Jantung Evander berdetak semakin cepat dan cepat, dia gugup dan panik sekarang. Tak tahu harus melakukan apa. Yang membuatnya berpikir dia beruntung karena tadi mengunci pintu itu dari dalam sehingga sang anggota militer tak bisa membukanya walau kenopnya sudah diputar.
“Kenapa pintu toilet ini tidak bisa dibuka, ya?” tanya anggota militer itu pada rekannya.
“Mungkin ada orang di dalam.”
“Hei, apa ada orang di dalam?!” teriak si anggota militer.
Evander meneguk ludah sebelum dia pun berteriak, “Ya, ada orang di dalam!”
“Huh, kenapa tidak bilang kalau ada orang waktu aku mau membuka pintunya tadi?”
“Maaf, maaf!” Sekali lagi Evander berteriak.
Anggota militer itu pun terdengar melangkahkan kaki menjauhi pintu bilik toilet yang digunakan Evander untuk bersembunyi karena dia kini memasuki bilik toilet yang lain, seketika Evander mengembuskan napas lega.
Tok … Tok … Tok
Namun, perasaan lega Evander tak bertahan lama karena dia mendengar suara dinding yang diketuk dari samping. Sepertinya itu ulah anggota militer tadi yang menggunakan bilik di samping Evander.
“I-iya. Kenapa, ya?” tanya Evander mencoba memberanikan diri untuk menyahuti.
“Kau dari divisi mana?”
Suara anggota militer itu bertanya yang sukses membuat Evander seolah membeku di tempat. Dia kebingungan sekarang, tak tahu harus menjawab apa.
“Kenapa tidak dijawab? Kau dari divisi mana?”
“I-itu … aku …”
“Hei, cepat. Jangan malah mengobrol di dalam bilik toilet. Kita harus cepat keluar, mobil pengantar makanannya akan segera datang, jangan sampai kita terlambat nanti kita dihukum.”
“Oh, iya, iya. Aku sudah selesai kok.”
Evander mengembuskan napas lega, rekan dari anggota militer itu telah menyelamatkan dirinya dari situasi yang serba membingungkan tadi.
“Hei, kalau kamu dari divisi pangan juga, cepat keluar. Kalau mobil pengantar makanannya sudah datang, kita harus cepat mengeluarkan makanannya karena mobil itu akan segera pergi.” Anggota militer tersebut kembali mengajak Evander bicara dari samping.
“Hm, siap. Aku juga sebentar lagi selesai. Aku akan segera menyusul.”
“Siap. Kami tunggu.”
Suara air yang mengalir pun terdengar dari bilik samping Evander, pertanda sang anggota militer sudah menyelesaikan aktivitasnya. Suara daun pintu dibuka dan suara langkah kaki dua anggota militer yang meninggalkan area toilet pun menyusul terdengar.
Evander yang masih berada di tempat persembunyiannya kini tertegun. Dia tengah merenung karena tiba-tiba saja sebuah ide melintas di pikirannya setelah mendengar ucapan anggota militer tadi.
“Jadi akan datang mobil pengantar makanan, ya. Dan mobil itu tidak akan lama di sini. Sepertinya aku tahu harus melakukan apa agar bisa keluar dari tempat ini.” Evander menyeringai, tampak yakin dia akhirnya menemukan jalan keluar untuk masalahnya.
Dia pun keluar dari tempat persembunyian setelah memastikan kondisi di area toilet aman. Setelah itu dia benar-benar keluar dari toilet dan kembali dia mengawasi pintu gerbang dari kejauhan. Dia yakin mobil pengantar makanan itu akan datang melalui gerbang yang sedang dijaga ketat oleh empat anggota militer yang mustahil bisa dilewati Evander tersebut.
Tak lama Evander menunggu di sana karena mobil yang dimaksud akhirnya benar-benar datang.
Mobil itu besar dan berwarna putih. Sebuah truk berukuran super besar yang katanya berisi bahan makanan di dalamnya. Mobil itu kini melaju ke suatu tempat, Evander cepat-cepat mengikutinya walau dia harus sedikit berlari agar tak kehilangan jejak. Tentu saja dia berlari dengan susah payah dan tertatih-tatih, berusaha menahan sakit dari kaki kanannya yang belum benar-benar terbiasa dia gunakan untuk berjalan.
Mobil itu berhenti di depan sebuah bangunan. Ada banyak anggota militer di sana dan begitu pintu belakang truk dibuka, dengan serempak para anggota militer itu mengeluarkan bahan makanan dari dalam.
“Oh, jadi itu divisi pangan yang dikatakan anggota militer tadi,” gumam Evander yang menyadari bangunan di dekat truk tidak lain merupakan gudang penyimpanan makanan yang hanya diawasi dan dipakai oleh divisi pangan. Mungkin tugas mereka adalah menyiapkan makanan di tempat ini.
Evander masih mengawasi dari kejauhan para anggota militer yang masih sibuk mengeluarkan bahan makanan mentah dari dalam truk. Dia sedang mencari momen yang tepat untuk mencoba mendekati mobil itu.
Evander mencoba menanti dan mengawasi dengan sabar hingga akhirnya buah kesabarannya memberikan hasil yang manis. Tampaknya semua anggota militer di divisi pangan itu sudah selesai mengeluarkan semua bahan makanan karena sekarang di dekat truk mulai sepi.
“Sekarang saatnya.”
Evander tahu inilah waktu yang sejak tadi dia nantikan, dia berjalan cepat mendekati mobil itu, sangat berhati-hati saat dia berniat masuk ke dalam truk yang pintunya masih dalam kondisi terbuka karena khawatir ada anggota militer yang melihatnya.
Ketika yakin kondisi aman karena semua anggota militer tengah sibuk menata bahan makanan yang baru datang di gudang penyimpanan bahan makanan, Evander pun nekat naik ke dalam truk itu. Walau dia nyaris tergelincir karena tangan kiri dan kaki kanannya terasa berat untuk digerakkan, perjuangan Evander tak sia-sia karena kini dia berhasil naik dan bersembunyi di dekat pintu truk.
“Pasti kondisinya sudah aman. Aku bisa keluar sebentar lagi,” gumam Evander begitu pelan sehingga hanya dia yang bisa mendengar suaranya.
“Hei, coba periksa di dalam truk, masih ada bahan makanan yang tertinggal tidak.”
“Siap!”
Namun, kelegaan yang dirasakan Evander lagi-lagi tak bertahan lama saat dia mendengar percakapan dua anggota militer. Benar, salah satu dari mereka terdengar berjalan mendekati truk untuk memeriksa adakah bahan makanan yang tertinggal.
“Sial, bagaimana ini?”
Evander menarik napas panjang berulang kali dan mengembuskannya dengan perlahan karena situasi menegangkan kembali dia rasakan. Dia pun membekap mulutnya agar tak mengeluarkan suara sekecil apa pun tatkala sang anggota militer kini sedang berdiri tepat di depan pintu truk. Evander tengah berjongkok di dinding samping pintu, sosoknya tak terlihat karena terhalang dinding tersebut.
Di dalam hati, Evander terus berdoa dan berharap agar anggota militer itu tak naik ke mobil atau keberadaannya akan diketahui. Namun, sial bagi Evander karena apa yang dia takutkan justru itulah yang terjadi. Anggota militer itu kini naik ke truk. Evander terbelalak, takut bukan main.
“Hei, sudah selesai belum? Cepat, ya. Aku harus mengantarkan bahan makanan juga ke rumah sakit.” Itu suara seorang pria yang sepertinya supir dari truk tersebut. Dan berkat suara sang supir yang mengajak si anggota militer bicara sehingga dia pun bergegas turun lagi dari truk sebelum masuk untuk memeriksa adakah bahan makanan yang tertinggal.
“Ok, ok, aku sudah selesai. Sepertinya tidak ada bahan makanan yang tertinggal.”
“Kalau begitu sudah selesai, kan? Ya sudah, aku tutup pintunya, ya?”
“Ya, tutup saja.”
Begitu suara pintu truk yang sedang ditutup tertangkap indera pendengaran Evander, seketika dia mengembuskan napas lega. Tak terlukiskan perasaan senangnya kini karena keberhasilan pelariannya sudah ada di depan mata. Terutama saat dia mendengar suara mesin mobil yang mulai dinyalakan dan truk pun mulai melaju.
Evander berjalan mendekati satu-satunya jendela yang ada di truk itu, dia mengintip keluar karena truk yang tiba-tiba berhenti padahal belum lama berjalan.
“Sial, jangan bilang ada pemeriksaan lagi di sini.”
Rupanya truk sedang berada di depan gerbang dan alasan berhenti karena salah satu anggota militer yang berjaga di depan gerbang sedang memeriksa sesuatu, mungkin surat izin masuk ke tempat ini karena dia sedang membaca sebuah kertas yang diberikan sang supir. Memang seperti itu karena tadi pun saat truk ini baru tiba, sang anggota militer memeriksa terlebih dahulu sebelum mengizinkan truk ini masuk ke dalam.
Evander cepat-cepat kembali ke tempat persembunyiannya yaitu berjongkok di dinding pintu saat melihat anggota militer tadi berjalan mendekati pintu. Yang ditakutkan Evander benar-benar terjadi karena pintu truk kini dibuka kembali. Evander tahu persis sang anggota militer sedang berdiri di dekat pintu dan memeriksa keadaan di dalam truk.
Namun, katakan Dewi Fortuna sedang berpihak pada Evander karena anggota militer itu hanya memeriksa di depan pintu tanpa naik ke dalam truk sehingga keberadaan Evander tak diketahuinya. Pintu pun kembali ditutup karena yang anggota militer itu temukan truk dalam kondisi kosong karena semua isinya telah diturunkan.
Begitu mesin mobil kembali dinyalakan dan truk pun kembali melaju, Evander memejamkan mata sambil mengubah posisi berjongkoknya menjadi duduk. Dia pun mengulas senyum. “Berhasil. Aku berhasil keluar dari tempat itu.”
Evander terlihat senang karena rencananya untuk mencari istri dan keluarganya akan segera terlaksana. Apalagi jelas-jelas tadi dia mendengar truk yang dia tumpangi akan pergi ke rumah sakit. Ini kesempatan emas karena mungkin saja istri dan keluarganya terluka karena insiden penyerangan itu dan sekarang sedang dirawat di rumah sakit. Evander merasa rencananya berjalan dengan mulus.
Ya, dia sedang senang dan merasa lega tanpa dia ketahui sesuatu yang berbahaya mungkin sedang mengincarnya di luar sana dan betapa bodohnya dia karena meninggalkan tempat paling aman tersebut … Markas Aegis.