5. Karma Bagi Mereka yang Tak Setia

1037 Words
Setibanya Abi di rumah, ia tak mengindahkan banyaknya kerabat yang datang. Ia acuh tak acuh pada jasad yang berada di tengah ruangan. Tanpa mau melihat, ia langsung masuk ke kamar. Jam masih menunjuk ke angka dua belas malam, tetapi Abi merasa begitu lelah. Matanya berat. Bahkan, untuk sekadar menatap langit-langit kamar seperti malam sebelumnya pun ia tak sanggup. Lantas, ia telah tertidur meski guntur dan kilat belum juga reda gelegar dan kilatan cahayanya. Sementara itu, Ida masih terus membacakan doa, memanjatkan banyak ampunan bagi anaknya yang malang. Hanya Ida Kemala. Sisanya, hanya menatap iba sembari mencebik manja. Mereka tak benar-benar tulus membina ikatan besan. Jika saja Abi tak bersikeras menikahi Rania, Hanum dan Dinata telah menyiapkan seorang perempuan dari keluarga terhormat sebagai calon istri yang istimewa. Endra yang tiba bersama Abu turut duduk di samping Ida Kemala. Ia merasa begitu sedih akan kepergian Rania. Satu hal yang dipikirkannya, adalah tentang bagaimana Abi akan menjalani hidup tanpa sosok Rania. Endra tahu betul, Abi tak bisa hidup tanpa Rania. Ia tahu, bagaimana jiwa Abi terguncang puluhan tahun silam. Tepat saat sang kakak melihat sendiri pengkhianatan yang dilakukan orang tuanya. "Abi, Endra ... kalian bisa tinggal denganku. Dengan ibu di rumahku. Kita akan terus bersama," ajak Rania. Permainan detektif yang dilakukan ketiganya kala itu terhenti saat melihat orang asing keluar dari kamar orang tuanya. Tergopoh-gopoh, ia keluar sambil merapikan rambut yang basah serta napas yang memburu. Lantas, tamparan demi tamparan. Caci maki serta cemooh menjadi sarapan si kakak-beradik kala itu. Hingga akhirnya, Ida Kemala datang dan memeluk Abi dengan erat. "Apa boleh aku tinggal bersamamu, Rania?" tanya Abi kecil. Matanya tak henti-hentinya menangis sebab menyesali kekagumannya pada kedua orang tua, kesombongannya pada teman-teman akan suksesnya ayah dan ibunya. "Kita bisa bicara pada Ibu, nanti. Tapi aku yakin Ibu akan mengizinkanmu tinggal bersamaku." "Bawalah Abi dan Endra tinggal bersamamu, Ida. Aku ... akan membiayai anakmu juga. Kamu tak perlu bekerja, biarkan aku yang menanggung semuanya. Sebagai gantinya, kamu harus mengasihi mereka selayaknya anak sendiri," ucap orang tua Abi. Ida yang awalnya memang seorang pelayan, mendapat amanah lebih besar. Ia harus mengasuh dua anak majikannya yang menderita trauma. Bagaimanapun juga, tawaran keluarga Mahawira tak bisa ia tolak mentah-mentah. Bersamaan dengan itu, Abi yang mendengarnya merasa marah. Tangannya mengepal erat. Ia benar-benar tak menyangka, orang tuanya membuang ia dan Endra. Untuk pertama kalinya, Rania hadir sebagai tameng saat jiwa Abi rapuh terbakar amarah. Rania mendekat, lantas meraih tangan Abi yang mengepal erat. "Tanganmu kuat, ya? Kita bisa main tinju dengan ini. Kamu suka olahraga?" Rania yang tampak keibuan selalu mengelus punggung Abi hingga reda amarahnya, sedangkan tangannya yang lain memeluk pundak Endra. Perlahan, Abi mampu melepas amarahnya. Namun, tiap kali ia melihat orang tuanya, amarahnya seakan-akan siap meledak. Hanya Rania, yang mampu memotong sumbu peledak dari kepala Abi. Tepukan pada bahu, membuat Endra terkesiap. Ia menatap Hanum lekat. "Ya, Bu?" "Bacalah surat Yaasin," perintah Hanum. Ia mengangsurkan buku bacaan kecil pada Endra. Endra mengangguk, lantas mulai membaca dengan khidmat. Bersama Ida Kemala, Endra menemani jasad Rania yang akan disemayamkan keesokan harinya. *** Sementara itu, keluarga Jatmiko baru saja tiba di rumah sakit Jl. Sajid saat jam menunjukkan pukul 12.27. Jatmiko yang diperam gelisah lantas melangkah panjang agar bisa sampai lebih cepat, setelah turun dari mobilnya. Ambar yang baru keluar dari kabin mobil bagian belakang, terkejut saat mendapati sang kakak yang duduk bersandar pada mobilnya. "Ayah! Kakak ada di sini!" Sontak saja, Jatmiko dan istrinya menoleh. Keduanya tersentak sebelum akhirnya berlari mendekat. Ambar telah lebih dulu sampai di depan sang kakak. Ia menggenggam tangan sang kakak dengan erat. "Kak, ada apa? Apa yang terjadi, Kak?" Melihat sang anak tak berdaya, Jatmiko lantas berdeku. "Gendhis. Bukankah sudah berulang kali ayah katakan? Ayah dan Ibumu tak bisa melihatmu seperti ini, Nak." Tanpa banyak bicara, Jatmiko membawa putrinya dalam pelukan. Ia menangis saat Gendhis kembali terisak. "Jangan katakan apa pun. Menangislah. Menangis saja dalam pelukan ayah. Ayah ada bersamamu, Gendhis." Sang ibu--Wati, ia tak mampu berdiam diri. Ia mengajak Ambar untuk menggali informasi pada pihak rumah sakit. Bersama Ambar, Wati mencoba bertanya-tanya pada banyak petugas kesehatan. Sayangnya, tak ada yang tahu tentang pasien bernama Gendhis. "Ibu, coba kita tanyakan tentang Kak Putra." Hampir saja Wati buka suara, saat Ambar melihat Puri berjalan sembari menundukkan kepala. Di depannya, brankar didorong bersamaan dengan beberapa petugas kesehatan. "Bu, itu Puri." Tanpa menunggu, Ambar menyusul Puri. Tangannya meraih tangan Puri yang bersedekap, lalu memutar badan iparnya. "Apa yang terjadi?" Melihat keluarga Gendhis sudah berada di sana, Puri menyeringai. Ia bahkan tak habis pikir tentang kakak iparnya yang tak menceritakan hal sepenting ini pada keluarga dengan segera. "Apa lagi? Untuk apa kamu bertanya? Bukankah kamu dan kakakmu itu sama? Kalian hanya memikirkan diri kalian sendiri. Lihat buktinya. Gendhis bahkan tak menceritakan apa pun padamu." Air mata Puri menetes. Hatinya teramat perih mengingat bagaimana ia ditelantarkan oleh sang kakak yang memilih menikah daripada membahagiakannya dan ibu. Lantas, kini ia mendapat fakta baru bahwa Gendhis pun menelantarkan sang kakak. Bahkan, saat kematian telah menjemput Putra. "Jaga bicaramu, Puri. Bagaimanapun, Kak Gendhis adalah kakak iparmu! Aku hanya bertanya ada apa. Harusnya kamu tak perlu membesar-besarkan masalah." Wati yang melihat Ambar mulai meledak-ledak pun mendekat, lantas menyentuh bahu anak gadisnya dengan lembut. Meski tanpa bicara, ia tahu Ambar akan paham apa maksud dari sentuhannya itu. Merasa disentuh, Ambar pun menghela napas besar. Ia mengutuk emosinya yang tidak stabil serupa dengan sikap sang ayah yang keras, sedangkan sang kakak yang mirip sekali dengan ibunya. "Lihat. Kalian bahkan tak berbelasungkawa padaku. Aku dan ibu telah kehilangan tulang punggung. Aku dan ibu tak lagi punya kebanggan yang bisa membuat kami bahagia. Putra ... oh, bukan. Kakak iparmu, menantu keluarga Jatmiko telah berpulang." Usai mengatakan hal itu, tentu saja Puri segera beranjak. Ia meninggalkan Ambar dan Wati yang terlongong-longong sebab keterkejutannya yang tak terduga. "Ta-tapi bagaimana itu bisa terjadi?" Ambar pun akhirnya berinisiatif untuk mencari keterangan lain pada perawat yang bertugas. Namun, belum juga ia sempat bertanya, gosip yang digaungkan telah tersebar ke telinga mereka. "Iya, yang baru saja kecelakaan, kan? Kupikir awalnya mereka adalah suami istri. Ternyata, saat keluarga korban dikabari, mereka punya pasangan resmi. Begitulah karma memperlakukan mereka yang tak bisa setia pada kekasih halalnya. Mereka mati bersama dan akan dikenal sebagai pasangan selingkuh sampai kapan pun juga."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD