Part 4

1366 Words
    Dyra meletakkan tasnya di kursi. Ia mengeluarkan buku biologinya. Pagi ini ada jadwal ulangan biologi. Dan sebagai anggota olimpiade biologi. Dyra harus bisa menjaga imagenya untuk mendapat nilai terbaik di kelas.     "Dyr. Lo tau nggak. Kemaren gue ketemu sama Dero di toko buku." ujar Dea yang begitu datang langsung terlihat antusias ingin menceritakan peristiwa yang kemarin ia alami. "Dero?" Dyra berusaha pura-pura tidak tahu. Padahal yang sebenarnya setelah bertemu Rudra kemarin. Ia langsung kembali ke mobil. Ia takut jika nanti Dea akan menyadari keberadaannya. Belum lagi ada Rudra di sana. Tatapan dinginnya akan membuat Dyra berasa di kutub utara jika terus-terusan berdiri satu atap dengan laki-laki itu. "Iya, Dero Anggara. Loe tau kan gue ngefans banget sama dia. Dan kemarin gue foto bareng. Nih, nih fotonya." Dea menunjukkan foto di ponselnya pada Dyra. Ia terlihat sangat gembira.     Dyra mengangguk-anggukkan kepalanya. Tentu saja ia tahu perihal foto itu. Karena ia melihat sendiri kemarin saat mereka berfoto bersama. Hanya saja, Dyra berharap Dea tidak melihatnya.     "Kemarin loe ke toko buku sama siapa?" tanya Dyra.     "Sama Rudra." sahut Dea cepat. Dyra membulatkan matanya. Ia khawatir Rudra akan mengatakan pada Dea bahwa kemarin Dyra menabraknya saat di toko buku.      "Sama Rudra? Dia ada bilang sesuatu yang penting nggak?" tanya Dyra.     Dea terdiam sejenak.     "Oh iya ada." sahut Dea. Detak jantung Dyra mulai berdebar. Ia pasti akan ketahuan sekarang. Dyra sedang sibuk merangkai kata-kata sebagai alasan di otaknya.     "Apa?" tanya Dyra.      "Dia bilang kalo gue kelamaan di toko bukunya. Udah itu aja." sahut Dea. Dyra bernapas lega. Ia kira Rudra akan memberitahukan mengenai tabrakan itu. Tapi saat mengingat sikap dingin Rudra. Tidak mungkin dia akan melaporkan hal seperti itu pada Dea. Sudah Dyra katakan bahwa sikap Rudra terlewat dingin. Ia tidak akan peduli pada hal-hal kecil. Apalagi jika itu menyangkut tentang Dyra.     "Loe kenapa kayak lega gitu?" tanya Dea.      Dyra menjadi gelagapan.      "Eh itu. Bu Ami udah dateng. Makanya gue bernapas lega. Ulangannya jadi lebih cepet. Lebih cepat lebih baik." sahut Dyra.     "Eh, mampus. Gue kan belum baca catatan loe. Pinjem dulu." Dea segera mengambil buku catatan Dyra dan membacanya dengan tergesa-gesa.                                                                                         ----     Setelah memberi salam dan berdoa terlebih dahulu. Bu Ami memanggil Dyra.     "Dyra. Tolong kemari sebentar."      "Iya, Bu." Dyra melangkah menuju meja guru. Ia mendekati Bu Ami.      "Ada apa ya, Bu?" tanyanya.     "Tolong kamu ambil lks Ibu ya. Ibu lupa tadi bawanya soalnya buru-buru. Lksnya ada di meja ibu." ujar Bu Ami.     "Baik, Bu."     "Eh iya. Sama sekalian ambil spidol ya. Di atas meja ibu juga kok." tambah Bu Ami. Dyra mengangguk dan tersenyum.     "Iya, Bu."     Dyra melirik Dea. Ia ingin meminta Dea untuk mengantarnya ke kantor. Tapi saat melirik gadis itu. Dea tengah serius membaca catatan milik Dyra. Dyra jadi tidak tega mengganggunya. Apalagi saat ini Dyra disuruh pergi ke kantor. Itu artinya secara tidak langsung Bu Ami memberi waktu pada yang lainnya untuk belajar terlebih dahulu. Karena tidak mungkin Bu Ami akan memulai ulangan tanpa ada Dyra.      "Kalo gitu saya permisi ya, Bu." ucap Dyra. Bu Ami mengangguk.     Dyra keluar kelas. Ia harus menuju kantor untuk mengambil lks dan spidol milik Bu Ami.     Langkah Dyra terhenti saat ia tiba di depan kelas XII IPA 2. Di ujung koridor Dyra melihat ada banyak siswa yang berdiri di sana. Dyra menjadi ciut. Dia tidak mungkin melewati kerumunan itu seorang diri. Apalagi itu anak-anak kelas XII IPS yang tampaknya sedang bersiap-siap untuk berolahraga. Dyra sedikit menyesali keputusannya yang memilih pergi ke kantor seorang diri karena semua siswa di kelasnya tampak sibuk membaca catatan masing-masing.     "Lewat belakang aja lah." ujar Dyra. Ia memutuskan berbalik lalu lewat belakang kelas. Jalur itu adalah jalur aman karena sepi. Dan Dyra bisa lewat di sana tanpa perlu melewati kerumunan siswa IPS.     Dyra kembali berbalik. Ia melewati kelasnya. Tampak Bu Ami tengah serius memperhatikan lembaran kertas yang menurut Dyra adalah lembar soal untuk ulangan harian pagi ini. Semua siswa jika tampak sibuk belajar sebelum ulangan harian hingga tidak ada yang memperhatikan Dyra.                                                                                     ----     Dyra melangkah dari kantor dengan membawa buku lks dan spidol sesuai yang diperintahkan Bu Ami.     Brukk...     Dyra mendongak. Ia kaget mendapati Pratama, yang biasa dipanggil Tama. Baru saja mendarat setelah melakukan loncat pagar. Tama adalah ketua kelasnya, dan Dyra baru sadar ternyata Tama terlambat. Pantas saja tadi justru Sukma, sang wakil ketua yang  memimpin doa.     "Tama.." baru saja Dyra ingin bergegas menghampiri Tama. Ternyata satu orang siswa baru juga melakukan pendaratan dengan mulus.     "Makasih ya udah nolongin gua." ujar Tama.     "Rudra.." gumam Dyra. Ia melihat Rudra. Itu Rudra. Rudra dengan seragam olahraganya. Dyra bida mendengar pembicaraan mereka. Dyra ingin mendekat, namun sepertinya dua orang itu belum menyadari keberadaan Dyra di belakangnya.     "Ya udah buruan. Ntar keburu mulai. Seenggaknya guru itu loe baik. Jadi loe masih bisa ngeles." Rudra menepuk pundak Tama.     Mulut Dyra seketika terbuka lebar. Ia masih belum percaya akan pendengarannya barusan. Itu benar Rudra. Rudra yang selalu bersikap dingin padanya. Rudra yang setiap bicara dengan Dyra, bisa dihitung jumlah katanya. Rudra yang selalu menatap dingin pada Dyra. Kali ini. Dyra mendengar sendiri Rudra berucap cukup banyak kepada Tama. Rudra juga terlihat lebih hangat dan bersahabat pada Tama. Rudra terlihat biasa saja. Tidak dingin sedikitpun.     "Oke. Makasih ya, Bro." Tama melangkah meninggalkan Rudra.     Rudra membalikkan tubuhnya. Sedikit terkesiap saat melihat Dyra sudah berdiri di sana dengan raut wajah yang bisa dikatakan terlihat shock. Rudra berdehem. Ia berusaha terlihat dingin.     "Sejak kapan loe di situ?" tanya Rudra.     Tatapan dinginnya. Dyra bisa melihat tatapan dingin itu lagi. Dyra berusaha terlihat acuh. Ia baru saja ingin membuka mulutnya untuk berbicara. Namun Rudra mendekat dan langsung berucap.     "Anggap aja loe enggak pernah ngeliat kejadian tadi."     Dyra membulatkan matanya. Ia mendengar jelas. Sangat jelas apa yang Rudra ucapkan padanya. Rudra masih dengan tatapan dinginnya. Namun kali ini kata yang diucapkan Rudra kepada Dyra sudah lumayan banyak.     Dyra tersadar dari lamunannya saat merasakan angin berhembus. Ia sadar bila Rudra baru saja melewatinya. Melangkah di sebelahnya.  Dyra membalikkan tubuh. Menatap tubuh tegap Rudra yang melangkah menjauh. Rudra terlihat biasa saja. Seperti tidak terjadi sesuatu. Padahal baru saja Rudra dan Tama meloncati pagar sekolah. Perilaku yang tidak baik. Tapi Dyra harus segera kembali ke kelasnya. Semakin lama ia di sini maka semakin banyak waktu yang terbuang. Dyra segera melangkah. Berusaha mengabaikan pemikiran tentang Rudra dan Tama yang sedikit menganggu dirinya.                                                                                     ----     "Permisi, Bu." Dyra mengetuk pintu. Semua siswa tampak menoleh lalu kembali fokus pada Tama. Dyra masuk dan ia terkejut melihat Tama yang tengah berdiri di depan kelas dan menjadi pusat perhatian.     Dyra melangkah melewati Tama. Ia menuju Bu Ami dan memberikan lks serta spidol.  Dyra menatap Tama dengan ragu-ragu. Laki-laki itu tampak menatapnya dengan tatapan memohon. Seperti minta diselamatkan.     "Terimakasih ya, Dyr." ujar Bu Ami.     Dyra mengangguk.     "Tama. Kamu tidak boleh ikut ulangan harian pagi ini. Kamu sebaiknya keluar."     "Tapi, Bu. Saya kan terlambatnya enggak sampai sepuluh menit. Izinin saya ikut ulangan dong, Bu." ujar Tama dengan memohon.     "Tapi kamu telat. Kamu juga belum memberitahu alasan kamu datang terlambat." ucap Bu Ami.     Dyra yang masih berdiri di sana pun angkat bicara.     "Bu, Tama enggak terlambat." ujar Dyra tiba-tiba. Semua mata kini menatap Dyra.     Termasuk Tama. Tama terlihat tidak percaya akan apa yang Dyra ucapkan. Dyra bahkan tidak yakin akan apa yang dilakukannya.     "Apa?" tanya Bu Ami.     "Iya, Bu. Tadi sebenarnya Tama enggak telat. Tapi saya melihat dia lagi di koperasi. Waktu saya tanya dia bilang lagi beli pulpen. Tapi saya enggak tau ternyata Tama belinya lama." ujar Dyra. Bu Ami kini menatap Tama.     "Benar itu, Tama?"     Tama terdiam sebentar. Ia menatap Dyra. Ia tahu benar jika hanya berbohong. Tama tidak pergi ke koperasi apalagi membeli pulpen. Tapi melihat gelagat Dyra yang sepertinya berniat membantu Tama. Tama pun terpaksa mengikuti alur karangan yang Dyra buat.     "Iya, Bu. Tadi saya beli pulpen. Tapi karena kebetulan pulpen yang saya cari masih belum di keluarin dari kardus jadi saya nunggunya lumayan lama."     Bu Ami tampak menatap Dyra dan Tama bergantian. Lalu kemudian beliau tampak menghela napas.     "Ya sudah. Tama, kali ini kamu Ibu maafkan. Kamu boleh mengikuti ulangan. Tapi lain kali jangan diulangi lagi. Dyra, kamu boleh duduk."     Tama tersenyum.      "Makasih ya, Bu."      Bu Ami mengangguk.     Tama dan Dyra pun duduk kembali ke bangkunya masing-masing.     "Kalau begitu. Kalian siap-siap. Ulangan akan segera dimulai. Tolong buku catatan, latihan, lks kumpulkan di atas meja Ibu." 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD