Empat hari telah berlalu sejak Adhi menelan bubur dan janjinya pada Rebecca. Luka fisiknya sudah sembuh, berkat perawatan medis yang luar biasa canggih.
Luka luar dan luka lebam sudah pulih sepenuhnya, luka luka dalam organ vital dan tulang rusuk telah sembuh menyeluruh, hanya tinggal pemeriksaan rutin agar Adhi siap menjadi mainan dari Rebecca pada malam hari.
Ia ditempatkan di sebuah sayap terpencil di kediaman itu—sebuah kamar mewah, namun terasa seperti sel berlapis emas. Yang tidak semua orang tahu dimana itu berada.
Pagi itu, Dr. Lio, kepala pelayan sekaligus dokter pribadi yang merawatnya, masuk membawa obat dan sarapan. Lio adalah pria paruh baya dengan tatapan mata yang lelah, seolah ia telah melihat terlalu banyak kekejaman.
"Selamat pagi Adhyaksa, bagaimana kabarmu hari ini?" Dr. Lio masuk ruangan menyapa Adhi.
"Pagi, Dokter Lio..masih lebih baik dari hari kemarin." Jawab Adhyaksa.
"Kau beruntung, Adhi. Nona Rebecca biasanya tidak sabar menunggu pasiennya pulih," kata Lio, meletakkan nampan.
"Maksud dokter?" Tanya Adhi.
"Kau akan tahu nanti Adhi, sekarang aku harus memastikan luka luka mu sudah sembuh dan tubuhmu pulih". Dr Riou sambil menyiapkan peralatan untuk memeriksa kemajuan Adhyaksa.
Setelah memeriksa beberapa laporan medical cek hasil pemeriksaan tadi malam,.
"Luka di rusukmu sudah menyatu dan hampir 90% menuju sembuh . Kau punya kekuatan pemulihan yang baik."
"Kau punya potensi dan stamina yang bagus Adhi, pantas saja nona Rebecca memilihmu untuk projek di keluarga ini" ucap Dr Lio.
Adhi duduk tegak, menatap Lio. "Siapa kalian sebenarnya? Mengapa kalian punya peralatan medis seperti ini, dan mengapa kau tidak terlihat seperti dokter pada umumnya?"
Lio tersenyum tipis, senyum yang tidak menyenangkan. "Kami adalah keluarga yang sangat, sangat kaya, Adhi. Dan kekayaan memberi kami privasi, teknologi, dan kebebasan untuk melakukan apa pun yang kami mau. Aku di sini bukan hanya untuk menyembuhkan tubuhmu. Aku di sini untuk memastikan kau tetap fungsional bagi Nona Rebecca."
"Fungsional," Adhi mengulang kata itu, suaranya dipenuhi sarkasme. "Seorang b***k seks juga harus sehat, ya?"
Lio menghela napas. "Panggil itu apa pun yang kau mau. Faktanya, kau hidup. Keluarga Wibisana yang menyiksamu, tapi kami yang menyelamatkanmu. Nona Rebecca memberimu kesempatan. Jangan sia-siakan."
"Kesempatan untuk menjadi mainan?" tantang Adhi.
"Kesempatan untuk bertahan hidup dan belajar, Adhi. Kau meminta dia mengajarimu cara membunuh," Lio merendahkan suaranya, mendekat ke ranjang.
"Itu bukan hal yang sepele. Keluarga kami telah menguasai seni kekerasan selama beberapa generasi. Jika kau cerdas, manfaatkan jam-jam ini di mana kau bebas berkeliaran di sayap ini. Ambil apa pun yang bisa kau pelajari."
"Menjadi mainan nona Rebecca hanyalah anggap sebagai imbalan dari sebuah pengetahuan dan ilmu yang kau dapatkan, Adhi" ucap Lio
"Imbalan dengan harga diri yang ditukar,. Lio, " bantah Adhyaksa
"Harga diri adalah rahasia, sepintar apa kita bisa menyimpan rahasia itu, hanya kau yang tahu" Tutur Dr Lio.
"Hari ini kau bisa berjalan disekitar sayap rumah ini Adhi, manfaatkan itu" Lio pergi, meninggalkan Adhi dengan sarapannya dan sebuah petunjuk yang berharga.
----
Siang hari adalah waktunya Adhi menjalankan misi rahasianya.
Sesuai aturan ketat Lio, Adhi diizinkan bergerak bebas di sayap barat kediaman itu.
Itu adalah area yang dipenuhi perpustakaan besar dengan koleksi buku aneh, dan sebuah gimnasium pribadi yang sangat canggih.
Adhi, meski masih lemah, mulai menjelajahi. Ia menemukan buku-buku tentang anatomi manusia, teknik pertarungan jarak dekat, bahkan filosofi perang dan eliminasi.
Di gimnasium, ia melihat manekin yang dipenuhi bekas tusukan dan target tembak yang tampak seperti telah digunakan berulang kali. Ini adalah surga bagi seorang calon pembunuh.
Ia menghabiskan waktu berjam-jam, menyalin diagram titik-titik tekanan vital, membaca tentang cara menggunakan pisau, dan mengamati jenis-jenis senjata api yang dipajang di lemari kaca—semuanya dilakukan diam-diam, tanpa menyentuh apa pun, seolah ia hanya seorang pengunjung yang bosan.
"Ini adalah harga yang harus kubayar," bisik Adhi pada dirinya sendiri, melihat ke cermin, di mana tatapan matanya yang dulu hangat kini digantikan oleh kekosongan yang dingin. "Mereka mengambil tubuhku, tapi aku akan mengambil pengetahuan mereka."
Malam tiba.
Pukul sepuluh malam adalah jam di mana aturan Lio digantikan oleh aturan Rebecca.
Waktunya jadi mainan
Rebecca masuk ke kamar Adhi tanpa mengetuk. Ia mengenakan robe sutra hitam dan berjalan dengan keanggunan yang berbahaya. Atmosfer di ruangan itu langsung berubah menjadi mencekam.
"Kau tampak sibuk hari ini," kata Rebecca, suaranya bernada menguji. Ia menuangkan segelas wine merah di meja samping.
"Aku melakukan apa yang kau minta. Aku memanfaatkan waktu luang ku. Aku membaca," jawab Adhi, berdiri di tengah ruangan, tatapannya menantang.
"Bagus. Berarti otakmu berfungsi. Aku tidak suka pria yang bodoh, Adhi," Rebecca berjalan mendekat, melingkari Adhi seolah ia adalah mangsa. "Aku tahu kau membenciku. Aku tahu kau jijik dengan apa yang aku inginkan, dan apa yang akan terjadi malam ini."
"Aku tidak perlu menyangkalnya," kata Adhi dingin. "Kau menyelamatkan hidupku, tapi kau mengambil harga diri. Kau tidak lebih baik dari Winda."
Rebecca berhenti tepat di depan Adhi. Jarak mereka sangat intim, namun dipenuhi permusuhan.
"Winda mengambil harga dirimu dengan penghinaan. Aku mengambil harga dirimu dengan transaksi," Rebecca mengoreksi, mengangkat dagu Adhi dengan jari telunjuknya yang ramping.
"Winda memperlakukanmu seperti sampah yang pantas dihancurkan karena kau miskin. Aku memperlakukanmu seperti properti yang mahal, dan sebagai imbalannya, kau akan mendapatkan kekuatan untuk menghancurkan Winda."
"Kau tahu aku hanya menggunakanmu untuk belajar. Kau tidak bisa mengubahku menjadi bonekamu selamanya," tantang Adhi.
"Aku tahu. Dan itu yang membuat ini menarik. Permainan kekuatan ini. Malam ini, kau milikku. Kau akan melayaniku, Adhi. Dan besok, kau kembali ke bukumu, dan kau akan menyalin semua yang kau pelajari di dalam hatimu," bisik Rebecca, matanya memancarkan kegelapan yang menggoda.
"Mengapa kau tidak menyewa guru untuk mengajariku? Kenapa kau memberiku kunci untuk menghancurkan dirimu sendiri?" tanya Adhi, bingung dengan motif Rebecca.
Rebecca tertawa sinis. "Karena aku tahu,.kau tidak butuh guru. Aku hanya butuh teman main yang pintar dan termotivasi. Dan kau, kau adalah motivasi yang sempurna. Kau akan mempelajari seni ini karena kebencianmu lebih besar dari rasa sakit mu. Dan itu adalah kekuatan yang sesungguhnya."
"Aku tidak akan pernah melupakan siapa aku, dan apa yang aku pertaruhkan," janji Adhi, matanya bersinar dengan sumpah dendam.
"Itu yang aku harapkan," kata Rebecca, menarik Adhi mendekat. "Karena semakin besar kebencianmu, semakin besar kekuatan yang kau serap dari sini. Sekarang, lupakan sebentar siapa kau. Malam ini, kau adalah proyekku."