Bab 5. Pisau Kutukan

1102 Words
"Tapi dibanding dengan Bos Vian, aku lebih suka berlama-lama dengan Nona Yo. Tuhan… ia cantik sekali. Aku ingin tahu perawatan macam apa yang ia jalani selama ini," Tifa yang berada di dalam ruang kerja Vian menutup bukunya dengan kasar. Mendengar namanya disebut-sebut dalam gosip, membuatnya tidak nyaman membaca buku. Kenapa? Ia tidak perawatan sama sekali. Memang manusia-manusia ini membuatnya selalu menjadi bahan perbincangan yang laris manis di perusahaan adiknya ini. Ngomong-ngomong manusia, apa yang dilakukan tiga orang wanita di lantai atas ini? Vian sudah membuat peraturan untuk tidak ke lantai atas karena ini area pribadi. Tifa berdiri dari posisi duduknya untuk mengembalikkan buku ke dalam rak. Kemudian berjalan menuju jendela terdekat. Matanya memicing. "Aku sudah katakan untuk tidak cari gara-gara, Vian," Gumamnya sedikit dengan nada kesal. Melihat aura adiknya yang mendekati dua bangsawan itu, Tifa yakin akan terjadi hal konyol lagi. Mengingat Vian belum pulih sepenuhnya, Tifa ingin sekali memukul kepala adiknya itu agar sadar diri. Padahal Tifa tidak meminta untuk dilindungi. Rambut lurus berwarna silver sepinggang menjuntai dan terayun pelan saat Tifa melangkahkan kakinya menuju pintu keluar. Mata birunya sangat jelas terlihat saat poni sampingnya sedikit menutupi permata sapphire yang indah itu. Ketika Tifa melihat tiga manusia berdiri di depan lift dan langsung menatap ke arahnya saat ia membuka pintu. "Oh? Nona Yo? Hey! Singkirkan kakimu dari lift!" "Apa? Aku menginjaknya saja belum," "Kita lihat bagaimana penjilat satu ini bereaksi," Tifa tidak tahu bagaimana harus bereaksi saat tiga orang itu perlahan menempelkan tubuhnya di tembok untuk mempersilahkan dirinya memasuki lift. Sekali lagi, padahal Tifa tidak memintanya. Bibirnya tersenyum tipis sekali menanggapi mereka. Seperti biasa, ia tidak banyak bereaksi dengan manusia. Manusia memang suka melebih-lebihkan sesuatu. "Jika ingin ke bawah juga, kita bisa pakai liftnya bersama. Tidak perlu menungguku turun lebih dulu," Salah satu dari mereka terlonjak senang. "Terima kasih Nona Yo!" Tifa sedikit menggeser tubuhnya agak ke samping, tepat di depan tombol lift. Ketika mereka semua turun dan keluar dari lift, Tifa tentu saja menjadi pusat perhatian yang paling digemari oleh seluruh karyawan perusahaan milik adiknya ini. Hey! Namanya yang dipakai, tentu saja karena adiknya itu harus membayar mahal. "Apakah Nona ingin jalan-jalan keluar lagi?" Tifa melirik name tag di d**a kiri seorang pria yang baru saja menyapanya. Ia tidak tersenyum. "Ah tidak. Aku sedang ada urusan. Apakah Vian menyuruhmu menunggu di bawah, Alex?" Pria itu tersenyum canggung. "Bos menyuruhku untuk menahan Nona agar tetap di dalam kantor sampai Bos kembali," Tifa menundukkan kepalanya sejenak. "Katakan padanya, aku pergi untuk makan siang," Alex menggelengkan kepalanya. "Maafkan aku, Nona. Ini perintah," Alex sungguh tidak tega saat melihat Nona Tifa yang terpaksa ia tahan untuk tidak keluar dari gedung karena perintah Vian. Hari ini Alex yang berjaga walaupun sebenarnya tugas untuk memata-matai itu jatuh di tangannya. Tetapi karena yang datang kali ini adalah bangsawan aneh, Vian mau tidak mau harus mengambil alih. Tifa terdiam. Ia sekarang menjadi seperti wanita yang begitu lemah sampai adik laki-lakinya menjadi over protective seperti ini. Ia tidak lemah, ia sudah hidup bertahun-tahun walaupun ia masih belum menginginkan untuk melanjutkan hibernasinya karena suatu hal. Ia menatap Alex sejenak sebelum ia berbalik dan melangkahkan kakinya kembali ke ruang kerja Vian. Raut wajahnya berubah sendu ketika ia berbalik, ciri khas wanita yang kesepian. Tetapi ketika Tifa memencet tombol lift, bau tajam langsung menusuk penciumannya. Matanya melotot saat ia berbalik dan melihat Alex yang berusaha berlari ke arahnya itu terbakar hangus di depan matanya. "La-lari-" Tifa berlari mendekat saat suara tercekat Alex membuatnya membeku sesaat. "KYAAAAAA! PEMBUNUHAN!" "Tidak! Alex! Tidak! Kumohon! Jangan lagi!" Pekik Tifa tidak terkendali. Ruangan ricuh sekali. Para karyawan yang ada di lobby berlarian keluar gedung ketika tiba-tiba seseorang datang dan membunuh salah satu manager di Tifa Company. Tidak jarang mereka masih bersembunyi di sekitar lokasi untuk melihat lebih jelas apa yang sedang terjadi ini. Tifa tidak sempat bereaksi apapun saat ia hanya berhasil menangkap pakaian Alex, sedangkan ia tersungkur di lantai dan berusaha meraih abu milik Alex di depan lututnya. "ALEX! Tidak… " Tangan Tifa bergetar. 'Kenapa…' Batinnya tidak berdaya. Drrrttt ZIIINNGGG "Jadi ini? Vampir yang maha kuat itu?" Tifa mengangkat wajahnya. Seorang pria berdiri menantang dengan sebuah senjata aneh yang hanya mereka berdua yang tahu. Pisau bermata tiga dengan ukiran ular di bagian gagangnya, dan juga berbagai macam tulisan kuno yang menyelimuti pisau itu. Tulisan kutukan kuno. Tifa mengerutkan alisnya. "Kau punya benda yang cukup berbahaya, tuan. Sayang sekali kau malah mencari gara-gara dengan wanita lemah sepertiku. Tidak akan membawa manfaat apa pun untukmu," Tifa perlahan berdiri walaupun ia sengaja tidak menampilkan wujud vampirnya karena masih ada beberapa manusia di sekitar lobby. Tidak lucu jika mereka melapor ke polisi karena ada dua vampir yang sedang berkelahi. "Huh! Perlihatkan wujud aslimu, p*****r sialan. Aku akan membunuhmu dengan pisau ini!" Pria itu mengancungkan pisaunya pada Tifa. Sangat impulsif. Tifa bukanlah vampir biasa yang akan takut oleh ancaman seperti akan dibunuh dan lain-lain, ia sudah sangat tua. Banyak hal yang dilaluinya, bahkan sampai pada tahap ketika usianya terpatok pada kekuatannya juga. Ia tidak minta untuk menjadi makhluk abadi. Dan juga kekuatan ini, hasil dari kerja kerasnya sendiri. Tifa sudah lama pensiun dari dunia gelap itu. Lalu dari masa ke masa, semakin banyak vampir lain yang ingin macam-macam dengannya. Hey! Jika membutuhkan guru tinggal katakan saja. Tidak perlu ikut mengajaknya duel juga. Mereka tahu jelas perbedaan kekuatannya. Kehidupan abadi yang menjengkelkan. "Aku bukan p*****r, tuan. Jika anda mencari wanita p*****r, anda salah alamat," Ucap Tifa tidak tersinggung dengan perkataan pria itu. "Cih! Jangan mengajariku!" Tiing Sekejap mata pria yang berteriak tidak jelas itu sudah berada tepat di hadapan Tifa dan menusukkan pisau itu ke arah d**a. SEEET Tetapi pisau kutukan untuk membunuh para vampir itu tidak menembusnya. Ia seperti tengah menusuk sebuah batu keras saat tangannya berusaha sekuat tenaga untuk menusuknya. "Ti-tidak mungkin!" Tifa masih diam, "Tidak mungkin! Ini pisau untuk membunuh vampir jahat sepertimu!" "Aku hidup lebih lama dari pisau ini," Pria itu mendesis marah. "p*****r SIALAN! MATI SAJA KAU-" TRAAAANGG BRUGGH Zzttttsss "Paman! Jangan bunuh dia! Ck! Gerakannya terlalu barbar," Tifa terbengong di tempat. Tiba-tiba saja seorang pria terlempar dengan kuat dari arah luar dan berteriak tidak jelas meneriaki pamannya. Tifa sadar jika itu bangsawan vampir yang diluar tadi, tapi… melihat bangsawan vampir membersihkan pakaiannya sebentar dan berjalan pelan sembari membersihkan debu di celananya, membuat Tifa heran. Apakah dia tidak sadar? Hempasan tubuhnya baru saja membunuh vampir aneh yang entah dari mana asalnya. Situasi aneh macam apa ini? Bagaimana Tifa harus meresponnya? Iefan sendiri tidak sadar akan hal itu sebelum ia menyadari jika ada sosok vampir di dekatnya yang menatap dirinya aneh. Ia menoleh dan… "Oh… tuhanku… " Ucap Iefan terperanjat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD