keluarga, Yah. Aku ta--" "Kalau begitu pulanglah! Apa kamu tak sadar dengan perlakuan mertua dan iparmu itu? Mereka sama sekali tak menyukaimu sama seperti aku yang tak menyukai Putra, Gendhis!" "Yang menjalin hubungan aku, Yah. Aku. Aku tahu, mereka tak suka padaku, tapi aku su--" "Sebuah hubungan dibangun bukan hanya pada dua kepala, Gendhis! Tapi dua keluarga! Kalian memang bahagia, tetapi saat salah satunya tak lagi ada, kebahagiaan itu akan hilang dan diganti dengan penderitaan sebab semua masalah akan terus dilimpahkan pada mereka yang tak diharapkan kehadirannya!" Gendhis menangis. Ia tersedu mendengar penuturan ayahnya. Ia tahu betul, ao ayang dikatakan Jatmiko benar adanya. Hanya saja, ia masih tak terima dengan tuduhan yang dilayangkan pada suaminya. "Izinkan aku kembali, Yah. Kumohon. Aku hanya ingin terus berbakti pada suamiku, Yah." "Silakan! Dan ingat! Jangan pernah kembali ke rumah!" Dengan kesal, Jatmiko melepas sabuk pengaman. Ia beranjak dari balik kemudi mobil dengan geram. Smenetara itu, Gendhis berusaha mengejar. Dengan terbata-bata, ia melepas sabuk pengamannya. Lantas, mulai pergi ke luar setelah menarik kunci mobilnya. "Ayah!" panggil Gendhis. Ia terus berlari, mengabaikan sepatu hak tinggi yang sejka kemarin dipakai berekreasi. "Tunggu, Ayah!" Jatmiko yang sudah kadung sakit hati, segera memberhentikan pengendara dengan seragam ojek online. Sembari menepuk bahu sopirnya, ia melirik Gendhis yang masih mengejar. Melihat sang ayah sudah dibawa jauh oleh pengendara ojek online, Gendhis pun meluruh ke tanah. Tangisnya belum juga reda. Lukanya belum juga sembuh, ia harus kembali menelan pil pahit ditinggalkan keluarga. "Apa salah jika aku ingin membersihkan nama baik suamiku sendiri, Yah?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD