Bab 25. Ayah dan Anak

1099 Words
‘Pose itu… Persis seperti yang ada di buku itu.’ Batin Rivaille tidak mungkin salah mengenali. Dan ia paling tidak suka jika ada orang yang mengatainya lemah. Rivaille bersiap menerima serangan dari Vian. Iefan dan Melvern juga ikut bergabung dan melindungi putranya. Eredith dan Elunial yang ikut menyaksikan dari kejauhan bergidik ngeri karena menyaksikan bagaimana dahsyatnya kekuatan Vian. “Aku bersumpah tidak akan berani mendekatinya setelah ini!” Elunial setengah berteriak karena badai yang mengganggu. Hanya Eredith yang merasa kedua tangannya gemetaran karena takut. “Bagaimana bisa paman membawa vampir seperti mereka ke kastil ini.” Gumamnya membuat Elunial terdiam melihat ekspresi kakaknya. Petir yang menyambar dan angin kencang menerbangkan banyak material ke udara. Tidak ada tanda-tanda Vian akan segera menyerang walaupun pria itu sudah bersiap. “Kau benar-benar dalam masalah Nak! Apa yang kau lakukan sampai dia semarah ini?!” Iefan berteriak. Melvern menangkis sebuah ranting pohon besar yang ikut tersapu angin. “Rivaille! Pergi dari sini!” Teriakan kedua orang tuanya tidak di dengar oleh Rivaille. Ia yakin Vian tidak akan berani menyakitinya karena ia merasa ada sesuatu yang berbeda dari perlakuan Tiffa padanya. Untuk itulah kenapa ia berani menantang Vian dan mencari gara-gara dengannya. Setelah kengerian ini, Rivaille percaya dan sangat yakin jika kedua sketsa yang ada dibuku itu sungguhan Tiffa dan Vian di masa lalu. Bengisnya aura mereka terasa begitu berat ia rasakan. Entah sudah berapa juta nyawa yang dilenyapkannya waktu itu. “Perjanjianku dengan Tiffa tidak akan mengganggunya selama dua hari ke depan! Jika kau membuat keributan lebih dari ini, maka semuanya akan kulimpahkan padamu!” Ucap Rivaille seketika membuat Vian tersadar. Ia langsung berdiri tegak dan menatap ke atas. Segera ia melompat ke atas dan membuka pintu kamar sang kakak sedikit untuk mengintip. Ternyata kakaknya masih tertidur. “Berengsek!” Makinya kasar. Mau tidak mau Vian menyegel kembali kekuatannya kemudian masuk ke dalam kamar. Membiarkan kerusakan yang disebabkannya itu berserakan dimana-mana. -Ruang sidang- Setelah kejadian pagi itu, Iefan bersikeras untuk mengumpulkan seluruh anggota keluarganya termasuk Rivaille dan kedua anaknya yang lain. Wajahnya mulai keriput dan tampak lemah ketika Elunial menatapnya. “Akhir-akhir ini keadaan terus bertambah buruk setelah datangnya kedua kakak beradik itu di kastil kita….” Eredith tertunduk dalam sedangkan Elunial masih ngeri dengan kakak pertamanya yang duduk di sebelah Eredith. “Benar Ayah! Sebaiknya kita usir saja mereka!” Ucapan Elunial memancing Eredith untuk tertawa. “Kalau begitu kau saja yang usir.” Elunial mendengus. “Itu kan tugas Ayah!” Iefan langsung melotot horor. Melvern sampai menahan tawanya karena tiba-tiba mereka saling menyalahkan. “Bagus jika mereka mau tinggal di kastil ini. Jika ada musuh yang menyerang, dia akan berguna saat perang.” Kali ini Rivaille berkomentar. Sayangnya komentarnya itu kurang kompeten sekali sampai membuat Iefan tertawa pasrah. “Kata siapa mereka mau membantu kita jika terjadi perang?” Eredith sejak tadi hanya bisa tertawa pasrah saja. “Sayang, Ibu yakin kalian bertiga punya pemikiran yang cerdas. Jadi Ibu minta kalian jangan mencari gara-gara dengan mereka. Okay?” Melvern berkata dengan suara lemah lembut. Elunial langsung tenang mendengarnya. “Semua akan baik-baik saja karena selama ini yang Ayah perhatikan, mereka tidak akan menyerang jika tidak ada yang mengusiknya. Jadi untuk saat ini dan seterusnya, jika berada dekat dengannya, Ayah harap kalian bisa menjaga sikap kalian.” Elunial dan Eredith sudah sepakat untuk tidak berada di dalam jangkauan radius sepuluh meter dari kedua orang itu. Seperti tadi pagi. Ketika Eredith ingin pergi ke gazebo belakang, ia memilih untuk kembali ke kamarnya karena tak melihat Vian tengah ada di taman. Hanya ia dan kakaknya saja yang tahu bagaimana kengerian dari dua orang itu. “Dan untuk persiapan penobatan raja baru, Ayah harap kalian tidak merusak apapun lagi mulai dari sekarang.” Kata Iefan memijat keningnya. Setelah koridor belakang hancur, sekarang koridor kamar tamu. Mungkin besok kastil sungguh akan roboh jika terus menerus seperti itu. Setelah rapat itu selesai secara kekeluargaan, mereka semua pun membubarkan diri. “Rivaille, Ayah ingin bicara denganmu.” Iefan masih duduk di kursinya. Rivaille yang tadinya berdiri kembali duduk ke kursinya. Ini adalah kali pertama Iefan melihat sosok putra sulungnya. Perubahannya terlalu drastis sampai Iefan sendiri lupa kapan terakhir kali ia melihat anaknya berwajah bodoh. “Semua tetua sudah sepakat untuk hibernasi. Tapi hanya tetua Swan yang tidak hibernasi saat ini. Kau berurusan baiklah dengannya karena dia tidak pernah ikut campur dengan urusan kerajaan.” Rivaille mengangguk. “Dimana Swan tinggal sekarang?” “Tidak ada yang tahu. Tapi jika kau bertemu dengannya, dia memiliki tanda diamond shape hitam di tengah dahinya. Kau akan berkesempatan bertemu dengannya setiap musim gugur sepuluh tahun sekali di puncak bukit Rjukan.” Rivaille segera mengingatnya. Ia tidak mengenal siapa Swan ini. Tapi jika ia bertemu dengannya akan jadi suatu kehormatan untuknya. “Aku akan mengingatnya.” Iefan mengangguk. “Sebentar lagi aku dan ibumu akan hibernasi setelah kau diangkat menjadi raja. Jadi untuk ke depannya, kau akan melakukan semua pekerjaan sendiri. Dan semua pasukan akan bergantung padamu.” Iefan menyempatkan diri untuk memberikan beberapa wejangan sebelum ia hibernasi. Urusan kerajaan bukanlah hal sepele yang mudah diatasi para kaum muda mudi seperti Rivaille. Terlebih tidak akan ada yang mendampinginya. Jika suatu hari bangun dari hibernasi, Iefan berharap kerajaan Heddwyn masih ada dan berdiri kokoh. Tidak peduli siapapun pasangan putranya kelak. “Aku mengerti, Ayah. Jangan khawatir.” Iefan mengangguk bangga. -Dua hari kemudian- Tiffa telah selesai hibernasi dan tubuhnya terasa segar sekarang ini. Ia membuka mata dan terbangun menatap sekeliling lebih dulu sebelum matanya menatap sosok adiknya tengah bermain game. “Selamat datang ke dunia. Apakah mimpimu menyenangkan?” Tanya Vian seenak jidatnya. Tatapannya masih terarah pada layar ponselnya. “Apakah ada sesuatu yang terjadi ketika aku hibernasi?” Tiffa meraba dadanya dan merasakan titik kehidupannya sudah mulai berdenyut normal. “Tidak ada. Kau bisa berjalan-jalan sebentar jika kau penasaran dengan apa yang dilakukan para vampir di kerajaan ini. Dua hari lagi hari penobatan raja.” Kata Vian memberitahukan Tiffa suara berisik di koridor kamar tamu. Berita tentang desas desus Tiffa yang sudah dua hari tidak ingin keluar kamar membuat gosip itu menghangat diantara para prajurit kerajaan. Kerusuhan yang mereka lakukan dan juga calon raja yang masih terlalu muda untuk memimpin. Banyak yang kontradiksi. Raja dan ratu yang sekarang terlalu memaksakan diri untuk hibernasi. Sedangkan penobatan raja yang baru terbilang terlalu terburu-buru. Walaupun sudah ada dua vampir hebat yang siap mengajari calon raja, tetap saja tidak mungkin langsung bisa memimpin kerajaan. “Berisik sekali.” Gumamnya tidak nyaman dengan semua keributan untuk upacara penobatan nanti. “Aku sudah pernah menyarankanmu untuk tinggal di pulau kosong agar pikiranmu bisa tenang. Tapi kau menolaknya.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD