Empat

1429 Words
Jesty menyesali mulutnya, mengiyakan permintaan Elwin tanpa berpikir dulu. Ini nih, akibatnya jika mudah kasian sama orang. Apalagi tuh, si pria aneh bin songong itu pinter banget bikin raut muka sedih. Atau dirinya yang mudah ketipu ya? Ah, entahlah. Capek kalau di pikir. Akhirnya. Pintu kamar mandi itu terbuka. Yaps, setelah acara mohon memohon itu Elwin berpamitan untuk mandi. Meninggalkan Jesty kebosanan dalam ruangan bernama kamar ini. "Tuan raja atau Tuan putri sih, mandi kok hampir satu jam." Elwin berjalan ke arah Jesty sembari menggosok-gosok rambut basahnya. Jangan berharap Elwin toples dan hanya memakai handuk di bagian bawah saja ya. Jesty sudah memperingatinya tadi, untuk membawa baju ganti sekalian ke kamar mandi. Ganti di kamar mandi. "Sebentar kok." "Sebentar apanya! Nih, kakiku sampai lumutan nungguin," tunjuk Jesty ke arah kedua kakinya. "Kan duduk." "Iya duduk. Tapi 'kan capek juga. Bosen, liat televisi enggak ada yang bagus." "Ada Netflix. Bisa nonton drama Korea." "Aku enggak suka drama Korea. Aku suka dangdut," ketus Jesty. Bukan ia membenci drama, cuman jika di pikir-pikir hidupnya sudah rumit, susah, ngapain nonton drama yang nantinya bisa membuatnya nangis atau iri. Nangis karena kisah sedihnya dan iri karena keromantisannya, maklum jomblo. "Kenapa? Ayudia suka drama Korea." Elwin berulah, Tidak melihat wajah kesal Jesty, Elwin malah membanding-bandingkan. Tidak tahu apa, bahwa setiap manusia di dunia ini tidak suka dibanding-bandingkan dalam hal apapun. Huh, sudah kesal ditambah kesal lagi. "Tidak semua wanita seperti Ayudia, Elwin," ujar Jesty disertai penekanan. "Udah ah, kalau gini aku mau pulang aja. Kesal banget di sini." "Jangan. Jesty mau apa? Berenang mau. Di belakang ada kolam renang," cegah Elwin, mencoba membujuk Jesty. Jesty tidak jadi beranjak dari tempat duduknya. "Mau menghinaku ya?" tuduhnya pada Elwin. "Kenapa?" "Aku itu enggak bisa berenang!" teriak Jesty tepat di telinga Elwin. Sungguh bar-bar sekali perempuan ini. "Aku tidak tahu." "Buat apa tahu coba, enggak penting." Jesty menelisik Elwin yang kini duduk di sebelahnya, ia melototi Elwin begitu melihat kebiasaan yang tidak ia suka. "Ish, kok handuknya dipangku sih. Lihat tuh, bajunya jadi basah." Elwin menunduk, melihat kondisi bajunya sendiri. Benar, bagian lehernya ke bawah basah tapi tidak banyak. "Sebentar." Jesty berdiri dan mengambil sesuatu di meja dekat lemari. Hairdryer. Ia kemudian menghampiri Elwin lagi. Langsung mengambil tempat di belakang Elwin, menduduki sandaran belakang sofa. "Biar aku keringkan, colokin dulu." Kebetulan di tembok dekat mereka ada colokan listrik. Kamar Elwin cukup luas, letak ranjangnya berada di pojok kiri, nempel dengan tembok. Di sampingnya ada pintu kaca menuju balkon, dan di samping pintu kaca geser itu, ada lemari berukuran sedang berbentuk L. Di sebelahnya ada lemari besar. Lalu ada meja ukuran sedang. Di samping meja ada nakas yang panjangnya mentok sampai ke dinding pojok. Diatasnya nakas tersebut ada televisi tersembunyi di dalam dinding. Di depan nakas dan televisi tersebut, ada karpet di gelar. Sangat lembut karpetnya. Lalu ada pintu masuk. Dekat pintu masuk ada sofa panjang berbentuk L karena terletak di pojok ruangan juga. Terakhir ada pintu kamar mandi. Kamar yang sangat rapi dan bersih untuk ukuran kamar laki-laki. Termasuk golongan kamar yang Wow juga. Lihat aja furniture tambahannya. Seperti lampu tidur, lampu utama, hiasan dinding, dan lain-lain. Kelihatan sekali mewah dan mahal. "Alat ini harus di gunakan sebaik mungkin. Punya kok enggak di pakai. Padahal ya, yang enggak punya ini tuh kepingin punya loh." "Biasanya aku pakai kok." "Terus kenapa sekarang enggak di pakai?" "Kan ada Jesty, nanti nunggunya jadi lama lagi." Enggak tahu kenapa, wajah Jesty jadi bersemu. Sadar sesuatu, Jesty menggelengkan kepalanya. Dalam otaknya, mulut manis para lelaki, enggak boleh dipercaya ,apalagi si Elwin ini punya pacar. Dan itu teman dekatnya sendiri. Perlu bangun tembok tinggi dan tebal nih. Biar enggak ada yang mudah masuk dalam hati. Aku kamu an lagi sekarang. 'kan bikin mudah goyah. Huh, semoga tidak goyah. Hati bekerja sama lah dengan baik. "Kok rambutnya halus." Kekesalan Jesty bertambah, ia jadi iri. "Aku yang perempuan aja kalah lembut. Sering ke salon ya?" Dengan polosnya, Elwin menggelengkan kepalanya. "Pakai sampo." "Enggak mungkin pakai sampo bisa selembut ini." "Aku enggak bohong Jesty, lihat aja ke kamar mandi kalau Jesty enggak percaya." "Pegang dulu. Aku mau lihat." Jesty menyerahkan hairdryer ke tangan Elwin. Jesty meloncat turun dari sofa, berjalan menuju kamar mandi. Penasaran rahasia lembut sampo yang di gunakan Elwin, bisa ia tiru nanti. Sampai di kamar mandi, Jesty melongo di buatnya. Jiwa iri nya langsung keluar saat itu juga. Gila. Kamar mandinya tidak kalah mewah dengan kamar mandi para artis yang sering ia lihat di televisi. Bahkan menurutnya ini lebih mewah. Ia tidak mengerti. Se sultan apa si Elwin ini. Enggak kamarnya, enggak kamar mandinya. Bikin iri. Ada bathtub, shower, closed yang bisa kebuka sendiri. Semua tertata apik dengan furniture mewahnya itu. Sungguh kamar mandi impiannya. "Kok diam?" "Aku boleh mandi di sini ya? Aku mau coba kamar mandi kayak kamar mandi artis ini, boleh?" "Boleh?" "Boleh berendam juga?" Elwin menganggukkan kepalanya. "Mau pakai aroma terapi juga?" "Ada memangnya?" "Ada. Biasanya aku pakai juga. Aku ambilkan ya." Elwin keluar kamar meninggalkan Jesty, yang masih menatap kagum kamar mandi di rumah Elwin. Berbeda sekali dengan kamar mandinya, yang cuma bak mandi dan closed jongkok. Tak berapa lama, Elwin datang. "Biar aku siapkan. Mau air hangat atau air biasa?" "Hangat." Jesty memperhatikan Elwin yang tengah menyiapkan air untuk berendam dirinya. Pria itu juga menjelaskan, tombol-tombol mana saja yang di putar akan keluar air panas atau pun air dingin. Tahu aja kalau dirinya ini kudet, alias kurang update. Bau harum semerbak sekali di kamar mandi ini. Bikin rileks. "Sudah." Elwin menyingkir hingga memperlihatkan bathub yang sudah terisi. Ada kelopak bunga mengambang di sana. Jesty jadi tidak sabar untuk berendam. "Wah.. hebat juga!" Puji Jesty, membuat senyuman terukir di wajah Elwin. "Sebelum berendam bersihkan diri dulu ya. Di bawah shower sana." "Iya, aku tahu kok." "Aku juga bawakan baju ganti." "Mana?" "Di samping westafel." "Baju itu milik--" tahu kemana arah tujuan perkataan Jesty, Elwin pun memotong. "Bukan. Baju kakakku." "Perempuan?" "Iya." Jesty ber oh ria. "Aku kira bajunya si Ayud." "Enggak. Ayudia enggak pernah ke rumah." Jesty terkejut mendengarnya. "Pasti enggak pernah di ajak?" "Iya. Aku enggak mau." "Sama pacar sendiri kok gitu," heran Jesty. Penasaran, hubungan seperti apa yang mereka jalani. Kayaknya aneh. "Itu enggak apa bajunya aku pakai. Aku takut yang punya marah." "Enggak usah takut. Dia enggak ada di sini. Dia ada di luar negeri. Enggak pernah pulang ke sini." "Hah, syukurlah," lega Jesty mendengar hal itu. Bisa rumit urusannya kalau yang punya tidak suka bajunya ia pakai, ia buluk gini, jauh dari kata cantik. "Habis mandi mau makan apa?" "Makan?" "Ya, biasanya habis berendam pasti lapar." "Aku boleh minta apa saja 'kan?" Kali ini jiwa gratis Jesty muncul. Ia suka yang begini-begini. Gratisan dan traktiran,siapa yang enggak suka? "Boleh." "Gratis." "Iya." "Yes!" Jesty berteriak senang. "Sini ponselnya. Biar aku yang pesan!" Elwin menyerahkan ponselnya pada Jesty. Kesempatan ini tidak akan ada lagi 'kan nantinya? sayang kalau enggak di pergunakan sebaik mungkin. Jesty memesan makanan yang ingin sekali ia coba, tapi enggak mau mencoba karena malas beli. Mau beli lewat go food, ongkirnya mahal. Kan jadi sayang, padahal makanannya murah. Jadi senang punya temen sultan begini. Temen? Yah, anggap aja Elwin temannya. Salahnya, ia di kurung di sini dengan alasan butuh teman. Berarti Elwin juga menganggap dirinya teman dong! Enggak salah ia menganggap yang sama juga. "Mau pesan apa?" tanya Jesty, tentunya ke Elwin. Pria yang sedari memperhatikan gerak-gerik Jesty. Sesekali senyum kecil terukir di bibir pria itu dengan binar mata yang tidak bisa di sembunyikan. Sejujurnya, ada apa denganmu Elwin? "Jesty. Bisa panggil aku Mas Elwin?" Dahi Jesty mengerut, tapi ia mengangguk saja. Kebetulan ia lagi senang ini, dan seharusnya ia memang panggil Elwin Mas seperti tadi malam. Elwin lebih tua darinya. Bentuk kesopanan. Lain lagi kalau Elwin membuatnya kesal, enggak bakalan mau ia panggil begitu. Hilang sudah rasa sopannya. "Mas Elwin, mau pesan apa?" Elwin semakin mengembangkan senyumnya mendengar penuturan Jesty. "Nasi Padang saja." "Kok sama. Aku juga lagi mau nasi Padang." Elwin tidak membalas. Namun senyumnya tak luntur. "Ini ponselnya." Jesty mengembalikan ponsel milik Elwin, kemudian ia menarik tangan pria itu untuk keluar dari kamar mandi. "Mas Elwin keluar, aku mau berendam." cucok 'kan? bukan yang punya rumah tapi bisa usir-usir. Sebelum menutup pintu dan Elwin pergi dari kamar mandi, Jesty berujar, "terima kasih, Mas Elwin." Entah setan apa yang merasuki Jesty, dengan berani mencium pipi Elwin. Seakan sadar dan malu, Jesty menutup pintu kamar mandi cepat lalu menguncinya. Jantungnya berdebar. "Jesty bodoh!" Maki Jesty pada dirinya sendiri. Sementara Elwin, senyum terus mengembang di wajahnya. Arti senyuman itu, hanya Elwin dan Tuhan yang tahu. Kalau kalian? Menurut kalian apa?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD