Yiven terbaring kaku. Sudah berjam-jam ia memandangi langit-langit kamarnya yang mewah. Wajah Maria dan Nayla terus berputar di seluruh sudut otaknya, dan begitu mengaburkan logikanya, meremukkan kewarasannya, dan membuatnya gelisah. Yiven memejamkan mata, lagi-lagi wajah itu muncul. Kali ini bukan wajah Nayla yang penuh ketakutan memandangnya di rumah sakit, melainkan wajah Maria yang putus asa, dari potongan kenangan sembilan tahun silam. Yiven akhirnya bangkit, berjalan ke jendela, dan menyingkap tirai tebal. Ia tidak mencari pemandangan pagi; ia mencari bayangan masa lalu yang menempel di retinanya. Ingatan itu membawanya kembali ke tahun tahun ketiga kuliahnya, saat arogansi dan keangkuhan adalah mantel yang paling sering ia kenakan. Yiven ingat, ia berdiri di rooftop Fakultas Tek

