Malam itu, jam sepuluh lebih, lorong lantai lima Rumah Sakit Umum Arga terasa dingin dan mati. Jadwal praktek Dokter Yiven Mahendra sudah lama berlalu, dan yang ia sekarang lakukan hanyalah termenung diruang kerjanya, seharusnya fokus pada tugasnya, tetapi keheningan di sekelilingnya adalah keheningan yang menyesakkan. Kepalanya dipenuhi bayangan Nayla Jeneva di ruang gelap, dan aroma sampo melati masih melekat kuat, seperti rantai yang mengikat logikanya. Maria telah tiada. Itu adalah fondasi kehidupannya selama enam tahun—kesedihan yang stabil. Namun, Nayla adalah gempa berskala besar yang mengguncang segalanya.
Yiven tahu persis apa yang akan ia lakukan, dan ia tahu konsekuensinya. Mengakses data pasien di luar keperluan pemeriksaan, adalah pelanggaran etika berat di institusi negara mana pun. Hal itu bisa berarti teguran keras, pemindahan, atau bahkan pencabutan izin praktik. Namun, ia tidak lagi peduli. Sejak pertemuan itu, satu-satunya misinya adalah membuktikan atau menyangkal hantu yang menghantuinya.
Ia mengaktifkan terminal pribadinya yang terhubung ke server utama rumah sakit.
"Kau sedang merusak dirimu sendiri, Yiven," bisiknya pada bayangannya sendiri di layar.
Tangannya gemetar saat ia memasukkan kode akses. Layar sistem data Rumah Sakit Umum Arga, yang biasanya tampak sebagai portal kekuasaan dan tanggung jawab, kini terasa seperti pintu gerbang menuju kejatuhan.
Yiven mencoba mencari data Maria, mengetikkan "Maria Christie." Pesan kesalahan yang dingin dan datar kembali muncul: Data Tidak Ditemukan. Maria Christie secara digital telah mati secara sempurna.
Yiven menghela napas, lalu mengetik nama baru yang membawanya pada pusaran obsesi ini: Nayla Jeneva.
Jantung Yiven berdetak tidak teratur karena antisipasi yang menyakitkan. Data registrasi pasien anak, Fiona Starla, muncul. Yiven menelusuri data wali, mencari detail yang bisa ia kaitkan dengan mantan kekasihnya, sang mahasiswi seni dengan mimpi sederhana.
File itu dimuat.
Nama Wali: NAYLA JENEVA
Tanggal Lahir (Wali): 17/05/1992 (Lima tahun lebih tua dari Maria.) Alamat KTP : Jln. Cendana Elok No. 5, Jakarta Selatan. (Jauh dari alamat kos sederhana Maria.) Pekerjaan Wali: Manajer Kreatif, D'Sign Group. (Maria adalah mahasiswi, Nayla jelas berada di level karier yang jauh lebih tinggi.)
Setiap baris data adalah kapak dingin yang mematahkan rantai obsesinya. Maria adalah wanita yang hidup di tengah perjuangan. Nayla, di sisi lain, adalah Manajer Kreatif yang sukses dengan lapisan perlindungan finansial yang solid. Maria dan Nayla adalah dua dunia yang berbeda.
Yiven melanjutkan ke field yang paling mematikan.
Status Pernikahan: Menikah
Detail Pasangan: Devan Adhitama, Pilot
Kata Menikah, seperti badai yang menyerbu dari segala arah, dan segera menghantam Yiven dengan pukulan telak!
Maria tidak punya latar belakang seperti ini. Ini adalah kejutan yang paling brutal, pukulan terakhir yang menghancurkan harapan absurdnya. Nayla bukan hanya bukan Maria, ia adalah wanita yang terikat pada kehidupan dan pria lain, yang latar belakangnya sangat bertolak belakang dengan masa lalu Yiven.
Yiven memaksa dirinya memeriksa data kelahiran Fiona, mencari kepastian logis terakhir.
Nama Pasien: Fiona Starla (Perempuan, 5 tahun)
Tanggal Lahir: 12/03/2019
Yiven menghitung mundur. Tanggal lahir Fiona lima tahun lalu. Itu adalah periode waktu yang sangat, sangat dekat dengan saat ia dan Maria, saat mereka, pernah menduga akan memiliki seorang anak. Usia Fiona saat ini dan janin yang dulu hilang—semuanya selaras dengan cara yang membuat logikanya menjerit.
Yiven memegangi kepalanya yang berdenyut. Ia baru saja menemukan dokumen yang secara resmi membuktikan bahwa Nayla Jeneva adalah wanita yang berbeda, lima tahun lebih tua, Manajer Kreatif, dan istri dari seorang Pilot. Fakta-fakta digital ini tidak terbantahkan.
Namun, keraguan itu.. keraguan yang sekeras berlian, tetap ada. Nayla bukan Maria, tapi wajah kedua wanita itu seolah mengabur dan menyatu di otaknya.
Nama dan usia yang berbeda. Tapi wajah itu adalah wajahnya. Pekerjaan yang berbeda. Tapi wangi sampo melati itu adalah wangi yang sama. Yang paling menyakitkan, statusnya bahkan sudah menikah!
Yiven menatap foto buram Nayla yang tersimpan di arsip digital. Foto itu tidak menampakkan raut wajah bahagia sama sekali. Foto itu menampakkan Nayla Jeneva yang sama dinginnya, sama tersesatnya dengan yang ia temui di koridor.
Keraguan itu kini berubah menjadi racun yang menggerogoti. Yiven telah mencari kejelasan, dan yang ia temukan hanyalah lapisan fakta digital yang bisa dibilang sangat meyakinkan. Kenapa semua detail ini harus begitu sempurna, begitu berbeda dengan Maria. Walaupun, satu hal yang paling penting: anak itu, Fiona, dengan wajah yang hampir identik dengan dirinya.
Jika Nayla bukan Maria, mengapa ia menghindariku seolah aku adalah satu-satunya orang yang mengetahui rahasia paling gelapnya?
Yiven mengerang frustasi dan menutup paksa terminal itu. Ia telah melanggar kode etik Rumah Sakit, dan yang ia dapatkan hanyalah konfirmasi kenyataan pahit, yang anehnya justru memperkuat obsesinya pada Nayla.
Yiven tiba-tiba teringat lagi kejadian di ruang gudang gelap tadi. Harusnya tadi dia bisa lebih menahan diri, menahan bibirnya untuk menanyakan pertanyaan yang mungkin membuat Nayla tidak nyaman. Yiven benar-benar takut Nayla sudah menganggapnya yang tidak-tidak saat ia menariknya ke ruang gelap itu. Nayla pasti sangat terkejut, marah, dan bisa saja ia akan mencari dokter lain di luar sana, dan tidak mau melihat Yiven lagi.
Jika memang itu yang terjadi, apa yang harus Yiven lakukan?
Bisakah ia bertemu wanita itu lagi suatu saat nanti?
Yiven akhirnya berdiri, meraih kunci mobilnya, dan berjalan keluar ruangan. Meninggalkan jas dokternya di kursi, meninggalkan layar komputer yang baru saja ia matikan dayanya. Yiven merasakan urgensi untuk pergi sekarang. Ia harus meninggalkan aura antisseptik, mesin-mesin yang berdengung, dan arsip digital yang baru saja ia nodai.
Tempat ini, Rumah Sakit Umum Arga, yang seharusnya menjadi benteng logika rasional Yiven, kini menjadi sarang pikiran beracunnya.
Ia mengambil alih setir mobilnya sendiri malam itu. Ia membutuhkan kecepatan, akselerasi, dan kebisingan mesin untuk mengusir suara dan ilusi-ilusi aneh dari kepalanya.
Yiven buru-buru menuju parkiran, menyalakan mobilnya, dan menginjak pedal gas, melaju kencang di jalanan ibu kota yang sunyi setelah keluar dari kompleks rumah sakit. Ia berusaha keras membuang jauh Nayla, Fiona, dan Maria dari otaknya. Namun semakin kencang, ia mengemudi, semakin wajah Nayla, dengan ketakutan yang mendalam di matanya, muncul dengan jelas di benaknya, dan membayang di retinanya.
"Sial..."
.....................................