BAB 18 - Tindakan Di Luar Batas Kesadaran

965 Words
"Saya... tahu ucapan saya terdengar gila," Yiven berbisik, suaranya hampir tidak terdengar karena getaran syok yang menguasainya, sebuah pengakuan yang terlepas dari batasan profesionalismenya. Pertanyaan itu telah terlepas, seperti anak panah yang melesat dari busurnya, tidak bisa ditarik kembali. Yiven tidak peduli lagi apakah Nayla marah atas tindakannya. Pertanyaan ini lebih mendesak daripada segala etika moral dan rumah sakit, lebih penting daripada karier yang selama ini ia jaga. Ia tersesat dalam kegelapan itu, hanya dipandu oleh aroma familier yang menusuk indranya. "Tapi apa anda benar-benar tidak mengenal saya?" Nayla tertegun. Ekspresinya yang marah kini digantikan oleh ketakutan yang mendalam, seperti ia baru saja tertangkap basah melakukan kejahatan besar, atau seperti hantu yang dipaksa mengaku hidup. Pertanyaan itu, yang seharusnya mustahil diucapkan, menghancurkan enam tahun pertahanan dirinya. Nayla tidak menjawab. Tubuhnya hanya diam mematung seolah nyawanya telah dicabut keluar dari raganya, meninggalkan cangkang yang kaku di pelukan Yiven. Keheningan itu terasa lebih memekakkan telinga daripada teriakan. Nayla tahu, Yiven sepertinya mulai mencurigainya. Kecurigaan yang dipicu kemiripan wajah yang terlalu sempurna dengan kekasihnya dahulu. Dan... Kesadaran ini membuat jantung Nayla menggedor d*da. Enam tahun pelarian dan penyamaran yang ia lakukan tidak boleh runtuh! Ia harus melarikan diri. Segera! Tersadar, Nayla mendorong tubuh Yiven dengan sekuat tenaga. Dorongan itu membuat Yiven terhuyung mundur, memberikan jarak yang cukup baginya untuk bergerak. Nayla bergerak cepat, tangannya meraih kenop pintu, dan melangkah keluar, kembali diselimuti cahaya koridor. Melarikan diri dari kebenaran yang baru saja ia hadapi, dan sebuah kebenaran yang Yiven nyaris sadari. Yiven segera mengejarnya. Otaknya berjalan lebih lambat dari biasanya, tetapi ia bisa merasakan urgensi untuk menahan wanita itu sebelum ia menghilang lagi. Sebelum ilusi kosong yang ia inginkan memenuhi otaknya, dan membuatnya menjadi gila. Ilusi kosong yang ingin memaksa Nayla mengatakan apapun yang dia ketahui tentang Maria. Langkah Yiven berdesir di lantai vinil yang dingin. "Nyonya Nayla, tunggu!" Nayla sudah kembali berdiri di dekat tempatnya semula, tetapi ia mengambil jarak yang lebih jauh dari Yiven, seolah-olah berusaha membersihkan diri dari sisa sentuhan Yiven. Ia berdiri membelakangi Yiven, membiarkan punggungnya menjadi dinding penolakan. Wajah Nayla kini pucat karena menahan amarah yang meletup-letup. Ia tidak berteriak, tetapi punggungnya, posturnya, dan kepala yang menoleh sedikit saja, memperlihatkan rasa muak dan kebencian yang tidak bisa disembunyikan. Yiven berdiri di belakangnya, merasa t***l dan malu. Semua kendali yang ia banggakan telah hilang ditelan gelapnya ruang gudang dan sensasi intens yang ia rasakan di sana. "Saya sungguh meminta maaf," kata Yiven tulus. Ia menghela napas panjang. "Tindakan yang saya lakukan tadi tidak profesional, tidak beralasan, dan saya telah bersikap di luar batas. Maaf, Nyonya." Nayla tetap diam. Rahangnya yang mengeras karena menahan amarah sama sekali tidak mengendur. Ia tidak memberinya tatapan, tidak memberinya sepatah kata pun, hanya memberikan keheningan yang menghakimi. "Saya minta maaf atas pertanyaan tak masuk akal tadi, di dalam," tambah Yiven. Rasa bersalahnya terasa dingin di kulitnya. Tekad, dan obsesi gilanya, yang ingin memaksa Nayla mengakui apa pun yang dapat memuaskan rasa ingin tahunya, menciut saat dihadapkan pada wajah yang dingin itu. "Saya... Sepertinya tadi saya sempat gila sesaat. Saya tidak bermaksud tidak sopan. Saya mohon, lupakan pertanyaan itu." Nayla akhirnya berbalik, matanya yang marah kini memancarkan kelelahan yang nyata. Ia tidak bisa lagi menahan tembok itu. "Saya menerima permintaan maaf anda," katanya dingin, suaranya terdengar seperti pecahan kaca. "Tapi jangan pernah, jangan pernah lagi bertindak seperti itu, pada saya lagi, Dokter Yiven. Saya tidak ingin anda melanggar batasan profesi. Saya juga tidak ingin anda melanggar batasan personal tentang sesuatu yang bahkan tidak saya ketahui! Itu membuat saya tidak nyaman!" "Saya berjanji," kata Yiven, suaranya mantap, penuh penyesalan yang ia tahu hanya akan bertahan sebentar. Ia memuntahkan janji-janji palsu, karena ia yakin, nalurinya akan melanggar janji itu lagi ke depannya. "Saya tidak akan—" Sebelum Yiven bisa menyelesaikan kalimatnya, pintu ruang MRI Jantung terbuka. Lampu indikator di atasnya padam, sebuah simbol bahwa episode medis itu telah berakhir. Seorang suster keluar, menggandeng Fiona yang terlihat kelelahan tetapi baik-baik saja. "Mama!" panggil Fiona, suaranya lemah tapi penuh kelegaan. Semua emosi—kemarahan, sinisme, ketakutan, dan rasa muak—lenyap dari wajah Nayla. Seketika, ia kembali menjadi ibu. Nayla segera menghampiri Fiona, berlutut, dan memeluknya. Pelukan itu bagai reaksi kimia paling kuat di dunia, yang mampu menyaring semua racun emosi yang baru saja ia rasakan. "Terima kasih, Suster," kata Nayla cepat, wajahnya kini fokus dan tegas. Ia tidak melirik Yiven sama sekali, seolah Yiven adalah perabot yang tak bernyawa di sudut ruangan. "Mari, Sayang. Kita pergi." Nayla menggandeng tangan Fiona. Ia tidak menoleh ke belakang, tidak mengucapkan sepatah kata pun perpisahan. Langkahnya mantap, bergerak menuju lift, menjauh dari Yiven. Wanita itu membawa putrinya pergi, dan meninggalkan kekacauan yang baru saja ia ciptakan di benak Yiven. Yiven kembali ditinggalkan. Sendirian. Di koridor yang sama, tetapi kini ia terasa seperti sebatang tiang sendirian di tengah badai gurun. Yiven menoleh ke arah ruang gelap tempat ia menyeret Nayla. Ia tidak bisa lagi membohongi dirinya sendiri. Sensasi di ruang gudang itu terlalu intens. Kemiripan wajah Nayla dengan Maria adalah cermin bengkok yang memantulkan ilusi yang kejam. Semua indra Yiven berteriak menunjuk pada satu kesimpulan yang ia coba hindari, sebuah jurang nalar yang tak mungkin ia seberangi. Aroma melati yang menenangkan itu kini terasa seperti rantai besi dingin yang mengikatnya pada kenangan Maria. Namun, ia paling tahu dibanding siapapun, bahwa kesimpulan itu adalah ilusi paling berbahaya... Kesimpulan itu adalah kesimpulan yang paling tidak mungkin! Maria telah tiada. Dan ini adalah kebenaran yang selamanya akan terus menghantuinya. Tapi... Bagaimana ia menjelaskan firasat kuat yang menghantuinya, ini? Baiklah. Yiven akhirnya sampai pada satu kesimpulan, sebuah pikiran yang terlalu berbahaya, muncul di benaknya. Jika Nayla adalah takdirnya yang baru, ia akan menghadapinya. Jika Nayla adalah Maria, Yiven akan membuktikan bahwa ia tidak pantas dibenci. Dan untuk itu, ia membutuhkan jawaban! Dan saat ini, ada satu cara mudah untuk mengetahuinya. ............................
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD