Enam

1296 Words
Akibat kejahilan Elwin pada Jesty, membuat wanita itu gondok. Jesty mendiamkan Elwin sampai pria itu sendiri menyerah sembari berkata, akan melakukan apapun yang Jesty minta. Alhasil, Jesty meminta untuk di pulangkan ke rumahnya. Kebetulan hari sudah sore dan memang Jesty sendiri merasa dirinya harus pulang. "Harus turun?" Dahi Jesty mengernyit mendengar penuturan Elwin yang ia sendiri tak mengerti. "Maksudnya?" "Harus pulang?" "Aku pulang ke rumah gitu?" Elwin menganggukkan kepalanya. "Iyalah. Ini sudah sore, lagian sudah sampek depan rumahku." "Mas masih bisa jalan." "Dijalankan mobilnya, aku akan benar-benar membenci mas Elwin." "Hmm," gumaman Elwin membuat Jesty memutar kedua bola matanya. "Ya sudah." Jesty pun turun dari kendaraan Elwin. Melewati halaman kecil rumahnya yang tandus. Ingin sekali memperindah dengan tanaman, tapi sayang. Lagi-lagi ia harus pikir-pikir soal itu. Umurnya yang menginjak 24 tahun, membuatnya harus pintar-pintar mengelola keuangan. Dirinya tidak ingin boros, dan berakhir lebih sedih dari hidupnya sekarang. "Rumah Jesty sepi." Jesty di kejutkan dengan suara orang di sampingnya. Tebak di sana ada siapa? "Kok mas Elwin turun mobil!" Yaps, Elwin. "Mas mau, Jesty." "Tapi Jesty enggak mau!" "Enggak ada yang bisa menolak kemauan mas, Jesty." "Ya sudah, Jesty orang pertama kalau gitu!" Ngegas Jesty sembari mengepalkan kedua tangannya. Kakinya pun tidak tinggal diam, menghentak-hentak menunjukkan kekesalan si empunya. "Masuk Jesty. Banyak yang lihat." Tanpa sungkan Elwin membuka pintu rumah Jesty yang sebelumnya telah di buka kuncinya oleh pemilik rumah. "Mas kok enggak sopan sih." Jesty memijat kepalanya, lelah menghadapi tingkah Elwin. Baru pertama kali ini ia bertemu dan mengobrol dengan laki-laki setelah beberapa tahun lulus sekolah, tapi kenapa harus laki-laki seperti ini. Enggak jelas banget. "Mas malu Jesty." "Hah, malu?" Sumpah Jesty tidak mengerti jalan pikiran pria dewasa di depannya ini, beda sekali dengan umurnya. Umur memang tidak bisa menentukan kedewasaan seseorang. "Malu kenapa, Mas?" "Dilihatin banyak anak kecil sama orang bawa gerobak." Mendengar penuturan Elwin, sontak Jesty melihat ke arah jalanan bukan jalanan besar, jalanan kampung yang tentunya banyak anak kecil atau pedagang bahkan ibu-ibu depan teras rumah untuk saling mengobrol. Ah, bergosip pasti. Jesty menggelengkan kepala melihat semua orang menatap dirinya dan pria di sampingnya kini. Semuanya pasti heran, Jesty si anak rumahan pulang-pulang bawa pria. Hah, pasti jadi gosip. Inilah takdir hidup bertetangga. Andai hutan tidak menakutkan ia lebih memilih tinggal di hutan di rumah tepat di belakangnya ada sungai, pasti menakjubkan. "Kan salah mas sendiri. Jesty suruh pulang tapi enggak mau pulang," bisik Jesty. Lengkap sudah. Kejengkelannya bertambah berkali-kali lipat. "Jesty marah ya? tapi Mas mau di sini, Jesty." "Terserah!" Putus asa Jesty sebelum kemudian masuk ke dalam rumah. Tidak peduli akan kehadiran sosok tidak di undang yang tengah asik meneliti rumah sederhananya. Yang jelas jauh bahkan sangat jauh berbeda dari rumah milik pria itu. Jesty berlari ke kamarnya. Langsung on the way ke kamar mandi. Sembari mengomel dengan dirinya sendiri, "Menurut pencarian pintar di internet, entah mau benar atau salah, aku ra peduli, yang penting dari info yang didapat cara menghilangkan stress adalah dengan mandi. Mari kita mandi tubuh tercinta Jesty. Kita bersihkan jejak-jejak pria aneh itu. Ini pasti akibat kita mandi di rumah pria itu 'kan, tubuh? Kita jadi sial sampai sakit kepala. Hah, sial sekali aku hari ini Tuhan!" *** Kali ini Jesty tidak mandi dengan waktu yang lama. Kesadaran diri saja, di rumahnya hanya ada bak mandi kecil dan gayung. Tidak muat untuk dirinya berendam permisah. Tapi cukup untuk menghilangkan kesialan dari jejak-jejak rumah pria itu. Setelah membalut tubuhnya dengan handuk. Jesty membuka pintu kamar mandi berniat keluar. Tapi sayangnya, lagi - lagi dirinya di buat tercengang oleh kelakuan Elwin. Pria itu masuk ke dalam kamarnya, tidak sendiri lagi. Gila! "Jesty." "Kalian mau apa dalam kamarku?" "Jesty." "Apa? Kenapa mas mengajak orang asing masuk ke kamarku?! Kenapa masuk ke sini tanpa seizinku juga?!" Cecar Jesty, ia tak terima sama sekali. "Dio kalau kau berani melihat, aku tidak segan-segan mencongkel matamu di sini." "Aku sudah balik badan sejak dia buka pintu, kau tenang saja." "Hei, kenapa kalian malah ngobrol?! Keluar dari kamarku!" Berang Jesty, ia sudah tidak tahan. Jika barang-barang di kamarnya ini bisa ia jangkau, ia sudah melempari dua pria itu dengan lemari sekalipun. "Jesty, apa yang Jesty lakukan?" "Aku tidak melakukan apapun. Kau yang melakukan kejahatan di sini." "Bukan kau, Jesty. Mas Elwin." "Aku tidak peduli!" Jesty membuang muka. "Tapi Mas peduli Jesty. Mas takut handuk Jesty lepas." "Handuk?" Dahi Jesty mengernyit bingung. Perkataan Elwin tidak nyambung sama sekali dengan kemarahannya. Ditambah lagi dengan raut wajah seperti itu, muka merah. Seperti menahan marah, malu atau pup ya? Dirinya jadi bingung. Tapi sepertinya marah. Mata melotot, sebentar lagi menggelinding tuh, pasti. "Jesty harusnya pakai baju. Bukan han--" "Sialan! Kalian berdua gila!" Pintu kamar mandi kembali di tutup hingga menimbulkan bunyi yang keras. "Kalian berdua pergi dari kamarku. Kalau tidak aku akan mengurung diriku di kamar mandi. Jika nanti ada apa-apa denganku, ku pastikan kalian akan jadi tersangka! Biar di penjara, sekalian seumur hidup!" Teriak Jesty dari dalam kamar mandi. Nafasnya tersengal-sengal karena amarah yang tak sepenuhnya bisa diluapkan. "Salah apa aku Tuhan," keluh Jesty. Butuh waktu dua puluh menit bagi Jesty menenangkan diri dalam kamarnya. Ia keluar kamar mandi tentu saja setelah dua orang itu pergi dari kamarnya. Kamar Jesty diketuk dari luar dengan tidak sabaran. "Ya sebentar! Bisa sabar enggak sih. Kalau aku bilang tunggu yang tunggu!" "Mas bisa dobrak, Jesty." "Emang berani?" Tantang Jesty. "Huaaa jangan!" Histeris Jesty begitu mendengar suara dorongan dari arah luar. "Oke, Mas boleh masuk. Tapi Mas saja, yang satunya enggak. bagaimana?" Tawar Jesty. Ia pasrah. Ternyata Elwin tidak hanya aneh, tapi juga gila. Ia sampai lupa dengan rasa malunya. "Ya, Jesty." Jesty membuka pintu kamarnya, ia memberi celah sedikit untuk Elwin masuk. Kemudian kembali menutup pintu kamarnya itu. "Aku marah. Kenapa bawa orang masuk ke sini, sih?" Begitu Elwin masuk, Jesty langsung menodongnya dengan pertanyaan. "Marah?" "Ya." "Dia Dokter Jesty." "Buat apa Dokter ada di sini? Rumahku bukan rumah sakit," ujar Jesty sedikit ngegas. "Mas dengar Jesty ngeluh sakit kepala--" "Tunggu, kapan aku ngeluh sakit kepala?" Potong Jesty, perasaan ia tadi tidak ngeluh sakit. "Waktu Jesty mau ke kamar mandi." Jesty memutar ingatannya, ia menepuk keningnya saat satu ingatan menghampirinya. "Mas ikutin aku ya? Perasaan tadi mas bengong di ruang tamu." Elwin tersenyum tipis. "Mas senang, Jesty udah biasa panggil mas ya sekarang." "Heleh." Jesty mengibaskan tangannya. "Bukan itu pertanyaan ku, mas!" "Apa, Jesty?" "Mas tadi ikutin aku." "Iya." Jawaban Elwin membuat Jesty panik. "Mas dengar dong, aku ngomel-ngomel tadi?" Jesty harap-harap cemas, ia takut Elwin marah padanya, karena diam-diam menjelek-jelekkan pria itu. Tanpa sengaja mengatai hal yang menjurus ke arah 'Pembawa Sial' lagi. Ia hanya tidak mau saja Elwin berbuat aneh bahkan lebih nekat dari akibat dirinya yang memulai masalah menghubungi pria itu lebih dulu tadi malam, dengan dalih tidak ingin di usik sahabatnya. "Mas tidak dengar apapun. Mas dengarnya kepala Jesty sakit." Huh, bolehlah Jesty bernafas lega kali ini. Lebih baik ia meluruskan kesalahpahaman ini. Ada-ada saja, cuma bilang begitu langsung dipanggilkan Dokter. Sultan mah, beda! "Gini ya, mas. Jesty ok. Aku rapopo alias baik-baik saja. Tadi cuma omongan ngawur aja. Jadi mas suruh itu dokter pulang ke tempatnya ya." Elwin mengerutkan kedua alisnya hingga hampir bertemu. "Sekalian juga mas ikut dokter itu keluar. Mas masih ingat letak pintunya 'kan? Pasti masih ingat dong! Mas 'kan gak bodoh. Mas pintar, uangnya banyak lagi. Rumahnya gede. Lebih gede dari rumahku. Di sana pasti sangat nyaman dan--" "Mas gak ngerti Jesty ngomong apa. Mas udah suruh dokternya pergi." Elwin menunjukkan layar ponselnya di depan wajah Jesty. "Sekarang mas mau tidur, capek." Elwin langsung menghempaskan diri di ranjang Jesty. "Wangi," gumam Elwin. "Mas," panggil Jesty disertai penekanan. "Hmm." "Tidur di samping Mas, Jesty. Mas tahu Jesty juga capek ngomong terus." "Oh Tuhan! Nyesel aku sebut mas pintar, ternyata mas bodoh!" Percuma bersikap dan bicara baik-baik. PERCUMA. "Jesty enggak boleh ngomong gitu." "Bodoh!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD