bc

Margaretha van der Lijn

book_age0+
231
FOLLOW
1.4K
READ
dark
fated
sensitive
student
drama
tragedy
bxg
like
intro-logo
Blurb

Namaku Margaretha van der Lijn. Orang-orang mungkin akan kaget mendengarnya, tapi biarlah mereka tahu bahwa aku ini adalah hantu Belanda yang hidup bergentayangan selama ratusan tahun di dunia. Selama itu pula, aku kesepian; nelangsa benar takdir yang mesti aku jalani. Sampai akhirnya ratapanku didengar. Semesta sudi mempertemukanku dengan Nay Ridu Manik, anak perempuan yang bisa melihatku. Lalu, kuputuskan untuk mengikutinya. Sebab dia bisa menjadi jembatan untuk jiwaku yang penasaran, kembali pada Tuhan. Hubungan kami menjelma semacam simbiosis mutualisme. Manik akan membantuku mencari apa yang hilang dari diriku saat meninggal dahulu, dan aku—dengan senang hati aku mengajari anak ini bagaimana caranya lelaki pribumi harus diperlakukan; aku ingin dia membenci mereka.

chap-preview
Free preview
BAB 1 : Satria Kawirangan
“Naik sendiri, Neng?” Gadis itu mengangguk singkat—dengan mulut yang masih terkunci rapat-rapat. Sejak tiba 20 menit lalu di basecamp ini, ia sama sekali belum mengatakan sepatah kata pun. Hanya orang-orang yang berbaik hati bertanya padanya, mau anggap ia sebagai wujud nyata yang benar-benar ada di sana. “Emangnya enggak takut?” Petugas simaksi kembali bertanya, sembari memeriksa formulir yang diserahkan oleh si gadis. “Orang-orang mah paling sedikit muncak berdua. Tapi ada juga sih yang sendirian, cowok.” Kali ini, gadis itu hanya diam. Tak merespon melalui gerakan kecil macam apapun. Yang pada akhirnya membuat si petugas simaksi mengalah, “Neng bisa baca ini, pantangan yang enggak boleh dilakukan selama mendaki.” Lelaki yang kiranya berusia sekitar 40 tahunan itu, menyerahkan selembar kertas berisi peraturan-peraturan yang mesti ditaati oleh pendaki. Gadis pendiam itu menerimanya, dengan kepala yang terangguk mengerti. Lalu pergi dari loket simaksi. Petugas yang tadi berada di dalam loket, keluar untuk mengamatinya. Aneh sekali gadis muda tersebut karena berani mendaki, seorang diri saja. Namun, masih banyak pendaki aneh lainnya yang sering lelaki itu jumpai. Barangkali, begitulah cara anak-anak muda jaman sekarang dalam mengobati kesepian mereka; dengan mendaki, dan selangkah lebih dekat pada alam. Atau jangan-jangan, buat menyembuhkan sebuah luka hati? Tak ada yang tahu. Sebab niat mereka tersimpan rapi di relung sanubari masing-masing. Tak ada yang bisa mengorek kecuali Tuhan. “Semoga selamat sampai tujuan.” Ucap si petugas. *** Bagi Nay Ridu Manik, alam merupakan tempat yang paling cocok untuk bermeditasi—merefleksikan dirinya. Bukan berarti ia bersemedi di atas sebuah batu dengan dua telapak tangan yang ditangkupkan. Tetapi dengan diam mendengarkan suara Tuhan melalui pepohonan, rumput, tanah, angin, dan binatang-binatang yang mencari makan pun, itu dianggapnya sebuah meditasi. Cara menemukan satu jiwa yang murni, yang sesungguhnya selalu bersemayam jauh di dalam kita, seperti seekor angsa putih yang malu-malu. Maka darinya Manik perlu menggalinya hingga masuk ke jantung gunung; merelakan diri tersesat di tempat-tempat yang tak berpenghuni manusia.             Manik menyukai petualangan di setiap gunung yang telah ia daki. Sebab hanya lewat petualangan kecil itu, ia jadi bisa belajar banyak hal tentang hakikat hidup. Gunung selalu menyediakannya sebuah perjalanan penuh misteri yang belum pernah ia tempuh. Itu adalah sekelumit alasan mengapa Manik akhirnya bisa berada di gunung ini; Gunung Ciremai. Berbekal carrier yang berisi logistik, dan tentunya tekad yang kuat. Meski seorang diri. Sebab, kehadiran manusia sejujurnya hanya akan mengganggu keseimbangan emosional Manik saja. Maka dari itu, ia lebih nyaman berpetualang sendirian. Dalam mendaki Gunung Ciremai, Manik memutuskan untuk menjajal jalur Palutungan. Tak sependek jalur Apuy, dan tak jua selelah jalur Linggarjati. Jalur ini mengingatkan Manik pada sebuah film yang kontroversial, The Hunger Games bagian kedua. Di mana para pesertanya—The Tributes—dilemparkan ke sebuah hutan tropis untuk saling membunuh demi bertahan hidup. Mengerikan memang, namun entah mengapa justru rasa ngeri itu memberikan sensasi tersendiri bagi Manik; membawa sebuah kepuasan yang tak bisa dijelaskan lewat kata-kata. Ia senang melihat orang-orang yang mempunyai tipu muslihat di kepala mereka, mati dengan cara-cara yang aneh. Film tersebut memberi makna pada Manik, bahwa manusia dapat berubah menjadi makhluk paling berbahaya di bumi. Lebih-lebih dari makhluk jahat yang diciptakan oleh antek Presiden Snow itu sendiri. Gila, memang sebuah film yang gila, kata batinnya. Manik terus berjalan. Ia begitu fokus pada medan di hadapannya yang akan membawanya ke pos IV, yang tentu makin terjal dari Pos I, II, III, IV dan V. Setiap kali naik gunung, Manik tak pernah memberi target pada dirinya untuk sampai tujuan sesuai dengan waktu tempuh. Misalnya saat di bawah sana, dari gapura Palutungan menuju Pos I Cigowo sebetulnya dapat dijangkau dalam waktu dua jam. Tapi Manik sampai di Cigowo setelah 3 jam berjalan kaki sendirian. Gaya mendakinya memang santai. Lagi pula, apa yang mau diburu selain pengalaman dan pelajaran di setiap perjalanan? Sembari menghirup udara yang terasa membersihkan paru-parunya, Manik pun memasang headset di kedua lubang telinga. Ia paling suka mendengar lagu-lagu klasik dari musisi kesayangannya, Phil Collins. Another Day in Paradise, Can’t Stop Loving You, Do You Remember adalah sederet lagu yang sering ia nikmati. Manik punya jiwa yang vintage meskipun masih berusia muda; sisi yang jarang ia perlihatkan di depan umum. Tetiba, ada seorang pendaki perempuan yang lewat di sisinya. Perempuan itu memakai kaos dan celana pendek hijau lumut, dengan carrier yang tercangkol di punggungnya. Manik spontan melepas headset. Keningnya berkerut. Perempuan itu menyusulnya. Itu berarti, jarak dari waktu naik mereka sangat berdempetan. Tetapi seingatnya, Manik tidak melihat pendaki perempuan lain di basecamp beberapa jam yang lalu. Perempuan itu juga tidak berhenti untuk saling sapa dengannya, walau ia sendiri lebih memilih buat tak bertegur dengan siapapun. Atau jangan-jangan, perempuan itu sudah memanggil-manggilnya tadi? Hanya Manik saja yang tidak menengok karena sedang asyik dengar lagu. Rasa sungkan itu selalu ada setiap kali Manik ingin bersikap ramah pada orang—seperti ada saja hal remeh menghalanginya. Manik takut, cemas, dan khawatir pada respon mereka terhadapnya. Maka, Manik putuskan untuk tak perlu ikut campur pada urusan orang. Biarlah perempuan itu menikmati perjalanannya sendiri. Namun saat Manik hendak memasang headsetnya lagi ke masing-masing telinga, ada seorang pendaki perempuan lagi melewatinya. Tunggu, bukankah perempuan ini adalah pendaki tadi? Bagaimana mungkin dia lewat dua kali? Tanpa berpikir yang macam-macam, Manik mengejar si pendaki perempuan itu dan agak sedikit berlari. Meski jalur tak terlalu lebar, namun Manik paksakan untuk berjalan bersampingan. “Hai, Mbak.” Sapanya dengan nada yang ia harapkan cukup bersahabat, namun perempuan itu tidak jua merespon tegurannya. “Halo.” Manik melambaikan tangannya di depan wajah itu. Tetapi nihil. Jadi, ia putuskan untuk berhenti berhalo-hai hanya untuk mengubah topik pembicaraan, yang barangkali bisa membuat si Mbak angkat bicara. Aneh saja rasanya kalau mereka satu jalur, tetapi tidak saling berkenalan. Paling tidak berkenalan sesuai cara Manik yang sering kaku pada orang. “Mbak, solo hiking juga?” Manik menengok ke belakang mereka, namun tak ada tanda-tanda ada rombongan lain yang menyusul. Terakhir kali ia meninggalkan basecamp, hanya ada sepuluh orang pendaki lelaki yang masih tinggal. “Atau pergi sama teman, tapi Mbak jalan duluan?” Perempuan itu hanya melirik Manik sekilas, kemudian pandangannya lurus-lurus lagi ke jalanan. Manik terdiam. Apa ia punya salah? Sebab coba lihat—tadi, lirikan perempuan ini begitu tajam padanya. Seolah-olah Manik hanya datang untuk mengganggu. Merasa sadar atas ketidaknyamanan orang lain akan kehadirannya, membuat Manik mundur alon-alon. Selalu saja begini tiap kali Manik berniat membuka obrolan dengan orang lain. “Maaf ya Mbak kalau ganggu.” Manik menundukkan kepala sedikit. “Aku duluan. Semoga nanti kita bisa ketemu di tempat camping Pos VI, ya.” Katanya, sebelum kedua kakinya mulai berjalan dengan cepat, mendahului perempuan tersebut lagi. Ya sudah, lebih baik ia memang tetap solo hiking saja. Kan memang sudah takdirnya begitu. Manik yang diciptakan hanya untuk berkawan dengan sepi. Manik kini berjalan tanpa headset, supaya kejadian tadi tidak terulang lagi. Telinganya super waspada kalau-kalau ada pendaki lain yang lewat, ataupun memanggilnya. Namun justru suara binatanglah yang ia dengar, meski samar-samar. Seperti ringkikan kuda yang berlari, anehnya jejak-jejak kaki kuda itu seolah terasa menggetarkan tanah di sekitarnya. Manik pun jadi berhenti. Khawatir jika tanahnya mengalami pergeseran, atau bahkan longsor. Tetapi ternyata tidak, normal kembali. Manik lalu impulsif menoleh. Loh, perempuan yang tadi itu ke mana perginya, ya? Jarak mereka pasti tidak sebegitu jauh, masih bisa terpandang oleh mata. Nyatanya, si Mbak malah hilang dari jangkauan pandangan Manik. Apakah mungkin perempuan itu membuka jalur baru? Buktinya, mereka sudah berpapasan dua kali. Lagi-lagi, Manik memutuskan untuk tak terlalu ambil pusing. Demi menjaga kestabilan mental dan pikirannya agar tetap selaras dengan kondisi fisik. Manik tidak boleh sedetik saja membiarkan dirinya goyah. Dan dengan keyakinan yang kuat itu, kedua kakinya akhirnya tiba di Pos IV Pasanggrahan I. Ada bekas tenda yang malam lalu didirikan di lapangan yang cukup luas ini. Tetapi kini tidak ada apapun yang tersisa, hanya serakan daun-daun kering yang cantik berbaring dengan ikhlas pada kelembapan tanah. Tanpa buang-buang waktunya lagi, Manik mendirikan tenda, dengan cukup cepat. Ilmu ini ia dapatkan karena sering melihat cara orang-orang yang lebih berpengalaman kala naik gunung. Manik tidak meminta mereka mengajarinya, namun ia cukup jadi pengamat saja—bagaimana mereka memerlihatkan trik yang aman untuk survival di hutan. Kini, meskipun tenda sudah berdiri, tapi Manik juga tetap memasang hammock yang diikatkan dari satu pohon—ke pohon lainnya; gerakannya sangat gesit. Lalu, Manik masuk ke tenda untuk mengganti pakaian. Setelah itu memersiapkan alat buat masak. Kompor, air, nasi, minyak goreng, sosis, tempe juga kopi dikeluarkannya dari dalam carrier. Epik. bayangkan seharian ini ia telah memanggul carrier seberat kurang lebih 20 kilogram, sejauh lebih dari 2000 mdpl. Karena itulah mungkin punggungnya kini terasa pegal. Maka Manik pun menempelkan masing-masing selembar koyo cabai, di beberapa titik. Sembari tangannya membuka risleting tenda. Ia akan masak di depan tenda saja, sekalian berjaga. Banyak orang bilang, di jalur daki Palutungan, Pos IV Pasanggarahan I ini banyak dihuni oleh babi liar. Kawanan babi tersebut suka sekali menyeruduk tenda pendaki. Manik tak terlalu takut, kecuali kalau babinya sebesar banteng. Nyala api yang dikeluarkan dari kompor, dan tempe goreng yang sedang dimasak pasti memancing beberapa hewan malam untuk keluar. Penasaran dengan manusia yang sedang melakukan sesuatu. Sudut matanya pun menangkap beberapa ekor tupai yang meloncat di pepohonan. Dari dahan ke dahan lain. Seperti sedang mengajaknya bermain dengan malu-malu. “Hei, sini.” Manik pandai berinteraksi dengan hewan jinak hasil penangkaran, atau yang liar karena dibesarkan di alam. Darah mudanya benar-benar belum bisa merasakan rasa takut pada apapun. “Aku punya banyak makanan, mau?” Dalam bahasa Sunda, tupai adalah bajing. Jenisnya yang ia jumpai di gunung ini ialah tupai akar. Biasanya, mendiami hutan di batas 1500 mdpl. Tapi beruntung Manik bisa lihat di ketinggian lebih dari 2000 mdpl. Akhirnya, seekor tupai yang ia panggil meloncat turun—mendekat. Tupai ini punya warna punggung yang cokelat kemerahan, ekor kehitam-hitaman dan perutnya yang warna abu-abu kekuning-kuningan. Barangkali pula tubuhnya cuma seberat 100 gram saja. Nasi Manik yang sudah matang dicomotnya kemudian ia letakkan di atas telapak tangan. Lalu kini tanpa malu-malu lagi, tupai akar itu makan di atas telapak tangan Manik. Tupai juga suka makan nasi, jadi mereka makan bersama—si tupai akar dan juga Manik sendiri. Setelah selesai, mereka sama-sama cuci mulut dengan beberapa buah rambutan yang segar. Tupai akar itu lantas pergi dari depan tenda Manik sehabis memakan rambutannya yang kelima. Usai makan malam, Manik menyeduh kopi. Kemudian ia membaringkan tubuhnya di atas hammock, dengan kedua lengan yang menjadi bantal untuk kepalanya sendiri. Ah, alam rimba—kekuatan paling magis yang ada di muka bumi tempat manusia tinggal. Betapa Tuhan yang Maha Esa telah begitu murah hati dengan menganugerahkan semua kekayaan dari alam raya ini. Manik menarik udara malam yang dingin tetapi sejuk, kelopak matanya tanpa sadar terpejam. Seperti dirayu angin untuk segera terlelap dalam kantuk yang hebat. Cahaya bulan purnama, Terjun ke dalam bayang-bayang pepohonan, Menyingkap memori lama yang menari dalam ingatan, Membasuh lelah di sekujur tubuh, yang kuyup akan anugerah Ilahi; dalam perjalanan mengarungi degup jantung kehidupan.             Baginya, yang terbaik dari sebuah malam di gunung adalah kesunyian dan puisi; dengan nasi yang dimasak, kopi hitam yang terseduh, dan tempe yang digoreng pakai bumbu bawang putih tadi. Puisi adalah lagu terbaik untuk menutup hidangan-hidangan tersebut. Sebab puisi adalah—suara ringkik kuda.             Eh? Bukan, bukan. Manik spontan membuka kelopak matanya, lalu bangun dari posisi berbaringnya tersebut di atas hammock. Puisi bukanlah suara ringkik kuda, namun tadi ada suara ringkikan kuda yang didengarnya lagi. Lebih samar-samar seperti dihembus oleh angin, tapi rasanya begitu dekat di sisi telinga. Tak mungkin ada kuda di gunung ini, kan? Tiba-tiba suasana malam itu menjadi sedikit berubah. Ada sebuah angin besar yang datang menghantam muka tendanya, Manik nyaris saja terloncat, sebab tendanya juga hampir terjuangkal ke arah belakang. Sementara di sekelilingnya tak ada angin besar yang mengembus daun-daun di pepohonan. Jantung Manik menjadi berdetak-detak tak karuan. Ada apa ini? Tak biasanya gunung menjadi agak tidak ramah begini padanya. Merasa situasi semakin tidak kondusif, Manik akhirnya memutuskan untuk masuk ke dalam tenda, lalu merisletingkan tendanya rapat-rapat dari atas ke bawah. Sementara tubuhnya sendiri kini telah berbaring, beralaskan matras, dengan selimut terbentang sampai menutupi dagu. Manik mencoba tidur, dan berusaha keras agar kepalanya tidak memikirkan kemungkinan apapun. Tapi tetap saja, seluruh syaraf di tubuhnya justru jadi sangat waspada—yang memaksanya untuk selalu terjaga. Maka tak ayal, kuping Manik menjadi dua kali lebih sensitif. Rasanya lama sekali Manik berbaring tak bisa tidur, tapi saat ia melirik arloji—Manik hanya menghabiskan waktu sepuluh menit dari terakhir kali ia masuk ke dalam tenda. Wah, kacau. Mengapa pula waktu jadi ikut-ikutan menjelma teror? Manik menahan napas. Dari kejauhan, ia mendengar suara langkah-langkah kaki. Sepertinya ada pendaki lain yang akan sampai di Pos IV Pasanggrahan I. Syukurlah, supaya ia tak jadi satu-satunya pendaki yang mendirikan tenda di tempat ini. Dengan pemikiran itu, Manik merasa sedikit tenang. Maka ia bisa terpejam, hanyut dalam malam yang entah mengapa kali pertama itu mencekam Manik. Lantas Manik jatuh lebih jauh pada tidurnya sendiri; abai pada suara bagong yang mengendusi udara, kaki-kaki mereka yang menyepak tendanya—mengeruk tanah, dan pada suara cekikikan perempuan di luar sana. Beberapa jam berlalu. Manik kemudian bangun dari tidurnya. Jarum jam di pergelangan tangannya menunjukkan pukul empat subuh. Dengan agak lemas, Manik memersiapkan alat-alat untuk memasak sarapannya, sebelum ia mulai naik lagi. Manik membuat nasi, telur goreng, sosis pakai saos, dan s**u hangat. Ia akan menyimpan barang-barangnya di tenda saja, untuk meringankan beban yang mesti dibawa sampai ke puncak nanti. Lumayan, hemat energi. Setelah kenyang sarapan, Manik keluar dari tenda usai memasukkan botol air dan roti ke dalam tas kecil yang kini ia gendong. Lalu terheran-heran. Tidak ada tanda-tanda pendaki lain yang mendirikan tenda di sini. Lalu suara yang ia dengar semalam itu apa? Apa mungkin para pendaki langsung naik ke puncak untuk mengejar sunrise? Lagi-lagi, keanehan tersebut membuat Manik bingung. Belum lagi, ditambah dengan rintik gerimis yang tiba-tiba datang di Ciremai. Kondisi langit yang gerimis membuat tanah menjadi licin. Untung saja Manik telah siap dengan jas hujan dan senter di kepala. Sebelum pergi, Manik merapalkan doa di dalam hati kepada Sang Pencipta; untuk memohon keselamatannya di mana pun ia berada. Setelah itu baru ia melangkahkan kedua kakinya kembali—langsung menanjak, tanjakan yang makin lama makin curam. Sekarang ini sudah memasuki pukul lima pagi, Manik memperkirakan ia bakal sampai puncak di pukul sekitar setengah delapan pagi. Barangkali bisa lebih lama dari itu karena medan yang semakin sulit untuk dilalui. Saat Manik akhirnya sampai di Sanghyang Ropoh, ia terkejut dengan kedatangan rombongan pendaki tak jauh dari balik punggungnya. Mereka mengobrol kencang sekali sampai pendengaran Manik pun bisa menangkapnya. Lalu rombongan itu kian mendekat, Manik menyeka wajahnya yang kena bias air hujan agar bisa melihat dengan jelas. “Ayo, Mbak—sedikit lagi sampai ke puncak, lho.” Segerombolan pendaki yang menyapa Manik di tengah jalan itu tertawa-tawa, seolah turunnya hujan membuat mereka bahagia. Para pendaki itu memakai pakaian yang seragam dari kepala sampai kaki. Agaknya tergabung dalam satu komunitas pecinta alam yang sama. Jumlahnya 12 orang, dan kelihatan sangat dekat satu sama lain. Manik spontan bersikap tertutup, “Iya, Kang, mangga naik duluan saja.” Angguk kepalanya dengan sopan. Tanpa memandang mereka lama-lama. Sebetulnya, puncak Ciremai masihlah cukup jauh dalam hitungan Manik. Tak sempat bertanya apa mereka langsung akan langsung naik ke puncak tanpa mendirikan tenda, atau bagaimanalah sistemnya. Lagi pula, Manik tidak mau memberi hambatan untuk pendakian orang lain jika dirinya sendiri kini malah selambat siput. Biar mereka sendiri-sendiri saja. “Kami duluan ya, sampai ketemu di atas.” Manik membalasnya dengan menganggukkan kepala lagi. Kemudian, suasana menjadi khidmat kembali bersama rintik-rintik hujan yang tipis. Sejak tadi, kabut tidak mau pula tersingkap—seperti penjara yang memerangkap Manik dalam gigil. Pandangan matanya pun agak terganggu. Cahaya senter rupanya tak banyak membantu. Namun beruntung Manik bisa sampai di Goa Walet 30 menit kemudian. Menurut informasi tentang Ciremai yang Manik baca, Pos Goa Walet punya satu sumber air yang airnya sering diambil oleh para pendaki. Meski harus turun ke bawah melewati bebatuan yang cukup curam pun. Tapi Manik masih punya stok air yang mumpuni di dalam tasnya, jadi tak perlulah ia turun. Namun saat Manik melirik ke mulut Goa Walet yang dilewatinya, ia sekilas melihat seekor harimau belang yang sedang duduk. Merasa tak yakin, Manik mengucek-ngucek kedua matanya dengan jari tangan. Harimau itu sudah tidak ada. Eh, benarkah tadi yang dilihatnya harimau sungguhan? Atau barangkali hanya ilusi semata? Manik hanya bisa angkat bahu, lalu berjalan lagi menyusuri medan yang kali ini seperti—medan yang dilalui Frodo Baggins dan Samwise Gamgee kala hendak menuju Gunung Doom untuk melempar cincin Sauron ke dalam kawah apinya. Terjal, curam, edan. Manik mengatur napas, dan juga kedua langkah kakinya agar tak tersangkut-sangkut di antara bebatuan tersebut. Batu-batu cadas ini sangatlah berbahaya kalau pendaki tidak hati-hati dengan pergerakannya. Ada pula beberapa orang yang nyalinya hebat mendirikan tenda di Pos akhir ini. Kondisi geografis di Jawa Barat membuat gunungnya menjadi ekstrem-ekstrem. Napas Manik kini satu-satu. Tetapi sinar matahari yang mulai menunjukkan hadirnya, memberi semangat yang lebih pada diri Manik. Gadis itu menanjak terus—menghantam jalan berbatu seperti karang. Hingga akhirnya, puncak gunung kini telah berada di depan matanya. Kini Manik berdiri tegak di puncak Gunung Ciremai, yang memiliki ketinggian 3.078 mdpl ini. Puncak Gunung Ciremai mengelilingi sebuah kawah yang indah. Pemandangan dari atas sini sangat luar biasa. Beberapa pendaki di sana sini terlihat sedang mengambil gambar. Manik memutuskan untuk duduk, dan minum. Ia tak pernah menyangka bakal mampu mendaki beberapa gunung besar di usianya yang masih terbilang muda. Sering sendirian pula. Sekarang, usianya hendak menginjak 17 tahun. Dalam 3 tahun terakhir, ia telah mendaki beberapa gunung yang ada di Indonesia. Seperti Papandayan, Sindoro, Lawu, Salak, hingga solo hiking di Arjuno. Yang dilakukannya sekali lagi di Gunung Ciremai ini. Lama ia terduduk di sana, bercengkrama dengan landscape Tuhan yang sungguh Maha. Rasa lelahnya terbayar sudah. Meski perasaannya agak sedikit mengganjal, karena ia tak melihat orang-orang yang sebelumnya bertemu dengannya pada saat perjalanan mendaki. Di mana mereka? Perempuan itu juga segerombol pendaki yang berseragam? Setelah puas berada di puncak, Manik memutuskan turun di tepat pukul 11 siang. Melewati Goa Walet, Sanghyang Ropoh, dan Pasanggrahan II, Manik membutuhkan waktu lebih lama; sekitar 3,5 jam perjalanan. Jam di pergelangan tangannya sudah menunjukkan pukul 14.30 saat Manik tiba di tenda. Usai makan dan mengemas perbekalannya kembali ke carrier, Manik siap menempuh jalan pulang. Ia harus segera sampai di basecamp sebelum matahari tergelincir di langit. Kalau tidak, ia akan terjebak gelap. Apalagi, jalur Palutungan begitu terkenal dengan medan yang rapat akan pepohonan. Hutannya masih sangat asri. Entah mengapa, Manik merasa lebih kesulitan saat turun daripada naik. Padahal pendaki lain, sangat menyukai perjalanan pulang mereka karena katanya terasa cepat. Tapi Manik kebalikannya. Hujan subuh tadi sudah berhenti, cahaya mentari pun sempat menaungi Ciremai. Namun, saat ini langit kembali menggelayut gelap. Dan kian gelap saja kala Manik sudah hampir sampai di Cigowo, setelah ia berhasil melewati jalan-jalan di Tanjakan Asoy, Arban, Pangguyangan Badak serta Kuta. Bahkan, sudah gelap sepenuhnya karena Manik kini memakai headlamp di kepala. Perhitungannya benar-benar meleset. Ia terjebak malam. Jamnya bahkan telah menunjukkan pukul 19.15. Mendadak, kabut turun makin tebal. Udara juga kian menggigilkan tubuh. Namun Manik harus tetap bergerak. Ia tadi sempat melihat sesuatu. Ada yang sedang bergerak dari satu pohon ke pohon yang lainnya. Barangkali itu adalah hewan yang ada di gunung ini. Manik pernah melihat lutung atau monyet, dan berpikir mungkin itu mereka. Tetapi sudut matanya punya opini lain. Manik menangkap sosok monyet besar yang matanya bersinar merah—dengan taring berliur di masing-masing sisi mulutnya. Jantungnya berdetak, makhluk apa itu? Dan lagi, suara ringkikan kuda kembali menghampiri pendengarannya. Saat Manik mengarahkan senter di kepalanya ke arah sumber suara, ia bisa melihat beberapa perempuan jelek dengan jubah hitam melayang-layang. Mengepung sisi kiri juga kanannya; mengamati setiap langkah kakinya dengan amat tajam. Spontan, bulu kuduk Manik meremang, langkah kakinya menjadi semakin berat dari waktu ke waktu. Bahkan beberapa kali sempat terjeblos pada tanah merah. Manik punya sebuah kesimpulan, yang meskipun pahit namun harus ia terima; bahwa ia sedang tak berurusan dengan manusia—tetapi makhluk tak kasat mata; makhluk halus! Di hatinya yang terdalam, Manik memanjatkan doa yang tidak ada habisnya pada Tuhan. Ia harus tenang, agar tak ada kecelakaan apapun yang terjadi. Namun semakin ia berusaha untuk tidak mengacuhkan mereka, maka gangguan yang ia terima semakin kuat saja. Mereka kian menjadi dengan menunjukkan wujud jelasnya. Bahkan, beberapa kali nampak di tengah jalan untuk menghadang langkah Manik. Kepalanya pening bukan kepalang, dengan perut yang terus bergolak mual, pelan namun pasti Manik mulai kesulitan menguasai dirinya. Rasa takut menjelajah sampai masuk jauh ke dalam tubuh. Manik takut—sangat takut. Mengapa jalan pendakiannya kali ini berakhir dengan mengerikan? Semua ini seperti mengingatkannya akan masa-masa sulit yang telah lalu, tepat ketika cakranya dulu terbuka. Saat gangguan mulai hebat, gadis itu berlari dengan tersaruk-saruk. Begitu panik seperti tengah dikejar sekawanan bandit. Sepatunya yang terantuk batu membuat Manik limbung lalu jatuh berguling-guling di tanah. Tubuhnya terasa remuk redam. Dalam keadaan yang telentang, sembari melihat atap hutan yang gelap, Manik merasakan ada banyak energi yang mencoba menyedotnya pada sebuah kelemahan. Lalu, energi tersebut mewujud pada begitu rupa sosok. Sosok-sosok yang kini mengerubungi tubuhnya yang berbaring di tanah. Mereka semua berbentuk macam-macam, dari yang utuh sampai rusak. “Ya Tuhan, apa aku harus mati di sini? Dengan cara seperti ini?” Manik terengah, ada tangan-tangan busuk yang mencoba menjamahnya. Jari-jari kuku yang panjang menjalar ke wajahnya—terasa sangat dingin. Tetapi ketika itu, Manik bisa melihat satu demi satu setan-setan ini pergi. Atau lebih tepatnya, diusir oleh seorang lelaki tua. Beberapa yang bandel, terpukul jatuh saat berkelahi bersama si lelaki tua tersebut. Ia ditolong oleh seorang kakek-kakek yang berpakaian serba hitam, dengan sebuah ikat khas Sunda yang melilit di kepalanya. Kakek itu kini berhasil mengusir makhluk-makhluk mengerikan yang berusaha menjangkau tubuh Manik. Lantas kemudian, Manik dibantunya untuk segera bangun. Mula-mula kakek itu merapalkan sesuatu di atas kepalanya. “Turunlah segera.” Ucapnya dengan serius. “Gunakan tenagamu yang tersisa untuk tiba di pemukiman manusia.” Bagaimana mungkin? Manik begitu lelah. Tubuhnya terlalu remuk untuk sekadar digerakkan. Manik tidak sanggup lagi— “Ayo, Nak. Ayo.” Seakan tahu jika Manik sudah pesimis, lelaki tua itu kian kukuh mendorong Manik. Agar Manik cepat pergi dari area tersebut. Area yang dekat dengan sebuah gua. Namun sebelum pergi, Manik masih sempat menengok. “Kakek siapa?” Lelaki tua itu diam sebentar sebelum menjawab pelan pertanyaan Manik; “Aku adalah Satria Kawirangan.” “Sekarang, kamu harus segera pergi.” Sambungnya penuh kemisteriusan. “Tapi ingat, jangan pernah menengok ke arah belakang.” Maka, seperti terpecut oleh sebuah kekuatan, Manik mulai melangkahkan kakinya lagi. Setengah berlari. Ia terus berlari melewati jalan-jalan yang licin, yang sesekali membuat tubuhnya jatuh terpeleset. Manik berusaha keras untuk abai pada suara panggilan-panggilan di belakang punggungnya. Hingga Manik kini bisa melihat lampu bohlam dari kejauhan. Bau kotoran sapi pun menusuk hidung, makin jelas tercium olehnya. Kemudian,  ia ambruk di sana seperti karung padi yang dijatuhkan dari pundak. Tapi, saat Manik membuka kedua mata—rasanya hanya sedetik dari ia terjatuh tadi—ia sudah dikelilingi oleh banyak orang. Kali ini manusia. Menurut orang-orang yang menemukannya di samping kandang sapi para penduduk, Manik telah hilang di Gunung Ciremai selama tiga hari. Mereka semua mencari-carinya. Termasuk dengan kedua orangtuanya yang menginap di salah satu rumah warga. Manik bangun, memegangi kepala yang sakit, dan badan yang terasa lebur. Manik terperanjat dan nyaris saja berteriak kencang-kencang. Sebab di belakang punggung mereka semua, Manik melihat banyak hantu yang tengah menyeringai padanya. Sejak kejadian mistis yang dialaminya di Gunung Ciremai, hidup Manik berubah total; kembali pada masa di beberapa tahun yang lalu. ***

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Dependencia

read
186.9K
bc

When The Bastard CEO Falls in Love

read
370.4K
bc

Kupu Kupu Kertas#sequel BraveHeart

read
44.2K
bc

MY ASSISTANT, MY ENEMY (INDONESIA)

read
2.5M
bc

DIA, SI PREMAN KAMPUSKU ( INDONESIA )

read
471.3K
bc

Om Bule Suamiku

read
8.8M
bc

Crazy In Love "As Told By Nino"

read
280.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook