Evander pikir dia sudah tiba di rumah sakit begitu merasakan truk yang dia naiki tiba-tiba berhenti melaju. Tekad kuat sudah dia ambil, akan mencari kesempatan emas untuk turun dari mobil jika kondisinya sudah aman. Namun, merasa perlu memastikan benarkah dia sudah tiba di rumah sakit, Evander mendekati jendela dalam truk tersebut, dia mengintip keluar dan seketika dahinya mengernyit karena ternyata tebakannya salah besar.
“Di mana ini?”
Wajar dia bertanya seperti itu karena memang bukan area rumah sakit yang dia lihat terpampang nyata di hadapannya, melainkan di depan sebuah bangunan asing yang mana Evander tak tahu letaknya di mana.
Kebingungan yang dirasakan Evander seketika berubah menjadi kepanikan ketika tiba-tiba pintu truk dibuka oleh seseorang. Evander berniat menyembunyikan diri, tapi semuanya terlambat.
“Siapa kau? Kenapa bisa ada di truk ini?”
Si pelaku yang membuka pintu truk yang tidak lain merupakan sang supir menemukan keberadaan Evander. Dia terlihat panik menemukan seorang pria dengan kondisi tangan dan kakinya yang aneh berada di mobilnya.
“K-kau … jangan-jangan ikut masuk ke truk dari markas Aegis, ya?”
Sang supir terlihat semakin panik dan dia berencana untuk meminta bantuan tapi dengan cepat Evander yang menyadarinya menghentikan supir tersebut.
“Pak, pak, tolong tenang dulu. Aku bisa menjelaskan alasanku bisa ada di mobil ini. Dan kau harus percaya aku bukan orang jahat.”
“Bukan orang jahat, terus kenapa kau bisa ada di dalam truk ini?”
Evander menghela napas panjang, dia tahu harus menjelaskan semua kejadian yang menimpanya agar supir itu mengerti dan tidak salah paham padanya.
“Aku akan menceritakan semuanya. Tolong dengarkan dan jangan memberitahu siapa pun aku ada di di sini.”
“Memangnya kau ini siapa?” tanya sang supir seraya memicing tajam penuh curiga pada Evander.
Evander pun mulai bercerita, semua kejadian yang dia alami saat pesta pernikahannya sampai dia terdampar di markas Aegis. Tak ada yang Evander tutupi karena dia tahu jika ingin supir itu mempercayai ceritanya maka dia harus berkata yang sebenarnya.
“Begitu, Pak. Aku hanya ingin mencari istri dan keluargaku,” ucap Evander menyudahi ceritanya.
“Jadi benar kau melarikan diri dari markas Aegis?”
Evander mengangguk, tak membantah. “Ya,” sahutnya.
“Kau bodoh sekali karena keluar dari markas Aegis, padahal di sana sangat aman dibandingkan tempat lain di kota ini.”
Evander tertegun, ingat betul dokter Kate pun mengatakan hal yang serupa seperti supir itu, membuat Evander bertanya-tanya memangnya apa yang terjadi pada kota kelahirannya, Atlanta City.
“Tapi aku harus mencari istri dan keluargaku.”
“Kalau militer Aegis mengatakan mereka sudah meninggal maka itulah yang terjadi, mereka tidak mungkin membohongimu.”
Dengan cepat Evander menggelengkan kepala. “Tidak. Aku tidak akan percaya mereka sudah tiada kecuali aku melihat jasad mereka dengan mata kepalaku sendiri.”
“Tunggu sebentar, kau bilang tadi tiba-tiba ada orang-orang aneh dan buas yang menyerang di acara pernikahanmu, bukan?”
“Ya.” Lagi-lagi Evander membenarkan ucapan sang supir. “Mereka menyerang semua orang, menggigit mereka seperti cannibal. Mereka juga menggigit kaki dan tanganku karena itu sampai dipotong dan diganti dengan android seperti ini.” Evander mengulang apa yang dijelaskan Kate padanya, alasan tangan dan kakinya bisa menjadi seperti sekarang.
“Apa istri dan keluargamu juga ikut digigit orang-orang itu?”
“Begitulah.”
Supir itu berdecak seraya menggelengkan kepala. “Kalau begitu percuma saja kau mencari mereka karena jasad mereka tidak akan pernah kau temukan.”
“Apa maksudnya kau bicara begini?”
“Aku turut berduka, tapi istri dan keluargamu mungkin sudah berubah menjadi seperti orang-orang cannibal itu atau yang lebih mengerikan mereka mungkin dihancurkan militer Aegis karena sudah menjadi makhluk yang berbahaya.”
Evander melebarkan mata, semakin tak memahami apa yang sudah terjadi pada Atlanta City yang dulu begitu damai dan tentram.
“Apa maksudnya istri dan keluargaku berubah menjadi seperti orang-orang cannibal itu?”
“Karena kau sendiri yang bilang mereka sudah digigit bukan? Itu artinya mereka akan berubah menjadi seperti cannibal-canibal itu. Dari reaksimu yang sepertinya tidak percaya pada ucapanku ini, aku tebak kau memang belum mengetahui apa pun.”
Evander meneguk ludah, entahlah … dia hanya merasa informasi yang akan dia dengar dari sang supir cukup mengerikan dan bukan sesuatu yang bagus untuk didengar.
“M-memangnya apa yang sudah terjadi di kota ini?”
“Kita dikepung.”
“Hah? Apa sedang terjadi perang di sini? Apa ada Negara lain yang menyerang Negara kita?”
Sang supir menggelengkan kepala. “Bahkan perang dengan manusia seperti kita rasanya jauh lebih baik dibandingkan kondisi yang menimpa kita sekarang. Lawan kita adalah musuh yang mengerikan. Mereka monster yang tidak bisa mati.”
Evander tak berkata-kata, tapi terlihat jelas sang supir bicara demikian dengan ekspresi serius dan tersirat ketakutan di dalamnya.
“Kau benar-benar bodoh karena sudah meninggalkan markas Aegis.”
Evander mengepalkan tangan karena tersinggung mendengar ucapan pria asing yang baru dia temui hari ini tersebut.
“Apa pun yang kau katakan, aku tidak peduli. Aku tidak menyesal meninggalkan markas militer itu karena bagiku menemukan istri dan keluargaku jauh lebih penting.”
“Inilah kenapa aku bilang kau sangat bodoh. Apa rencanamu sekarang, kawan?”
Evander berdeham dan kembali membuka mulut untuk menjawab, “Aku akan pergi ke rumah sakit. Mungkin istri dan keluargaku ada di sana. Mereka terluka karena insiden penyerangan di hari pernikahanku dan sedang dirawat di rumah sakit.”
Supir itu pun mendengus kali ini, terlihat mencemooh keyakinan Evander yang hingga detik ini tak percaya istri dan keluarganya sudah tiada.
“Baik begini saja. Aku akan pergi ke ruamh sakit sebentar lagi untuk mengantarkan bahan makanan, kau bisa ikut denganku dan lakukan apa pun yang kau suka di sana.”
“Benarkah?” tanya Evander dengan wajah sumringah, lega bukan main karena sang supir akhirnya mau membantunya dan tidak lagi mengejeknya bodoh hanya karena memilih melarikan diri dari markas Aegis.
“Ya, aku akan memberimu tumpangan. Tapi kau tidak boleh diam di sini, jangan sampai orang-orang dari gudang penyimpanan ini melihatmu ada di dalam truk. Kau tunggu di depan. Setelah memasukan semua bahan makanan yang akan dikirim ke rumah sakit, kita akan segera berangkat.”
Tanpa pikir panjang, Evander mengangguk setuju. Dia lantas turun dari truk dan berpindah duduk di kursi depan seperti yang diperintahkan sang supir. Dari pantulan kaca spion Evander terus memperhatikan beberapa orang yang sedang sibuk memasukkan bahan makanan ke dalam truk. Dalam hati sudah tidak sabar ingin segera tiba di rumah sakit dan masih berharap akan menemukan orang-orang yang dia sayangi di sana.
Setelah menunggu hampir 40 menit lamanya, akhirnya sang supir pun kini duduk di kursi kemudi, pekerjaannya telah selesai dan truk siap untuk berangkat ke rumah sakit.
“Hei, tutup kacanya.”
Evander yang sedang menatap ke samping karena memang dia sengaja membuka kaca mobil di sampingnya, bergegas menoleh ke arah sang supir begitu suaranya mengalun.
“Kenapa aku harus menutup kacanya? Padahal agar tidak panas dan udara bisa masuk lebih baik kaca ini dibuka saja.”
Supir itu berdecak tampak kesal karena Evander membantah ucapannya. “Turuti perkataanku, itu pun jika kau ingin selamat dan tidak ingin aku melemparmu keluar dari mobil ini.”
Evander meneguk ludah, tahu persis ancaman itu tidak main-main dan akan benar-benar terjadi jika dia tak menurut. Evander bergegas menuruti perintah sang supir, dia menutup kaca sampingnya sehingga seketika hawa di dalam terasa panas dan pengap karena pendingin mobil pun rupanya tak dinyalakan.
“Setidaknya nyalakan pendingin mobilnya.”
“Diam kau. Duduk saja dan jangan protes padahal aku sudah berbaik hati memberimu tumpangan. Jangan sampai karena mulutmu yang cerewet itu, aku berubah pikiran dan menendangmu keluar.”
Jika saja dia tak membutuhkan bantuan supir itu, tentunya Evander tak akan tahan berlama-lama berada di dekat sang supir. Namun, untuk kali ini dia tahu harus bersabar karena begitu tiba di rumah sakit, dia akan berpisah dengan supir itu dan tak akan pernah mau lagi berurusan dengannya.
Evander memilih menatap lurus ke depan daripada meladeni pria asing yang sukses membuat hatinya kesal bukan main sejak tadi dengan ucapannya yang kasar.
“Hei, siapa namamu?”
Evander menoleh, kembali memakukan tatapan pada sang supir yang baru saja mengajaknya bicara. “Evander.”
“Kau ini pemain sepak bola itu, kan?”
Evander mengernyitkan dahi, tak menyangka pria di sampingnya itu mengetahui tentangnya. Ah, lebih tepatnya menyadari identitasnya yang asli. “Ya, benar. Aku pemain sepak bola, tapi itu dulu sebelum kakiku diubah jadi mesin seperti ini tanpa mereka meminta izin padaku.”
Sang supir mendengus. “Harusnya kau berterima kasih karena mereka menyelamatkan nyawamu dan bukan malah menggerutu seperti ini. Lagi pula, walau kakimu masih utuh, tetap saja kau tidak akan bisa bermain sepak bola lagi.”
“Siapa bilang? Tentu saja aku bisa bermain sepak bola lagi seandainya mereka tidak memotong kaki kananku dan mengubahnya dengan mesin begini.”
“Sebentar lagi kau akan tahu alasan aku mengatakan kau tidak akan bisa bermain sepak bola lagi walau kakimu masih utuh, dan alasan aku menyuruhmu menutup kaca mobil. Bersiaplah Evander, sebentar lagi kau akan tahu bagaimana kondisi Atlanta City yang sekarang dan aku masih berharap kau tidak menyesal karena sudah meninggalkan markas Aegis.”
Mendengar sang supir berkata seperti itu sambil menyeringai lebar, Evander hanya menaikkan satu alis, tapi tak dia pungkiri memang ingin melihat keadaan kota kelahirannya sekarang. Sebentar lagi dia akan mengetahuinya karena mobil sudah melaju meninggalkan area gudang penyimpanan makanan, siap berbaur di jalan raya Atlanta City yang dulu terkenal ramai dengan kendaraan yang berlalu lalang.
Apakah sekarang kondisinya masih seperti itu? Evander sudah tak sabar ingin melihat dengan mata kepalanya sendiri.