Bab 4. Adik dan Kakak

1109 Words
Awalnya mereka berjalan begitu kaku saat orang-orang berlalu lalang dan berjalan dengan cepat seperti mereka sedang terburu-buru. Bagi Iefan dan Griffin, mereka pertama kali keluar sejauh ini dari kerajaan mereka. Bertemu pandang dengan manusia sebanyak ini malah membuat mereka pusing karena bau mereka yang bermacam-macam. Belum lagi aroma-aroma tidak mengenakkan ketika mereka lewat disalah satu restaurant. Rasanya Iefan bisa pingsan saat mencium aroma bawang putih di goreng. Ia menatap kesana kemari lalu bergantian menatap pamannya. Apakah sungguh pamannya pernah ke tempat ini? Seperti apa guru wanita itu sampai kuat hidup di negara dengan aroma bawang putih ini. "Kau yakin ia tinggal di tempat ini, paman?" Tanya Iefan berusaha tetap tenang berjalan di samping pamannya. Griffin tidak melepaskan pandangannya pada semua orang yang berjalan di sekitarnya. Walaupun ia dipandang mengerikan oleh orang-orang, tampaknya Griffin tidak terpengaruh dengan itu. Ia takut guru wanita itu terlewat dari pandangannya. "Aku pernah bertemu dengannya di tempat ini secara tidak sengaja," Iefan menatap sekeliling. Demi tuhan, ini penyebrangan. Tentu saja semua manusia atau bahkan vampir akan melewati ini. Mereka sudah menyebrang lebih dari lima kali sekarang. Griffin mendengus kasar. Kesulitan sekali. "Apa kau tidak ingat aromanya seperti apa? Tuhan… Kenapa negara ini panas sekali?" Iefan nyaris membuka bajunya. Seattle. Kota dengan jumlah manusia terbanyak di negara Amerika yang selalu sibuk setiap jamnya. Kapan kota ini sepi? Tunggulah sampai Iefan membangun kerajaan cabang di kota ini. Mungkin di masa depan, setelah ia hibernasi tentunya. Ia sudah merasa sedikit terbakar karena sengatan matahari di kota ini. Mungkin selama di lembah, ia jarang terpapar sinar matahari. Dan secara terang-terangan, matahari sulit dilihat dengan mata telanjang di kota ini. Terlalu terbuka sampai Iefan merasa kulitnya sedikit ada aroma gosong. "Ck! Aku yakin pernah melihatnya di daerah ini," Iefan kesal. Sudah berapa kali pamannya mengatakan demikian? "Beritahu aku ciri-ciri wanita itu. Oh god! Kita membuang-buang waktu disini," Griffin berkacak pinggang. "Aku sedang berusaha, anak bodoh. Wanita itu bisa mengubah penampilannya dengan mudah!" Iefan sanksi. Mana ia tahu tentang wanita itu. Lagi pula sebaiknya mereka berdua berteduh lebih dulu dan menghindari kerumunan agar bisa dengan mudah melihat bangsawan vampir lain yang lewat atau sedang mencari mangsa. "Aromanya? Bagaimana dengan aromanya?" Griffin menggelengkan kepalanya. "Tidak ingat," Gedung-gedung tinggi yang berlapiskan banyak kaca itu membuat area luar ini semakin panas saja. Griffin memang mengakui ia tidak kuat berada lama-lama di luar dan terpanggang oleh efek kaca yang panas. Di samping itu, sebuah gedung yang bertuliskan Tifa Company yang berdiri tepat di pinggir persimpangan, satu blok dari tempat penyeberangan yang dilalui Iefan dan Griffin. Perusahaan yang bergerak di bagian desain gaun pernikahan yang sangat terkenal di Seattle itu menantinya. Tempat yang menjadi hunian bagi wanita yang sedang dicari oleh dua bangsawan vampir yang hampir terbakar sengatan matahari. Seorang pria tertawa penuh ejekan ketika melihat ke arah luar jendela. "Ck! Apa yang dilakukan bangsawan itu disana? Berjemur?" Ucapnya masih berdiri dengan acuh tak acuh. Rambut pirangnya yang sengaja dikuncir dengan gaya Full Top Knot. Janggut tipisnya yang sengaja tidak dicukur dan terawat itu sangat menantang untuk seorang pria muda yang tengah mengerutkan alisnya tidak suka. "Tenanglah, Vian. Mereka tidak datang mencarimu," Pria bernama Vian itu masih dengan wajah kesal bukan kepalang berjalan ke arah kursi kerja dan menghempaskan bokongnya disana. Mata merahnya perlahan menjadi berwarna kecoklatan, tentu saja alisnya masih mengkerut jengkel. "Ya. Mereka tidak mencariku, tapi mencarimu. Sudah yang keberapa hari ini? Astaga… aku bisa mati muda," Vian sudah menyeret kursinya ke sisi meja dan menenggelamkan diri dengan tumpukan pekerjaan di atas mejanya. Ia bertambah kesal setiap menitnya saat melihat seorang wanita yang hanya duduk diam dan membaca di pojok ruangan di sebelah lemari buku. Wanita yang selalu membuatnya kerepotan, Tifa Yovanka. Kakak perempuannya yang menyebalkan. Siapa yang menjadikan manusia sesempurna dia? Lalu sekarang ia menjadi vampir dengan pengetahuan yang entah seberapa banyak file di dalam otaknya. Vian sungguh tidak tahu lagi. Pekerjaan wanita itu akhir-akhir ini hanya duduk diam dan membaca. Terkadang sesekali ia keluar sebentar untuk mencari makan, lalu kembali dengan perut kenyang dan tumpukan buku lainnya yang akan menjadi koleksinya. Cukup sederhana, tetapi menyebalkan karena ketenarannya yang tidak wajar. Dari mana vampir-vampir di luar sana mengetahui identitas kakaknya? Padahal ia sudah lama tidak mengajar seperti biasa. Memang kakak perempuannya itu cantik tiada tara. Dialah wanita yang pertama kali ingin Vian nikahi, jika saja ia bukan saudara tentunya. Sayang sekali Vian harus ditakdirkan dengan ikatan b******k yang membuatnya menjadi saudara kandung Tifa. Hey! Kembalikan Vian ke dalam rahim ibunya lagi! Vian mendengus kasar sambil menggebrak meja dan mencopot kaca mata bacanya. "Aku butuh udara segar," "Tidak boleh mencari gara-gara," Vian tertawa penuh cemooh. Memangnya siapa yang selama ini menjadi biang gara-gara? "Teruslah membaca, sampai kiamat," Ucap Vian berjalan santai keluar ruangan. Ia tidak bisa santai tentunya jika melihat dua bangsawan yang dilihat dengan mata telanjang saja mereka terlihat bukan bangsawan biasa. Vian hanya mendekatinya sedikit dan ingin mendengar apa yang sedang mereka bicarakan. Well, setidaknya ia berusaha untuk melindungi kakaknya. Kutu buku itu tidak akan peduli dengan vampir lain yang berusaha menarik perhatiannya jika sudah berkutat dengan benda berlapis-lapis itu. Vian berjalan menuju lift dan memencet tombol ke bawah. Menunggu pintu lift terbuka, ia kembali melamunkan hal-hal di masa lalu. Jika saja manusia dan vampir lain bisa melihat bekas luka melintang panjang di punggungnya, tentu saja mereka akan bertanya banyak hal. Vian tidak menampik bahwa sekitar tiga puluh tahun yang lalu ia baru saja melawan bangsawan vampir yang hampir membuatnya terbunuh. Vian menghela nafasnya. Ting! "AHAHAHA AKU TAHU ITU-" Vian langsung mengangkat kepalanya dan menatap tajam suara yang keluar dari dalam lift ketika pintu terbuka. Siapa yang tertawa itu? Ini jam kerja, kenapa mereka tertawa sekeras itu di dalam lift? Dan matanya berkilat kejam ketika melihat tiga manusia yang menutup mulutnya dan menunduk. "Kenapa kalian sibuk bergosip dan tertawa sekeras itu? Kalian pikir ini hutan?" Vian tidak memberi ampun sedikitpun. "Ma-maafkan kami bos," Ucap salah satu dari mereka. Vian mendengus kasar. "Keluar!" Bentaknya kejam. Ketiga wanita itu buru-buru keluar dari lift dan saling berebut untuk keluar lebih dulu. Kekonyolan yang dilakukan tiga manusia ini membuat Vian semakin meradang emosi. Ia sudah lelah dan kesal setengah mati setelah membasmi vampir di sekitar yang mengintai Tifa. Lalu apa lagi? Ia bukan bodyguard, tapi jika bukan dia siapa lagi yang akan melindungi kakaknya? Vian tidak peduli dan melangkahkan kakinya ke dalam lift dengan langkah lebar dan memencet tombol, pintu lift tertutup. "Astaga… Aku pikir akan mati tadi," "Aku tidak tahu kenapa Bos Vian suka sekali marah sekarang. Rasanya dulu ia ramah dengan semua orang," "Aku yakin itu semua karena ada sangkut pautnya dengan perusahaan ini. Aku dengar pendapatan perusahaan ini sedikit menurun," "Haahh… Sayang sekali. Padahal ia tampan sekali jika tersenyum,"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD