Zombies, 05

1286 Words
Waktu menunjukkan tepat pukul 1 dini hari, kedua mata Evander yang sejak tadi terpejam kini terbuka dengan sempurna. Sebenarnya sejak tadi dia belum tidur, hanya pura-pura memejamkan mata sehingga saat dokter yang merawatnya yaitu Kate memeriksa kondisinya, wanita itu berpikir dia sudah tertidur lelap. Sepertinya usaha Evander berpura-pura sudah tidur berjalan sukses karena saat Kate tadi memeriksanya pukul 11 malam, wanita itu langsung kembali pergi karena percaya mentah-mentah Evander sudah tidur.  “Inilah saatnya. Aku harus pergi dari sini.”  Evander bangun dari posisi berbaring, walau merasakan sakit pada tangan kiri dan kaki kanannya karena efek operasi belum hilang sepenuhnya, Evander mencoba mengabaikan rasa sakit itu karena melarikan diri adalah hal yang paling penting yang harus dia lakukan sekarang juga.  Evander kini berjalan tertatih-tatih menuju pintu. Membukanya dengan perlahan, Evander menatap ke kiri dan kanan sebelum benar-benar melewati pintu tersebut. Setelah yakin kondisinya aman, baru dia melewati pintu dan melangkah pergi dari ruangannya.  Sebenarnya dia tak tahu letak pintu keluar di mana, tapi Evander berpikir dia akan berkeliling sampai berhasil menemukannya.  Evander kini sedang berjalan menelusuri lorong yang  sepi sambil berpegangan pada dinding karena dia masih kesulitan untuk berjalan, belum terbiasa dengan kaki barunya yang hanya terbuat dari mesin.  Dia terus berjalan hingga tiba di depan sebuah ruangan. Ada tulisan ruang mayat yang tertera di daun pintu. Evander ingat betul Kate mengatakan istri dan keluarganya telah tiada sehingga sangat wajar jika dia berpikir mungkin saja jasad istri dan keluarganya berada di ruangan tersebut.  Kembali dengan gerakan perlahan, Evander membuka pintu ruangan di hadapannya. Beruntung pintu tidak dalam kondisi terkunci sehingga mudah saja baginya untuk masuk ke dalam ruangan.  Aroma busuk seketika menyeruak begitu Evander masuk ke dalam ruangan, itu bau busuk menyerupai bau bangkai, refleks Evander membekap hidung dengan telapak tangannya sendiri.  Evander menggulirkan bola mata ke sekeliling ruangan dan terlihatlah beberapa ranjang di mana di atasnya terdapat jasad yang terbujur kaku dan sudah ditutupi dengan kain putih sehingga Evander harus menyingkap satu demi satu kain itu jika ingin memastikan adakah istri dan keluarganya di antara jasad-jasad tersebut.  Tanpa pikir panjang lagi, Evander pun mulai memeriksa. Jasad yang pertama dia periksa merupakan jasad yang berada di ranjang paling dekat dengan tempat Evander berdiri.  Tangan kanan Evander terulur ke depan siap untuk menyingkap kain putih yang menutupi sang jasad, dia meneguk ludah disertai dengan jantung yang berdegup cepat karena takut jasad yang akan dia periksa itu merupakan jasad istrinya atau salah satu keluarganya.  Begitu kain itu disingkapkan oleh Evander, seketika dia kembali membekap mulut dan rasa mual tiba-tiba menyerangnya tatkala melihat kondisi jasad yang sangat mengenaskan. Wajah jasad itu hancur sehingga tak bisa dikenali, bahkan sebelah wajahnya hitam seperti terbakar. Hanya saja melihat pakaian yang dikenakan jasad itu, tidak salah lagi dia merupakan seorang pria dan salah satu anggota militer Aegis.  “Apa jangan-jangan semua jasad di tempat ini merupakan jasad anggota militer?” tanya Evander pada dirinya sendiri, mulai curiga hal demikian setelah memeriksa jasad tersebut.  Setelah menutup kembali jasad dengan kain putih, Evander kembali berjalan menghampiri ranjang yang lain. Dia pikir harus tetap memastikannya sampai dia yakin memang jasad-jasad itu merupakan jasad anggota militer dan tak ada jasad istri ataupun anggota keluarganya.  Ketika jasad kedua disingkapkan kain putih yang menutupinya.  “Hoek!”  Seketika Evander memuntahkan isi perutnya karena dia mual bukan main melihat kondisi jasad yang teramat mengenaskan. Kepala jasad itu terbelah hingga cairan otak dan darah berceceran di mana-mana. Jasad itu juga merupakan anggota militer yang mungkin gugur saat menjalankan tugas.  “Aku tidak sanggup memeriksa semua jasad ini. Pasti mereka semua anggota militer. Ya, tidak mungkin Cagali dan yang lainnya diletakkan di sini. Lagi pula, Dokter Kate mengatakan hanya aku yang dibawa ke sini, jadi pasti mereka tidak ada di tempat ini. Dokter Kate tidak mungkin membohongiku.”  Evander memutuskan berhenti memeriksa jasad-jasad yang terbaring tak berdaya di ruangan itu. Kini dia pun melangkah menuju pintu, memutuskan untuk keluar dari ruang mayat dan melanjutkan pelariannya.  Seperti halnya tadi, kali ini pun Evander menengok ke kiri dan kanan sebelum dia melangkah melewati pintu.  “Aman. Pasti semua orang sedang tidur sekarang.”  Evander mengusap-usap dadanya, merasa lega karena suasana sepi, tak ada seorang pun yang terlihat berlalu-lalang di lorong sehingga Evander semakin yakin pelariannya pasti akan berjalan dengan lancar sesuai rencananya.  Kini Evander kembali berjalan di lorong sambil berpegangan pada dinding. Walau berjalan tertatih-tatih dan dia mulai merasa lelah, dia sama sekali tak menyerah. Terus berjalan menuju pintu keluar markas Aegis.  Rupanya perjuangan Evander tak sia-sia karena dia kini berada di ujung lorong. Terlihat jelas pintu gerbang yang menjulang tinggi di depan sana. Hanya saja ada satu kendala yang membuat Evander kini tertegun dan tak mampu lagi melanjutkan langkahnya. Gerbang itu dijaga ketat oleh empat orang anggota militer yang memegang senapan laras panjang di tangan mereka. Mereka tampak berdiri sambil siaga penuh sehingga rasanya mustahil Evander bisa melarikan diri dari mereka.  “Ck, bagaimana caranya aku bisa melewati gerbang jika dijaga ketat oleh empat orang?” gerutu Evander, bingung bukan main.  Memang sejak awal dia sudah menduga tak akan mudah untuk melarikan diri dari tempat ini apalagi ini markas militer. Selain itu, Kate juga dengan jelas mengatakan tempat ini dijaga dengan ketat sehingga sangat pantas disebut sebagai tempat paling aman.  Evander terus memperhatikan dari kejauhan gerbang yang menjadi pintu keluar untuknya sekaligus mengawasi empat anggota militer berbadan kekar yang sedang berjaga.  Tap … Tap … Tap Hingga suara derap langkah membuat Evander tersentak, kaget bukan main. “Sial, ada orang yang datang ke sini.”  Evander yakin itu suara langkah kaki orang yang sedang berjalan menuju ke arahnya dan mungkin sudah berjarak dekat mengingat suara langkah kaki itu terdengar sangat jelas.  “Bagaimana ini? Mereka tidak boleh menemukanku atau tidak ada kesempatan lain untukku pergi dari tempat ini.”  Evander terus bergumam pelan sambil mengedarkan mata menatap sekeliling hingga ekor matanya menangkap keberadaan sebuah ruangan tak jauh darinya. Tidak salah lagi itu merupakan toilet. Karena tak ada lagi tempat yang bisa dijadikan persembunyian selain toilet itu, akhirnya tanpa pikir panjang Evander pun masuk ke dalam.  Toilet itu sangat luas, bersih dan terawat. Terdapat banyak bilik toilet dan Evander memilih bersembunyi di salah satu bilik toilet karena khawatir orang yang menjadi pemilik suara langkah kaki tadi datang kemari untuk mendatangi toilet tersebut. Evander kini bersembunyi di bilik nomor 5. Rupanya keputusan yang diambil Evander sangat tepat untuk bersembunyi di salah satu bilik karena tebakannya memang benar. Dua anggota militer yang mungkin pemilik suara langkah kaki tadi baru saja memasuki toilet.  “Bagaimana misi penyelamatan hari ini?” “Banyak korban seperti biasa.” “Huh, apa rekan-rekan kita berubah menjadi monster dan musuh kita sekarang?” “Ya, ada beberapa yang digigit dan ada beberapa yang tewas karena terkena serangan lawan tapi tidak sampai digigit. Mereka dibawa ke markas dan diletakkan di ruang mayat.” “Aku harus memeriksa jasad-jasad itu, mungkin saja kan ada temanku di antara mereka.” “Ya, kau periksa saja.” Evander tetap bersembunyi di dalam bilik tanpa mengeluarkan suara sepatah kata pun. Dia juga mendengarkan dengan seksama dua anggota militer yang sedang berbincang tersebut. “Aku ingin buang air dulu.” “Ya, aku juga.”  Evander membekap mulut agar tak mengeluarkan suara saat mendengar kedua anggota militer itu berniat memasuki bilik untuk buang air. Jantung Evander kini berdetak tak karuan karena takut salah satu dari mereka mendatangi bilik yang dia jadikan tempat untuk bersembunyi.  Evander melebarkan mata saat ketakutannya menjadi kenyataan karena tiba-tiba saja seseorang berdiri di depan pintu bilik nomor 5 yang dia jadikan tempat untuk bersembunyi. Saat orang itu berniat membuka pintu karena kenopnya mulai diputar, Evander panik bukan main hingga tanpa sadar dia meneguk ludah berulang kali.  “Sial, apa yang harus aku lakukan?” gumam Evander dalam hati, bingung sekaligus panik bukan main.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD