Tiga

1262 Words
Jesty panik, ia sampai menegakkan tubuhnya. Asik melamun, pasrah, mendiami dan nurut sama orang di sampingnya. Ia sampai tidak sadar, jika jalan yang di lalui Elwin bukanlah jalan menuju rumahnya. Point pentingnya. Mana tahu Elwin jalan rumahnya? “Ini bukan jalan rumahku?” gumam Jesty. “Hmm.” “Kau mau membawaku ke mana? Kau mau menculikku ya?” “Rumah saya.” “Rumahmu?!” teriak Jesty, heboh. “Wah, kau benar-benar sudah gila.” “Rumah saya sepi.” “Hah!” “Tidak ada yang akan mengganggu.” “Mengganggu?” “Kalau kita mau macam-macam.” Sepasang mata Jesty melotot sempurna. “Aku mau turun! Cepat turunkan aku!” hilang sudah keformalan ya, inilah Jesty yang bar-bar. “Hmm, padahal saya hanya bercanda tadi.” “Bercandanya enggak lucu! Sama sekali enggak lucu!” “Ke rumah Saya, ya?” Jesty menggelengkan kepalanya. “Enggak mau. Aku mau pulang sekarang, titik!” “Oke.” Senyum Jesty terbit. Akhirnya ia akan lepas dari orang ngeselin ini. Pria ngeselin yang humornya tidak lucu, garing wak. Namun senyuman itu harus luntur kala Elwin melanjutkan ucapannya. “Kalau Jesty bisa memanjat pagar itu.” Elwin menunjuk arah belakangnya. Oh no! Jangan bilang ... “Ini di rumahmu?” Jesty menoleh ke arah kursi pengemudi, kosong. Bergegas Jesty keluar dari mobil. Tak ia dapati si ngeselin Elwin, hanya seorang satpam berdiri di dekat pos satpam. “Pak, buka pagarnya dong! Saya mau pulang!” “Maaf, Mbak. Den Elwin tidak mengizinkan Saya buka pagar untuk Mbak tanpa seizin beliau.” “Enggak usah peduliin dia Pak. Buka pagarnya buat Saya, ya,” mohon Jesty, wajahnya ia buat seolah tengah mengiba. “Saya tidak mau di pecat mbak!” “Saya juga tidak mau di sini, Pak!” rengeknya. “Kalau begitu mbaknya masuk ke dalam aja.” “Ayolah, Pak! Tolongin saya.” Satpam itu menggaruk lengannya. “Tetap Saya enggak bisa, mbak!” Jesty menghentak-hentakkan kakinya kesal. “Ya sudah. Awas ya Pak! Kalau terjadi sesuatu sama saya di sini, bapak bakalan repot berurusan sama polisi. Camkan itu!” peringat Jesty sebelum mengambil langkah menuju pintu utama yang terbuka setengahnya. Dia harus cari Elwin. “Woy! Adakah manusia di sini?” Tidak tahu arah tujuannya mencari Elwin, Jesty memilih berteriak. Ia tidak mungkin mencari di setiap ruangan ‘kan? Cara lebih cepat adalah berteriak. Good. “Elwin ... Elwin ... Main yuk!” Teriaknya, ngawur. Yah, antara ngawur dan jengkel sih sebenernya. ‘Kan dirinya mau pulang. Malah terkurung di sini. “Ehem.” bunyi deheman di belakang tubuhnya, membuat Jesty langsung berbalik. “Dari mana kau ini?” Dengan santainya Elwin menunjuk Jendela besar yang tertutup gorden tipis berwarna putih tepat di samping pintu utama. “Kau dari tadi di situ?” “Ya.” Jesty berkacak pinggang. “Kenapa kau meninggalkanku sendirian di luar?” “Ada satpam.” Oke, itu benar. Ia tidak sendiri tadi. “Kau mengurungku di sini. Lepaskan aku, aku mau pulang!” “Pintu itu terbuka.” Wajah Jesty memerah, bukan karena malu. Amarahnya sudah mencapai ubun-ubun. “Kau pikir aku laba-laba. Bisa panjat pagar setinggi itu. Kemudian melompat semudah tupai. Aku ini perempuan, masih gadis pula, mana bisa aku begitu!” “Ya sudah.” Jesty melongo atas tanggapan Elwin, capek-capek dirinya protes, hanya di balas dua kata. Wah, perlu di pertanyakan kewarasan pria itu ternyata. Elwin menggelengkan kepalanya, ia melewati Jesty, menaiki tangga menuju lantai atas. “Hei, kau tidak bisa seperti ini?” “Aku mau pulang!” “Tunggu, aku!” “Kau mau ke mana?!” Walau sulit mengejar langkah kaki Elwin, Jesty tidak menyerah begitu saja. Seperti kata orang, usaha tidak akan mengkhianati hasil. Dirinya berhasil sampai di depan pria ngeselin itu. Jesty diam sesaat lalu menyatukan kedua telapak tangannya seraya menutup kedua matanya. Jika dengan suara keras ia tidak berhasil membujuk Elwin agar mengizinkannya pulang maka suara lembut syarat akan permohonan jadi pilihannya. “Please, Tuan Elwin yang terhormat. Izinkan saya pulang. Saya rindu rumah saya, saya rindu kamar saya, terutama pada kasur, bantal dan guling kesayangan saya. Saya mohon, pulangkan saya,” pinta Jesty dengan bahasa formalnya kembali. Menunggu ... 1 detik. 2 detik. 3 detik. Tidak ada jawaban dari Elwin, Jesty membuka kedua matanya. Tepat saat itu, Elwin juga tengah menatapnya. “Mau pulang?” Elwin melangkah maju. Jesty yang tidak ingin terlalu dekat dengan Elwin otomatis melangkah mundur. “Y-ya,” jawab Jesty, sedikit tersendat. Wangi dan tatapan serius pria di depannya ini membuatnya gugup. Seperti mengulang kejadian di mobil tadi. “Apa balasan untuk saya, jika saya izinkan pulang?” “Ba-balasan?” “Mungkin satu ciuman di pipi.” “A-apa mak-maksudmu?” “Di mata?” “Kau bicara a-pa,sih?” Elwin menghentikan langkah kakinya, ia mengulurkan tangannya di depan wajah Jesty. Menangkup sisi wajah gadis itu. “Atau ... di bibir?” Ujar Elwin. Dengan berani, jempol miliknya membelai bibir bawah Jesty. Lembut, hingga membuat Jesty terbuai dan tidak bisa berkata-kata lagi. “Jes ... ty,” panggil Elwin. Suaranya berubah parau. Jesty terpaku. Ia belum sadar betul mengenai perbuatan yang Elwin lakukan. Membuat sang pelaku tersenyum kecil melihat keterdiaman korbannya. “Aw, sakit!” Elwin menyentil dahi Jesty, hal yang cukup ampuh untuk menyadarkan Jesty. “Sebegitu terpesonanya pada saya, sampai diam seperti patung.” “Dih, enggak usah pede ya!” “Pembohong,” gumam Elwin, “Ish, aku enggak bohong!” “Tapi ...” “Ta-tapi ... Emm,” Jesty menggigit bibir bawahnya, ia tidak tahu harus beralasan apa. Tidak memungkin sekali jika dirinya harus jujur. “Ya itu, pokoknya aku mau pulang,” alihnya. Masih belum sadar, habis dapat kecup-kecup manja. Biarlah. “Boleh. Buka pintu itu.” Elwin menggerakkan kepalanya sedikit ke belakang. “Pin-pintu?” “Pintu kamarku.” “Kau menjebak ku lagi!” Sial, ia terperangkap lagi. “Kekaguman mu membuatmu tidak sadar apa pun.” “Siapa yang kagum denganmu, hah?!” “Aku tidak bilang begitu,” Balas Elwin santai. Tidak peduli lagi, Jesty melangkah menuju pintu. Ia coba turunkan ganggang pintu dan mendorongnya, berharap pintu tersebut bisa terbuka. Sayangnya, harapan tinggallah harapan. Terkunci. Rasanya ia ingin menangis sekarang. Huu ... “Aku menyerah,” lirih Jesty, hilang sudah kesabarannya. “Aku tidak tahu apa yang kau inginkan dariku. Kalau memang tadi malam aku membuatmu kesal, aku minta maaf. Aku hanya menolong temanku. Aku tidak punya maksud lain. Hanya itu.” Tubuh Jesty bergetar, ia tidak mampu lagi menahan air matanya. Luruh sudah air mata itu. Elwin mendekati Jesty. Ia balik tubuh Jesty agar menghadapnya. Kemudian ia bawa gadis itu dalam rengkuhannya. Jesty tidak memiliki tenaga lagi untuk berontak. Kali ini ia biarkan Elwin memeluknya. Mungkin nanti pria itu sadar dan melepaskannya. “Aku mau pulang.” Jesty mencengkeram pakaian depan Elwin. Tak ia gunakan tangannya membalas pelukan pria itu. Mana sudi dirinya. Benar, rencana ketiga. Menggunakan air mata buaya. “Aku enggak mau di sini,” ucap Jesty sembari sesenggukan. “Aku tidak mau ada di sini. Apalagi denganmu.” “Jesty.” “Baru kali ini aku di perlakukan buruk seperti ini. Kau jahat padaku. Padahal kau orang asing, aku tidak mengenalmu tapi kau tega,” lanjut Jesty, ia pukul d**a Elwin. Sebagai lampiasan kekesalannya. “Pokoknya aku mau pulang!” “Saya akan mengantarmu pulang. Tapi nanti ya. Temani saya dulu di sini.” Jesty membuka mulutnya ingin menyuarakan ketidaksetujuannya namun bibirnya harus kembali terkatup setelah mendengar lanjutan ucapan Elwin yang mampu menggetarkan hatinya. Dan membuatnya sedikit luluh. “Saya kesepian Jesty. Saya butuh kamu.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD